![]() |
Foto: Koleksi June's Uban |
Senja yang (Belum)
Hilang
Cik Siti tak lelah menampung senja. Duduk di
pondok rentah. Bertemankan batang kelapa yang telah lama roboh di antara
rimbunan pepohonan perepat. Matanya tersirat menanti seorang yang teramat
dirindukan.
"Ayah
... baleklah yah,” lirih ucapan Cik Siti menempel pada dedaunan perepat yang
tumbuh di sela-sela pepohonan kelapa.
Berulang
kali kalimat itu diucapkan sambil menanti matahari jatuh ke haribaan bumi. Segenap rindu telah membatu
dalam bilik sanubarinya. Gumpalan rindunya telah menggumpal.
Teringat
masih kecil Cik Siti, ayah selalu mengajaknya menikmati deburan ombak laut.
Menghempas pepohonan perepat. Pohon yang pernah menjadi kisah legenda tentang
simbol kemenangan Panglima Ali dengan menanam 1000 pohon perepat. Buahnya yang
selalu disajikan emak menjadi sambal terasi. Bertemankan mie dan lempeng sagu
terasa nikmat sekali.
Semacam ada
ritual kala jelang senja. Mandi sore di parit depan rumah bersama teman-teman.
Parit mengalir dengan air berwarna coklat. Terasa lain mandi bersama di parit
ini. Berbalutkan kain basahan, Cik Siti bersama teman-teman sebayanya mandi,
mencuci, dan saling bersenandung tentang alam desa ini. Parit-parit coklat yang
mengalir tumbuh di antaranya bunga-bunga teratai berwarna merah muda. Terasa di
pemandian puteri-puteri raja.
Semukut, nama
desa yang masih menyimpan pilu tentang karet yang tak lelah disayat. Harga
karet yang terus terjun bebas meninggalkan kisah-kisah kejayaan masa lalu.
Aroma ojol pernah begitu menyatu dengan Cik Siti. Menemani ayah menakik kala
malam sampai jelang pagi. Dari hasil itulah kebutuhan sehari-hari terpenuhi.
Namun seiring terjun bebasnya harga karet, terpaksa ayah memutar cara paling
nekad yang biasa dilakukan warga kampung. Cara itu adalah dengan menyelundup ke
negeri jiran. Cara yang bisa bermata dua. Bila lolos, maka perpanjangan nasib
akan berlanjut. Namun bila gagal, alamatlah nasib dan diri lesap entah kemana.
Cerita-cerita pilu tentang orang-orang yang tertangkap. Termasuk kisah pilu itu
kini milik Cik Siti. Ayah Cik Siti sejak pergi menyelundup tak balek-balek.
Meninggalkan Cik Siti menanti waktu itu entah kapan akan tiba. Berulang-ulang teman-teman Cik
Siti membujuknya untuk tidak sering-sering menanti senja di pantai itu.
"Banyak
jembalang laut yang bisa buat kau kesampuk nanti," nasihat Biah, teman
baik Cik Siti.
Tak
tergubris nasihat-nasihat itu. Seiring waktu, Cik Siti perlu menyambung hidup dengan
tetap menjalankan rutinitas menanti senja, dia menyibukkan diri bekerja di panglong
pembakaran arang karena tak larat menakik karet yang tak jelas arahnya. Panglong,
istilah lainnya pabrik tumbuh subur di kampung Semukut. Masyarakat banyak yang
menggantungkan nasib dengan bekerja di panglong arang. Walau sebenarnya sangat
miris penghasilan yang didapat dengan pengorbanan waktu dan tertebangnya hutan
bakau setiap harinya. Kerja Cik Siti di panglong arang menjaga api dapur arang
agar selalu menyala.
"Arang-arang
memang akan terus membakar dan menghitam tapi tidak akan melupakanku tentang
ayah. Ayah yang selalu kunanti kembalinya ke kampung ini di kala senja.”
“Tak ada
kerja lain kah Siti selain di panglong arang tuh. Wajah kau tuh cantik seperti
Putri Jamilah menurut legenda desa kita. Lambat laun akan menghitam seperti
arang pula nantinya wajah rembulan kau tuh,” canda Biah, teman sebelah rumah
panggungnya yang telah rentah.
"Yang
penting aku bisa makan sambil memperpanjang waktu untuk selalu bisa menunggu
ayah dan menyambut senja."
"Sudahlah
Cik Siti, lupakanlah. Lebih baik kau pikirkan masa depan kau tuh. Ingat Jamal
yang selalu kejar-kejar kau tuh. Layanlah Jamal tuh. Kasihan pula aku lihatnya,
seperti punggung merindukan bulan." Kembali Biah bercanda di laman
rumahnya yang subur ditumbuhi selasih.
“Lebih baik
sibuk dengan arang daripada mikiran Jamal yang hatinya hitam macam arang
seperti Panglima Abbas dalam kisah legenda kampung kita. Aku tak mau mati
tragis dan membiru seperti Jamilah,"[1]
Cik Siti
benar-benar menjaga irama harinya dengan menanti senja dan bersama pembakaran
arang. Bertumpuk-tumpuk kayu setiap hari dibakar di tempat pembakaran yang
menggelegak bersama panas api yang membara. Setelah jelang senja ditelusurinya
jalan-jalan setapak berbariskan pepohonan karet menuju pantai. Duduk di batang
kelapa yang rebah dan di antara rerimbunan perepat, Cik Siti memandang jauh ke
seberang menanti matahari akan tenggelam.
"Ayah,
baleklah yah," kembali ucapan seperti mantra lirih memanggil sosok yang
dirindukan berteman gesekan perahu nelayan yang tertambat di bibir pantai. Begitulah putaran hari Cik Siti.
