Lalu lalang dan cerita-cerita pagi adalah irama di
pelantar ini. Aroma laut Cina Selatan selalu ramah menyapa siapa saja yang
berdatangan untuk jeda sesaat sebelum dan setelah dari pulau bersejarah,
Penyengat. Siti, pramusaji di sebuah kedai kopi kecil di pelantar tepi laut. Meracik
dan menyajikan secangkir kopi untuk para penikmat pagi. Kopi yang diracik bukanlah
kopi biasa, tapi kopi warisan pembesar raja-raja di negeri Melayu. Kopi
Sekanak.[1] Siti
teramat menikmati pekerjaannya saat menyajikan kopi untuk para pendatang yang
lalu lalang berkunjung ke kedai kopi.
Pulau Penyengat adalah pulau bersejarah,
mas kawin Sultan Mahmud Syah III pada Engku Putri Hamidah. Teramat monumental
menjadikan pulau sebagai mas kawin. Lalu lalang orang yang datang dan pergi ke
pulau itu, memberi curahan rezeki tersendiri bagi kedai kopi “Sekanak” tempat
Siti bekerja. Berada di pelataran tempat bersandarnya pompong membuat kedai
kopi ini tempat singgah menarik sambal menunggu jadwal pompong berangkat.
Selain karena kopi sekanaknya, kedai ini menyajikan berbagai makanan khas yang
selalu diserbu pengunjung. Andalannya adalah mie lendir. Makanan berbahan dasar mi kuning dengan kuah kacang
kental bisa ditambah potongan daging kecil dan udang serta ditambah irisan
telur, tauge, taburan daun sop dan bawang goreng.
Ada yang selalu dinikmati Siti di
tempat ini dan yang membuatnya betah bekerja, yaitu cerita-cerita pagi kala pengunjung
yang akan datang dan baru pulang dari Pulau Penyengat. Cerita dengan segala
perniknya. Dari hal-hal yang biasa sampai hal-hal yang luar kebiasaan di dengarkan
Siti dari orang-orang datang di kedai kopi sambal menikmati secangkir kopi
sekanak dan sepiring mie lendir.
“Saya baru tahu kalau Raja Ali Haji
itu beda dengan Raja Haji ya,” ucap lelaki yang lagaknya seperti orang dari
negeri jiran.
“Memang bedalah, kalau Raja Ali Haji
itu, pahlawan yang terkenal dengan Gurindam 12, sedang Raja Haji, pahlawan yang
berjuang secara fisik melawan Belanda dan gugur di Teluk Ketapang,[2]”
tegas temannya yang mengenakan pakaian teluk belanga khas negeri segantang
lada.
“Aku merinding saat ke tempat makam
mereka,” ungkap lelaki negeri jiran.
“Iyalah, itu tempat keramat. Awak ade berdoa ape di makam itu? Minta jodoh?” balas lelaki berteluk belanga.
Itulah salah satu perbincangan yang
didengar Siti. Setiap mendengarkan cerita, Siti akan cerita berbisik-bisik dengan
Norma, teman di kedai kopi Sekanak yang khusus menyiapkan makanan rujak asmara.
“Ada-ada saja ya. Berdoa minta jodoh
di makam pahlawan kita,” ujar Siti sama Norma.
“Iya Siti. Aneh-aneh saja. Jodoh itu
dicari bukan minta lewat makam-makam seperti itu. Sedih melihatnya makam
pahlawan kita dijadikan tempat berdoa yang bukan-bukan,” balas Norma.
Cerita-cerita pagi akan selalu
dinikmati Siti dengan segala variasinya. Saat tertentu ada serombongan ibu-ibu
arisan dari pulau seberang datang dengan segala keramaiannya memenuhi kedai
kopi Sekanak. Sambil menunggu pompong untuk trip berikutnya ke Penyengat,
mereka sarapan terlebih dahulu.
