Puisi Herru As Syukri

 


Ini bukan bencana alam.

Ini pembantaian diam-diam,

dibayar dengan pohon-pohon yang tumbang

oleh penguasa yang membuka pintu

bagi para penghisap haus tanah.

 

Di pesisir barat Sumatera

enam ratus lebih nyawa diseret arus,

ratusan hilang tak ditemukan

dan penguasa kompak mengelak

Seakan hujan yang bersalah,

bukan atas izin-izin yang diteken

dengan tinta yang lebih kental dari lumpur.

 

Aku muak.

Karena mereka yang memerintahkan hutan dirampas

kini berdiri di depan kilatan kamera

dengan wajah tanpa malu,

seolah mereka bukan biang

kuburan basah ini.

Mereka datang bergerombol

Di hadapan puing

berakting dgn tubuh bersih, baju safari wangi,

dan sepatu mengkilap terkena lumpur yang menelan tubuh rakyat

menabur bantuan atas nama pribadi dan kroni

berpidato tentang empati

untuk menutup bau busuk dari tangan mereka sendiri.

 

Aku geram.

hutan ditebang, rakyat dipendam,

dan yang hidup hanya rakus yang duduk di kursi empuk.

Hukum tak bergerak

bisu seperti batang mati

yang sudah mereka jual di meja-meja gelap

berbulan-bulan sebelum banjir datang.

 

Bencana ini bukan takdir.

Ini kejahatan yang disahkan,

yang diberkati oleh tanda tangan,

yang diawasi anjing penjaga komandan.

 

Dan yang paling menakutkan

setelah air surut,

setelah mayat dikubur,

setelah duka dibiarkan membusuk

mereka akan kembali ke meja yang sama,

membuka peta,

menunjuk hutan yang tersisa,

dan berbisik tenang

“Mana lagi yang bisa kita keruk?”

 

Itulah saat aku sadar:

yang lebih tinggi dari banjir

adalah kerakusan;

yang lebih ganas dari arus

adalah kelicikan;

dan yang lebih mematikan dari bencana

adalah penguasa dan penjahat yang berkelindan.

Tidak ada komentar