Selamat Jalan Sahabat, Aku Titipkan Langit Untuk Ceritamu: Cerpen Hanifah Zuhra

  


Microsoft AI Creator

M

alam itu, dering suara telepon yang berasal dari warung telepon  umum terasa begitu menggema di telingaku. Kata-kata mama masih terngiang jelas di kepalaku, membuatku sulit berpikir jernih.

“Kakak besok Mama jemput, ya? Mama udah daftarin Kakak ke sekolah yang baru. Mama juga nggak kuat, Kak, kalau setiap bulan harus pulang pergi seharian. Jadi, Kakak ikut mama sekolah di sini aja, ya sayang?”

Aku masih terdiam di tempat dudukku, mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari bibir Mama. Rasanya begitu cepat. Pikiranku berkelana, mencoba mencari pegangan di tengah badai yang tiba-tiba datang. Aku tahu ini akan terjadi, cepat atau lambat. Namun, aku tidak pernah menyangka bahwa waktunya akan secepat ini. Aku memandangi jalanan di luar jendela warung telepon, memperhatikan orang-orang berlalu-lalang. Hidup mereka sepertinya berjalan seperti biasa, tidak seperti aku yang kini harus menghadapi keputusan besar.

Saat aku kembali ke kamar, suasana hening membuat pikiranku semakin kalut. Aku terduduk di lantai, punggungku bersandar pada kasur. Pandanganku kosong, pikiranku dipenuhi kenangan-kenangan yang telah terukir di sekolah ini. Aku menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri, lalu mulai membereskan barang-barangku. Setiap benda yang kusentuh seolah memiliki ceritanya sendiri. Seragam sekolahku yang sudah sedikit lusuh, buku-buku pelajaran yang penuh coretan, hingga selimut tipis pemberian nenek yang selalu menemani tidurku.

Aku membungkuk mengambil kotak kecil yang aku simpan di bawah tempat tidur, lalu mulai memasukkan barang-barang pribadiku ke dalamnya. Foto bersama teman-temanku saat acara perpisahan kakak kelas, surat-surat kecil yang kutulis untuk diriku sendiri, dan beberapa kenang-kenangan dari sahabatku, Nafisa. Tanganku terhenti saat memegang gelang persahabatan yang pernah Nafisa berikan padaku. Aku menggenggamnya erat, air mataku mulai menetes deras tanpa bisa kuhentikan.

“Kenapa harus sekarang?” gumamku lirih.

Aku tahu ini keputusan yang terbaik, tapi tetap saja rasanya begitu menyakitkan. Suara langkah kaki dari lorong terdengar samar-samar. Teman sekamarku, Dila, masuk dengan senyum kecil di wajahnya.

“Nif, kamu udah mulai packing? Besok pagi aku bantu ya, biar nggak berat sendiri,” katanya dengan nada tulus.

 Aku hanya bisa mengangguk, tidak mampu berkata-kata. Dila duduk di sebelahku, membantu melipat beberapa pakaian. Meski suasana di antara kami hening, kehadirannya memberiku sedikit ketenangan.

Esok harinya, bel berbunyi menandakan waktu istirahat telah habis. Aku dan Nafisa bergegas mengganti pakaian shalat lengkap dengan sajadah di pundak dan Al-qur'an di tangan. Aku berusaha mengumpulkan keberanian untuk memberitahunya. Namun, lidahku terasa kelu. Bagaimana jika dia tidak bisa menghadapi semua ini tanpaku? Bagaimana jika dia merasa kehilangan di tengah ketatnya peraturan ini?

“Nafisa, aku mau pulang loh minggu depan. Jangan sedih ya, kan, masih ada empat teman kita yang lain,” ucapku akhirnya, dengan nada yang sangat hati-hati. Aku menatap bola matanya yang mulai tampak terkejut.

“Nif, bukannya kamu akan pulang beberapa bulan lagi? Apa yang membuatmu begitu terburu-buru soal ini? Kamu akan meninggalkanku secepat ini? Apa kamu yakin?” tanyanya, sambil memperlambat langkahnya.