“Di kedai ini ada jual apa saja
selain Kopi Sekanak dik?” Seorang ibu mendekati Siti yang dengan senyum
ramahnya selalu menyambut pengunjung.
“Banyak minuman yang dijual di sini Bu.
Ada teh o[3], teh
obeng[4], teh
tarik[5],
laksamana mengamuk,[6]”
jelas Siti.
“Kalau makanan?” tanya ibu itu
kembali.
“Ada
rujak asmara[7]
dan otak-otak[8],” jelas Siti.
“Ibu-ibu, mari pesan. Banyak pilihan makanan
dan minum di kedai sini,” ajak ibu itu pada rombongannya.
Siti kembali disibukkan dengan
melayani ibu-ibu arisan. Sambil menyiapkan berbagai pesanan minuman yang
diminta. Tetap saja ada cerita-cerita menarik disimak keriuhan ibu-ibu arisan.
“Nanti di Penyengat kita sempatkan ke
pemandian puteri ya Ibu-ibu?” ajak ibu itu.
“Ada apa di sana bu?” tanya ibu yang
lain.
“Konon kalau kita membasuhkan wajah
kita dari air pemandian puteri, kita akan awet muda,” jelas ibu itu.
“Benarkah?” heran ibu yang lain.
“Boleh percaya boleh tidak. Tapi
tidak ada salahnya kan kita coba. Biar tampak awet muda wajah kita ini,” saran
ibu itu.
Itulah cerita-cerita pagi yang
didengarkan Siti. Seperti biasa cerita yang didengarnya dibisikkan sama Norma
yang kali ini disibukkan membangkar daun kelapa pembungkus otak-otak.
“Norma, ibu-ibu tuh bilang bisa awet
muda kalau mengusap air perigi pemandian puteri. Tak masuk akal kan?”
“Memang tak masuk akal Siti. Tapi
dulu pun aku pernah mencobanya karena penasaran dengar cerita-cerita turun
temurun entah berasal dari mana. Tapi tak terbukti pun,” jelas Norma.
“Bagaimanalah caranya meluruskan
cerita-cerita itu ya?” tanya Siti.
“Nanti tahu sendiri mereka tuh, kalau
cerita-cerita itu hanya tahyul,” jawab Norma.
Kedai kopi hari ini laris manis
dengan kehadiran ibu-ibu arisan dari pulau seberang. Cerita-cerita yang tak
pernah berhenti keluar dari mulut mereka. Topik apa saja keluar dibincangkan. Mulai dari cerita
tentang anak-anak, suami-suami, selebritis, dan harga cabe di pasar yang
melonjak naik. Sampai-sampai para bapak-bapak yang biasa ngopi terpaksa diam
dan menepi. Tak terdengar cerita-cerita tentang perpolitikkan di negeri ini
yang biasa mereka bincangkan.
“Dik, kami beli 20 bungkus kopi
sekanak. Untuk suami-suami kami di rumah. Katanya ini kopi para raja. Sesekali
kami ingin pula menjadikan suami kami seperti raja ha ha ha,” canda ibu yang
sedari tadi mendominasi pembicaraan dalam rombongan.
Setelah rombongan ibu-ibu melanjutkan
menyebrang ke Penyengat, kembali lengang kedai kopi ini. Kembali terdengar
cerita-cerita tentang politik terdengar dari bapak-bapak yang tadi terdiam
membisu. Siti kembali mendengar cerita-cerita yang biasanya didengar dari mulut
bapak-bapak.
“Siti, tambahkan secangkir lagi kopi
sekanak nih. Tak seru kalau cerita tak sambil minum kopi,” ujar Bang Dolah,
langganan setia kedai kopi.
Siti melanjutkan meracik kopi dan
menghidangkan pada bapak-bapak yang melanjutkan cerita-ceritanya. Begitulah
suasana di kedai kopi ini. Cerita-cerita tentang segala kehidupan terdengar
dari sini. Kalaulah ada yang kehabisan ide dalam menulis cerita, maka
mendengarkan cerita-cerita dari kedai ini maka akan mengalir deras ide yang
ditawarkan.
