Pesan Rahasia: Cerpen Maria Natalie Adianto

  


Microsoft AI Creator

A

wan yang saling bertabrakan di langit gelap, menciptakan suara gemuruh yang berubah menjadi petir, dan saling bersahutan satu sama lain. Derai air itu membasahi buminya yang sudah merindukan kehadirannya. Petir yang menyambar, memecah keheningan malam saat itu. Di dalam kamar yang gelap, Alvaro duduk terdiam di atas tempat tidurnya. Cahaya lampu redup di meja belajarnya bergetar hebat seolah mengikuti detak jantungnya yang semakin cepat.

Tangannya memegang selembar kertas yang kusut, surat ini seharusnya tidak ada. Surat ini datang secara tiba-tiba, tanpa nama pengirim, tanpa asal yang jelas, namun isinya terus menghantui pikirannya sejak pertama kali ia membacanya.

Jangan pergi ke pesta itu. Sesuatu yang mengerikan akan terjadi!

Seolah-olah, seseorang tahu apa yang akan terjadi. Surat itu berulang kali mengingatkannyaa, tapi siapa yang bisa percaya hal semacam ini? Apakah ini hanya lelucon kejam? Atau…, apakah ini benar-benar peringatan dari masa depan?

Alvaro tertegun, tangannya gemetar. Ia merasa seperti menatap jurang yang tak terihat, di ambang pilihan yang mungkin saja dapat mengubah hidupnya selamanya. Hujan di luar semakin deras, menyapu jendela dengan suara gemuruh yang seakan memberikan peringatan.

Ia menatap surat itu berkali-kali, mencoba mencari tahu kebenarannya. Namun, tiba-tiba, sebuah suara keras dari luar kamarnya memecah keheningan.

Alvaro terkejut, ia segera berlari ke jendela, membuka tirai sedikit dan melihat kegelapan di luar. Tidak ada yang aneh, hanya bayangan hujan deras dan kilatan petir yang berkali-kali menyambar di langit. Namun, perasaan bahwa sesuatu yang lebih besar sedang menunggunya membuat bulu kuduknya berdiri.

Surat itu belum memberitahukan semuanya. Ada yang janggal, sangat janggal. Dan Alvaro tahu, malam ini hanya baru permulaan dari kengerian yang belum terungkap.

Butterfly with solid fill

Kegelapan dan ketakutan yang menghantui malam tadi, seolah hanya angin yang lewat. Pagi hari di sekolah selalu terasa penuh keceriaan. Matahari bersinar terang menyinari lapangan sekolah yang ramai dengan siswa-siswi berseragam putih abu-abu. Suara riuh rendah obrolan dan tawa mengisi udara, memberikan suasana yang penuh energi khas masa-masa SMA.

Alvaro berjalan santai menuju kelasnya sambil menyapa teman-temannya yang ia temui di sepanjang koridor. Di tangannya, ia membawa bola basket, salah satu hal yang paling ia sukai selain bermain game. Hari itu, ia merasa segala sesuatu akan berjalan dengan lancar, hanya seminggu lagi menuju pesta perpisahan sekolah, momen yang dinanti-nantikan oleh seluruh siswa kelas 12. Perasaan senang  menghinggapi siswa kelas 12, akan ada perasaan bahagai dan sedih di sana nantinya.

Ketika sampai di kelas, Nathan dan Rendra sudah duduk di bangku mereka, seperti biasa mereka terlibat dalam percakapan yang konyol.

“Weh Varo! Nanti siang main basket, kan?” tanya Nathan sambil mengangkat tangan untuk memberi salam.

“Ya iyalah! Pasti broo!” jawab Alvaro sambil tersenyum. “Gua udah siapin strategi baru nih buat ngalahin anak-anak kelas sebelah. Kali ini, mereka pasti kalah.”

Rendra tertawa lebar. “Idih! Sok-sok an lo make strategi. Ntar pas tanding benerin dulu tuh tembakan lo, baru ngomong strategi!”

Alvaro tersenyum sambil melempar bola basketnya ke arah Nathan, yang langsung menangkapnya dengan gaya yang dramatis. Mereka semua tertawa lepas. Inilah momen-momen yang paling ia sukai dari masa-masa sekolah, tawa bersama teman-temannya yang selalu mendukungnya.