“Maafkan aku, Nafisa, tapi sepertinya aku benar-benar harus pergi. Tidak ada pilihan lain lagi. Aku yakin kamu pasti bisa melaluinya,” kataku, mencoba meyakinkannya.

Namun, aku tahu kata-kataku tidak sepenuhnya membuatnya tenang. Bahkan saat kami salat berjamaah, aku bisa melihat gelagat gelisahnya. Biasanya, kami akan bercanda setelah salat, tapi kali ini suasana terasa begitu hening. Aku ingin menghiburnya, tapi aku sendiri sedang berjuang menahan emosi yang berkecamuk di dalam hati.

Tiga hari sebelum keberangkatanku, aku dan Nafisa duduk di bawah pohon besar di halaman asrama. Tempat ini selalu menjadi tempat favorit kami untuk berbicara dari hati ke hati. Aku mengambil napas panjang sebelum akhirnya mengutarakan perasaanku.

“Nafisa, aku harus pergi. Aku nggak bisa lagi terus menemanimu di sini, tapi percaya Naf, kalau aku tidak akan pernah memutuskan tali persahabatan kita!”

Nafisa terdiam. Matanya yang cokelat tampak kosong, seolah mencoba mencerna kata-kataku. Setelah beberapa saat, dia tersenyum tipis, tapi aku mengerti dia, dia berusaha menyembunyikan rasa sedihnya.

 “Aku tahu, aku akan merindukanmu, Nif,” jawabnya dengan suara serak.

Kami berpelukan begitu erat, mencoba menyalurkan semua perasaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Tawa, canda, air mata, semuanya terasa begitu nyata dipelukan itu. Rasanya, aku tidak ingin melepaskannya.

Hari keberangkatanku pun tiba. Aku bangun pagi-pagi, membereskan barang-barang terakhir yang belum sempat kumasukkan ke dalam koper. Teman-temanku datang satu per satu ke kamar untuk mengucapkan selamat tinggal. Beberapa di antara mereka bahkan membawa hadiah kecil sebagai kenang-kenangan. Aku merasa terharu sekaligus sedih. Aku tahu mereka tulus, tapi perpisahan ini tetap saja terasa berat.

Aku menunggu di depan asrama, koper kecilku terletak di sebelah kakiku. Sementara itu, teman-temanku berkumpul di sekitarku, mencoba mencairkan suasana. Dila membawakan segelas teh hangat untukku, sementara Nafisa hanya diam di sampingku, menggenggam tanganku erat. Kami saling bertukar cerita-cerita lucu untuk terakhir kalinya, mencoba mengalihkan perhatian dari fakta bahwa aku akan segera pergi.

Saat mobil jemputan tiba, aku melangkah keluar asrama dengan langkah berat. Nafisa dan teman-teman lainnya berdiri di depan gerbang, melambaikan tangan sambil tersenyum. Aku mencoba membalas senyuman mereka, meskipun air mata sudah membasahi pipiku.

 “Terima kasih, semuanya. Aku nggak akan pernah melupakan kalian,” kataku pelan.

Di perjalanan pulang, aku membuka kotak pemberian Nafisa. Di dalamnya ada sebuah surat panjang yang berisi ungkapan hati Nafisa. Kata-katanya begitu menyentuh, membuatku menangis tanpa henti. Selain surat itu, ada juga beberapa makanan kesukaanku dan gelang persahabatan yang pernah dia buat untukku. Kalimat di akhir pesan, mampu membuat tangisku pecah begitu saja.

Terima kasih, sahabatku. Aku harap kita bisa bertemu lagi nanti. Semoga perjalananmu lancar dan penuh berkah. Ingat, aku selalu ada di sini, meskipun kita berjauhan.

Aku menutup surat itu perlahan, lalu menyimpannya di tempat yang aman. Meskipun aku meninggalkan sekolah ini, aku tahu persahabatan kami akan selalu ada di dalam hati. Perpisahan ini memang sulit, tapi aku yakin ini bukan akhir dari segalanya. Suatu hari nanti, aku berharap bisa bertemu Nafisa lagi, dan mengenang semua kenangan indah yang pernah kami lewati bersama.


 

Tidak ada komentar