Pagi itu tak seperti biasanya. Kedai
kopi yang biasanya sudah ramai, masih lengang.
“Ada apa ya Norma? Tak ada satupun
orang ke Penyengat hari ini?” Siti terheran dengan keadaan yang tak seperti biasa.
“Entah pula, setahu saya tak ada
dengar-dengar orang nak demo di kota,” jawab Norma.
Jelang siang, datang seorang ibu
dengan penampilan mewah namun dengan mata sembab berbaju hitam.
“Ibu ada mau pesan minum dan
makanan?”pelawa Siti.
“Ibu mau pesan minuman dan makanan
yang khas di kedai kopi sini,” pesan ibu itu yang terlihat tak semangat.
“Kopi sekanak dan rujak asmara Bu,”
jawab Siti.
Siti menyiapkan pesanan ibu itu yang
ternyata dari kota lain dan baru tiba mendarat di Bandara Raja Haji Fisabillah.
Saat Siti menghidangkan pesanan, sesegukan tangisan keluar dari ibu itu.
“Ada apa Ibu? Mengapa menangis?”
tanya Siti.
“Bantulah Ibu dik. Ibu jauh-jauh
terbang dari kota lain untuk ke Pulau Penyengat,” harap ibu itu.
“Oh Ibu mau ke Pulau Penyengat?”
tegas Siti.
“Iya dik. Bantulah Ibu. Ibu belum
pernah ke Penyengat,” harap ibu itu.
“Mengapa harus menangis kalau hanya
mau ke Pulau Penyengat?” tanya Siti kembali.
“Ibu mau buang sial dik,” jelas ibu itu.
“Apa Bu?” kaget Siti.
Siti terkejut dengan cerita ibu dari
kota itu yang bernama Nadin. Cerita yang didengarnya tentang masalah selingkuh
suaminya, usahanya bangkrut, anak tunggalnya terlibat narkoba. Ibu Nadin pernah
dengar dari temannya kalau masalah temannya bisa hilang dengan cara membuang
sial di Pulau Penyengat dengan menemui orang pintar di sana. Siti menyanggupi
membantu Ibu Nadin untuk ke Pulau Penyengat setelah dapat izin dari tauke.
“Cerita pagi hari ini tak beda dengan
yang lain Norma. Masih saja tentang hal-hal tak masuk akal tentang Pulau
Sejarah kebanggaan orang-orang Melayu,” cerita Siti.
“Kali ini kau pula yang aneh Siti.
Dah tahu kau tak suka tapi mengapa kau nak antar ibu tuh nak buang sial ke
Penyengat,” heran Norma.
“Inilah kesempatanku untuk menunjukkan
kalau Pulau Penyengat bukan tempat untuk buang sial dan khurafat lainnya,”
tegas Siti.
Siti mengajak Ibu Nadin menaiki
pompong menuju pelabuhan di Pulau Penyengat. Aroma Melayu menyambut saat
menjejakkan kaki di pelabuhan. Ornamen lebah bergayut dan selembayung memenuhi
hiasan bangunan pelabuhan. Becak motor berhias menyambut Siti dan Ibu Nadin.
“Bagaimana Bu, kita naik becak
motor?” tanya Siti.
“Ibu ikut saja. Ibu belum pernah ke
sini,” jawab Ibu Nadin.