Di kelas, obrolan tentang pesta perpisahan semakin kencang. Semua siswa membicarakan tentang gaun, setelan jas, dan siapa yang akan datang dengan siapa. Ada yang sedang sibuk merencanakan tarian kejutan, ada juga yang membuat janji dengan pacar mereka. Alvaro sendiri belum berpikir jauh tentang pesta itu. Baginya, yang terpenting adalah menikmati hari-hari terakhir di sekolah bersama teman-temannya.

“Jadi, lo udah siap buat pesta perpisahan, Var?” Tanya Nathan sambil menepuk pundak Alvaro. “Udah mikir mau datang sama siapa nih?”

Alvaro hanya mengangkat bahu. “Belum sih. Gue masih mikir-mikir. Lo sendiri gimana, Than?”

Nathan tersenyum lebar. “Gue sama Keysha. Udah lama gua nunggu momen ini buat ngajak dia.”

Rendra tertawa sambil menggoda. “Wih, Nathan udah berani ngajak cewek! Varo kapan nih?”

“Ah, jangan bikin ribet lo dah!” balas Alvaro sambil tertawa.

Suasana sekolah hari itu benar-benar terasa seperti hari-hari yang penuh kebahagiaan. Tidak ada yang perlu dipikirkan selain bercandan dengan teman-teman, berlatih basket dan mempersiapkkan diri untuk pesta perpisahan.

Di antara teman-teman sekelasnya, ada yang terlihat lebih bersemangat daripada yang lain—Ryan—teman sekelas Alvaro yang terkenal dengan sikapnya yang selalu riang, akhir-akhir ini tampak lebih berbunga-bunga dari biasanya. Semua orang tahu penyebabnya, ia sedang kasmaran berat dengan pacarnya, Lora, yang ada di kelas sebelah.

“Bro, lo lihat gak? Lora tadi bener-bener cantik banget hari ini,” ucap Ryan sambil tersenyum lebar, matanya berbinar saat melihat Lora berjalan melintasi koridor. Alvaro dan Rendra hanya saling melirik, tersenyum geli melihat betapa jatuh cintanya Ryan.

“Yaelah Ry,” goda Rendra, “tiap hari lo bilang gitu. Gimana mau kbelajar kalo setiap saat mikirin Lora?”

Alvaro terkekeh sambil menepuk punggung Ryan.

“Hati-hati, bro. Jangan sampe lo malah lupa sama yang lain gara-gara pacaran!”

Ryan hanya tertawa dan menggeleng. “Gimana gua gaK mikirin dia terus? Dia tuh segAlanya buat gua. Pesta perpisahan nanti, gua udah janji bakal ngajak dia dansa pertama kali. Gua udah Latihan. Biar ga malu-maluin.”

“Yaelah, bucin banget ni anak,” ucap Rendra sambil tertawa, tapi Ryan tidak memikirkan hal itu.

Alvaro mengamati Ryan, DIA merasa senang untuk temannya itu. Sebenarnya, Alvaro juga sempat berpikir tentang siapa yang akan diajaknya ke pesta perpisahan, tapi hingga sekarang ia belum memutuskan. Tidak ada sosok yang benar-benar menarik perhatiannya.

“Jadi, lo udah siap-siap buat hari besar nanti?”   tanya Ryan sambil melirik Alvaro.

Alvaro mengangkat bahu. “Gue masih belum mikir sih, yang penting gue datang aja. Mau bareng temen-temen, ya santai aja.”

“Yahh, sayang banget Var,” tutur Ryan dengan nada mengejek kecil. “Ini, kan, momen terakhir kita. Harusnya lo punya rencana spesial juga dong. Siapa tahu ada yang suka sama lo tapi belum berani ngomong.”

Alvaro hanya tertawa kecil. “Gue gak terlalu mikirin soal itu, yang penting gua nikmatin waktu sama kalian semua.”