Hari-hari
di Semukut semakin rentah. Yang biasanya rindang makin gersang. Luapan air
semakin sering menggenangi jalan. Rumah-rumah panggung tak kuasa membatasi air
yang lalu lalang. Bahkan kini banjir telah menjadi tamu baru bagi kampung ini.
Sejak
banjir itu melanda, Cik Siti seperti kehilangan waktu senja. Pantai yang biasa
menanti senja, kini meluap. Tak ada sisi untuk melaksanakan ritual khusyuk
menanti senja.
"Cik
Siti, kau tahu penyebabnya mengapa kita sekarang nih sering banjir?"
"Apa
penyebabnya tuh Kak Biah?"
"Tauke
tempat kerja kau tuhlah. Menebang tak habis-habis bakau tepi sungai tuh. Orang
kita dibodoh-bodohkan tentang rencana penanaman kembali bakau di tepi laut
kita."
Cik Siti baru
tersadar kalau selama ini terdengar bisik-bisik orang membincangkan asal bahan
baku arang tempatnya bekerja. Kayu bakau dan nyirih hasil penebangan liar. Tak
berizin. Berhektar-hektar hutan bakau perlahan habis ditebang. Berton-ton
setiap hari kayu bakau ditebang tanpa berbelas kasihan.
"Benarkah?
Aku tak mau kehilangan senja dan menunggu ayah. Aku harus melakukan sesuatu."
Sejak itu,
Cik Siti tak mau bekerja lagi di panglong arang tuh.
"Nak
makan apa kau kalau tak kerja di panglong arang nih?" Ucap tanya
teman-teman sekerja yang biasa bersama menjaga api agar tetap menggelegak.
“Nak makan
sempolet[2] setiap hari masakan emak,”
canda Cik Siti.
"Tapi
entahlah, yang penting bagiku kebiasaan menanti senja tak hilang." Lanjut
Cik Siti sambil memasang muka selambe
Cik Siti seperti tanpa beban sambil memetik buah perepat untuk menu makan
siangnya.
"Sepertinya
kau dah nak gila. Asyik senja saja yang kau tunggu, tak ada hal lain kah selain
senja, senja, dan senja saja."
“Suka-suka
akulah.” Sekali lagi Cik Siti memasang muka selambe.
Begitulah
Cik Siti, ritual menanti senjanya tak boleh terhalangi oleh siapapun.
Sejak tahu penghalang menanti senjanya karena
penebangan bakau, Cik Siti memutuskan berhenti dari pabrik dan melakukan
berbagai cara untuk menghentikannya.
Ditemuinya Tauke pabrik arang untuk tidak
menebang bakau lagi. Sebuah jawaban didapatkannya.
“Kau nak
kerja apa kalau tak kerja lagi di panglong tuh?”
“Tak perlu
Tauke pikirkan. Bisalah saya cari lokan di pantai, ikut buat atap rumbia, kerja
di kebun sagu, karet, kelapa,
kopi, pinang, dan banyak lagi yang
bisa saya lakukanlah.”
"Saya
dah bayar banyak untuk membangun panglong ini. Panglong yang telah membuat
kampung ini dikenal sebagai pemasok arang di semerata negeri. Seharusnya kau
bangga dengan itu. Arang dari pulau ini terbaik di seluruh dunia."
Cik Siti
menatap Tauke sepenuh amarah. Digenggamnya jemari-jemari yang telah menghitam
bersama arang.
“Tak peduli mau arang nomor
satu atau keberapa, yang jelas kami tak mau kampung ini banjir tak tentu arah
karena hutan bakau kami habis untuk dijadikan arang. Siapa bilang yang Tauke
lakukan untuk negeri ini. Ternyata selama ini kami telah Tauke bohongi dengan
menukar kemasan arang-arang kampung ini dengan kemasan negeri seberang. Kampung
ini telah Tauke hilangkan dengan cara licik Tauke! Lihatlah ya, apa yang akan aku lakukan. Kau telah merebut senjaku
Tauke," geram Cik Siti lirih penuh dendam.
Terseok-seok
melewati lumpur sisa banjir, Cik Siti menuju pantai menanti senja.
"Ayah,
baleklah. Bantu Siti." Kalimat itu kembali diulang-ulang seperti mengulang
mantra pengobatan suku pedalaman.
Malam pekat
merangkak lamat. Sebuah kesumat telah memenuhi dada gemuruhnya. Seluput amarah
menuntunnya melakukan sesuatu di luar kemampuannya sebagai perempuan yang ingin
selalu menampung senja.
Esok hari,
Tauke dan pekerja panglong arang dikejutkan dengan terbakarnya gudang
penyimpanan kayu dan kapal pengangkut arang ke negeri seberang.
Pekanbaru, 2019
Keterangan: Cerpen ini pernah diterbitkan di Harian Tanjung Pinang Pos.
Bambang Kariyawan Ys, kelahiran Tanjung Uban Kepulauan Riau. Bekerja
sebagai Guru SMA Cendana Pekanbaru. Aktif dalam organisasi kepenulisan Forum
Lingkar Pena Riau. Pendidikan terakhir S2 Universitas Negeri Padang. Penerima
Anugerah Sagang tahun 2011. Peserta Terpilih Ubud Writers and Readers Festival
tahun 2014. Penerima Penghargaan Acarya Sastra dari Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan tahun 2019. Karya kumpulan cerpen yang pernah dibukukan, “Numbai”
dan “Lukah yang Tergantung di Dinding” serta menulis novel yang berjudul
“Catatan Ayat Lelaki Ar-Rahman”.
Saya akrab sekali dengan suasana dalam cerpen ini..keren
BalasHapus