Siti mengajak Ibu Nadin keliling
Pulau Penyengat. Ditelusurinya tapak-tapak bersejarah. Makam Engku Puteri
Hamidah, pemilik pulau dan pemegang regalia kerajaan. Makam Raja Ali Haji,
pengarang Gurindam 12, Gedung Tabib, tempat pengobatan masa lalu, Makam Raja
Haji Fisabillah, pahlawan nasional pejuang di Teluk Ketapang, Istana Kantor,
pusat perkantoran kerajaan, Pemandian Puteri, Makam Raja Ja’far, yang pernah
ditulis dalam novel romantis sejarah Melayu akan kisah cintanya dengan Tengku
Buntat[9],
Gudang Mesiu, tempat persediaan persenjataan, Gedung Rusyidiah Club, pusat
perbukuan dan para intelektual berdiskusi pada masanya, dan tapak-tapak sejarah
yang lain. Akhirnya mereka tiba di sebuah masjid yang melegenda.[10]
“Ibu, ini tujuan akhir kita,” kata
Siti.
“Jadi di sini Ibu akan buang sial?”
tanya Ibu Nadin.
“Iya Ibu,” jawab Siti.
Ibu Nadin mengeluarkan sesuatu dari tas kecilnya.
Ternyata berupa cincin.
“Itu apa Ibu?” tanya Siti.
“Cincin, kata teman Ibu, buang cincin
yang paling kita sayangi di pulau ini,” jelas Ibu Nadin.
Siti hanya menarik nafas.
“Mari Bu, di masjid ini tempatnya.
Ibu berwudu di sana terus kita salat Duha di dalam ya,” ajak Siti.
Ibu Nadin mengikuti apa yang diminta Siti. Setelah
berwudu dan salat Duha.
“Ibu, berdoalah dengan khusyuk. Curhat
sama Allah. Ceritalah apa yang ingin Ibu ceritakan pada-Nya,” kata Siti.
“Cincin ini dik?” tanya Ibu Nadin.
“Ibu simpan saja,” balas Siti.
“Jadi?” Ibu Nadin terheran.
“Buang sial itu tahayul Ibu, yang ada
ujian dari Tuhan. Berdoalah.”
Ibu Nadin tergugu memeluk Siti.
“Terima kasih dik Siti.”
[1] Kopi sekanak ini telah ada
sejak zaman kerajaan Melayu kuno dan telah tercatat dalam beberapa dokumen
sejarah. Para raja dan sultan dahulu diketahui minum kopi ini setiap
hari. Kopi sekanak dikenal dengan campuran rempahnya, dengan resep
paling dasar adalah kopi tujuh rempah. Rempahnya ada cengkeh, ada kayu manis,
ada akar bahar, ada sekancang laut, ada sekancang darat, ada sedikit pala, akar
bakawali, asam limau purut. Kalau untuk yang campurannya pakai susu kambing dan
madu, dia tidak pakai gula.
[2] Tepatnya tanggal 18 Juni 1784 di
Teluk Ketapang, Malaysia. Awalnya dikebumikan di sebuah lereng bukit di kota
Malaka. Di kemudian hari makam itu dipindahkan ke kompleks pemakaman raja-raja
Melayu Riau di selatan Pulau Penyengat.
[3] Sebutan untuk teh
panas.
[4] Sebutan untuk teh es.
[5] Sebutan untuk sajian
minuman teh dengan cara dituang-tuang seperti ditarik dari dua sisi.
[6] Es dengan bahan dasar
buah manga kweni dipotong dadu, ditambah santan, selasih, gula, dan daun
pandan.
[7] Seperti gado-gado
dengan tambahan goreng tepung kepiting.
[8] Makanan ringan berbahan
dasar olahan ikan atau cumi bercampur tepung dan aneka bumbu yang dibungkus
dengan daun kelapa dan disajikan dengan dibakar.
[9] Tragedi cinta Raja
Jafar dan Tengku Buntat diabadikan dalam novel Bulang Cahaya karya Datok Rida K
Liamsi.
[10] Masjid Raya Sultan Riau
yang dibangun pada masa pemerintahan Yang Dipertuan Muda VII Raja
Abdurrahman tahun 1832. Konon, masjid ini dibangun dengan bahan putih telur
sebagai perekat.
Tidak ada komentar