Mereka melanjutkan obrolan ringan di tengah suasana sekolah yang sedang ramai. Sementara Ryan terus-terusan memikirkan rencananya untuk pesta dengan Lora. Alvaro sendiri masih mersa tenang dan nyaman menjalani hari-harinya. Surat misterius yang pernah ia terima mulai terasa seperti lelucon yang tidak penting. Mungkin itu benar-benar hanya ulah dari teman-temannya itu, atau mungkin hanya salah kirim.

Bagi Alvaro, meski tidak ada rencana spesial seperti Ryan, ia akan menikmati setiap momen terakhir masa-masa sekolah bersama teman-temannya itu.

Namun, di balik semua keceriaan itu, bayangan surat itu tetap sesekali muncul dalam pikirannya. Tidak terlalu mengganggunya, tapi selalu ada di sudut pikirannya, menunggu saat yang tepat untuk Kembali menghantuinya.

Butterfly with solid fill

Suatu siang, saat istirahat, Alvaro, Nathan, dan Rendra duduk di bawah pohon besar di halaman sekolah. Mereka menikmati camilan sambil mengobrol tentang rencana pesta.

“Gimana kalau kita bikin kejutan di pesta nanti? Kita bisa bikin flashmob angkatan atau semacamnya,” usul Nathan dengan semangat.

“Eh, itu ide bagus! Bakal seru banget sih!” seru Alvaro sambil tersenyum, diikuti dengan iringan tawa dari Rendra dan Nathan.

Beberapa hari kemudian, Alvaro dan teman-teman mulai berlatih menari. Di halaman sekolah, mereka mengumpulkan teman-teman lain untuk ikut berlatih. Dalam suasana yang riang, mereka menghabiskan waktu bersama, tertawa dan saling menggoda.

Malam pun tiba, Alvaro tiba di rumah dengan semangat yang menggebu. Ia merasa sangat bersemangat untuk pesta perpisahan itu. Dalam perjalanannya, ia mendengar teman-teman di sekitarnya membicarakan siapa yang akan datang dengan siapa. Alvaro merasa seolah semua orang telah memiliki rencana special, sementara ia hanya akan bersenang-senang.

Ketika Alvaro berada di kamarnya, ia teringat pada surat misterius yang diterimanya. Ia mencari surat itu di dalam laci mejanya. Sekali lagi, ia membaca pesan yang tertulis di sana.

Jangan pergi ke pesta itu. Sesuatu yang mengerikan akan terjadi.

Alvaro menggelengkan kepala, berusaha menyingkirkan perasaan tidak nyaman itu. Ia percaya, ini tidak masuk akal. Semua teman-temannya bahagia dan ia pun ingin merasakan kebahagiaan itu. Kenangan indah di sekolah tidak bisa ternodai oleh perasaan takut yang tidak ada alasannya.

Butterfly with solid fill

Hari H pun tiba, Alvaro dan teman-temannya berkumpul di aula, tempat pesta perpisahan diadakan. Suasana penuh warna dan lampu berkilau. Musik menggema di seluruh ruangan, dan semua orang tampak ceria. Alvaro dan teman-temannya berkumpul di panggung kecil, Bersiap untuk menunjukkan penampilan flashmob angkatan mereka.

Ketika mereka mulai menari, Alvaro merasa semua tekanan dan kecemasan menghilang. Semuanya tampak sempurna. Senyuman dan tawa memenuhi wajah teman-temannya saat mereka bergoyang mengikuti irama musik.

Tak ada lagi rasa khawatir tentang surat-surat itu, hanya ada kebahagiaan dan persahabatan yang mengikat mereka.

“Lihat itu! Keren banget gak sih!!” teriak Lora di tengah keramaian, mengacungkan jari telunjuknya ke arah panggung.

Ryan berdiri di sampingnya, menonton mereka semua menari. Ryan merangkul Lora dan menggerakkan bahunya mengikuti irama.

“Kita harus ikut juga setelah ini, Lora! Gimana?” ajak Ryan dengan semangat.

Lora mengangguk. “Tentu saja! Ayo, kita bersenang-senang!”

Alvaro merasa sangat senang dan melihat betapa bahagianya mereka. Seharusnya, malam ini menjadi malam yang akan dikenang selamanya.

Namun, di balik semua keceriaan itu, Alvaro tak bisa sepenuhnya menghilangkan bayangan pesan itu. Saat dia berbalik ke arah teman-temannya, ia merasa ada yang mengawasinya. Tetapi Ketika ia menoleh, tidak ada apa-apa dibelakangnya. Mungkin hanya imajinasinya.

Sesaat kemudian, musik mulai mereda dan semua orang berkumpul di tengah aula. Suasana semakin hangat dan penuh semangat saat mereka bersiap untuk pembukaan pidato perpisahan. Beberapa murid yang terpilih maju untuk memberi kata sambutan.

“Selamat datang! Teman-teman! Malam ini adalah malam spesial bagi kita semua, malam perpisahan,” kata ketua penitia sambil tersenyum lebar.

Mereka bertepuk tangan, dan Alvaro merasakan kegembiraan di hatinya. Namun, saat ia menatap wajah teman-temannya, ia tidak bisa menghilangkan rasa gelisah itu. Kapan pun ia mencoba berfokus pada kebahagiaan, bayangan surat itu selalu kembali menghantui pikirannya.

Alvaro memutuskan untuk tidak membiarkan pikirannya terganggu. Malam ini adalah tentang dia dan bersama teman-temannya mengukir keindahan bersama di akhir masa SMA. Dia akan menikmati setiap detik dan mengingat semua momen ini selamanya.

Namun, saat ia berdiri di sana, merasakan kegembiraan, sebuah perasaan aneh melanda dirinya. Seolah ada sesuatu yang akan terjadi, sesuatu yang lebih besar daripada pesta ini. Rasa takut mulai menyusup ke dalam pikiran Alvaro, seolah-olah ada badai yang sedang mendekat dan menunggu saat yang tepat untuk menerpa mereka semua.

Alvaro lagi-lagi menggelengkan kepalanya lagi, mencoba menghilangkan pikiran-pikiran itu. Dengan semangat ia bergabung kembali dengan teman-temannya, melanjutkan perayaan mereka dengan harapan bahwa malam ini akan menjadi kenangan yang tak terlupakan.

Butterfly with solid fill

Acara pesta perpisahan semakin meriah. Musik mengalun, lampu berkelap-kelip, dan semua siswa terlihat ceria. Alvaro merasa terhanyut dalam kebahagiaan di sekelilingnya. Ia mencoba untuk melupakan semua ketakutan yang sempat mengganggu pikirannya.

Setelah beberapa banyak penampilan. Ketua panitia kembali naik ke panggung untuk menyampaikan beberapa kata penutup.

“Terima kasih yang telah hadir pada malam ini! Ini adalah malam terakhir kita bersama, dan saya harap kita semua bisa mengingat momen ini selamanya!” ujar ketua Panitia

“Dan sebelum kita menutup acara ini, saya ingin mengingatkan, untuk kita semua, agar selalu menjaga persahabatan ini, tidak peduli ke mana pun kita pergi setelah ini,” sambung Ketua Panitia. “Jangan lupakan kenangan yang telah kita buat bersama!”

Semua orang bersorak setuju termasuk Alvaro. Tapi, ketika ia menoleh ke arah pintu keluar, ia melihat sosok yang tidak dikenalnya berdiri di sana, menatap ke arahnya. Perasaan aneh kembali muncul di perutnya. Dia merasa seperti ada yang tidak beres.

“Lo oke, Var?” tanya Nathan, menyadari ekspresi Alvaro yang berubah.

“Iya, gua baik-baik aja,” jawab Alvaro, meski ia merasa tidak yakin.

Namun, sebelum Nathan bisa menanyakan lebih lanjut, ketua panitia menyelesaikan pidatonya.

“Selamat berpisah, teman-teman! Mari kita nikmati malam ini!” serunya, diikuti dengan musik yang kembali menggema di aula.

Sementara suasana kembali hidup, Alvaro berusaha mengalihkan perhatian dari sosok misterius di depan pintu. Ia bergabung kembali dengan teman-temannya, berusaha merasakan kebahagiaan malam itu. Namun pikirannya terus melayang, memikirkan surat misterius dan sosok yang tidak dikenalnya.

Malam semakin larut, dan suasana pesta semakin memanas. Musik berubah menjadi lebih energik dan semua orang mulai menari dengan bebas. Alvaro mencoba untuk menikmati setiap detik, tetapi bayangan sosok di depan pintu dan kata-kata di surat itu semakin menghantuinya.

“Lo kelihatan gelisah banget, kenapa?” tanya Ryan saat mereka beristirahat sejenak. “Lo harusnya bersenang-senang!”

Alvaro berdehem. “Gue cuma… merasa aneh. Gue gak tahu kenapa. Mungkin hanya perasaan biasa.”

Ryan menepuk punggung Alvaro. “Jangan berpikir terlalu keras, Var. Malam ini harusnya jadi momen terbaik kita! Nikmati aja!”

Alvaro mengangguk, berusaha mengikutinya. Namun saat mereka kembali ke kerumunan, dia tidak bisa menahan rasa khawatirnya. Dia merasa seolah-olah ada sesuatu yang lebih besar sedang menunggu di balik semua kebahagiaan ini, sesuatu yang mungkin tidak bisa mereka hindari.

Saat musik berhenti dan semua orang beristirahat, Alvaro memutuskan untuk pergi ke luar aula sejenak, mencari udara segar. Dia melangkah keluar, berharap bisa menenangkan pikirannya. Namun saat dia keluar, ia terkejut melihat sosok yang berdiri di luar aula, masih menatap ke arahnya.

“Lo siapa?” tanya Alvaro, merasa jantungnya berdegup kencang.

Sosok itu tidak menjawab, hanya berdiri di sana, menatapnya dengan tatapan kosong. Alvaro merasa ketakutan menghinggapi tulang punggungnya. Dia ingin berbalik dan kembali ke dalam aula, tetapi kakinya terasa berat.

Dan pada saat itu, sosok itu membuka mulutnya,

“Alvaro….”

Suara itu terdengar familiar, membuat Alvaro terkejut.

“Lo siapa?” Alvaro mengulangi pertanyaannya.

“Ini aku, dari masa depan,” jawab sosok itu dengan suara yang dalam dan misterius.

Alvaro terdiam, tidak percaya dengan apa yang dia dengar.

“Maksud lo apa?”

Tapi sebelum sosok itu bisa berbicara lagi, lampu di aula tiba-tiba mati, mengubah semuanya menjadi gelap gulita. Suara teriakan dan keributan memenuhi udara, menciptakan suasana tegang di sekelilingnya. Suasana mulai terasa kacau.

Alvaro juga merasakan ketakutan yang luar biasa. Dalam kegelapan, sosok itu menghilang. Ia berlari memasuki aula yang gelap, berusaha menemukan teman-temannya walaupun pikirannya masih berputar dengan kata-kata sosok misterius itu. Apakah ini semua terkait dengan surat yang ia terima? Apa yang akan terjadi selanjutnya?

Butterfly with solid fill

Alvaro berusaha mengingat di mana posisi teman-temannya. Suara teriakan dan kegaduhan membuatnya semakin gelisah. Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi, tetapi pikiran di dalam dirinya memberi tahu bahwa ini bukan sekedar kesalahan teknis.

Saat ia memasuki aula, ia mendengar suara Ryan yang teredam oleh kebisingan.

“Var! Di sini!” teriak Ryan, membuat Alvaro segera berlari ke arahnya.

“Gue khawatir! Ada yang gak beres!” Ryan sudah terlihat sangat cemas, “lampunya mati, dan semuanya panik. Kita harus cari teman-teman kita!”

Alvaro mengangguk dan mereka berdua bergerak melalui kerumunan yang kacau. Selagi mencari teman-teman mereka, Alvaro masih teringat pada sosok misterius yang ia temui di luar aula. Apakah dia benar-benar dari masa depan? Apa yang dia inginkan? Pertanyaan it uterus menganggu pikirannya.

Akhirnya, mereka menemukan Rendra, Nathan, Keysha dan Lora.

“Lora pingsan, Ry!” ujar Nathan panik.

Alvaro merasa dunianya berhenti sejenak, tidak tahu harus berbuat apa.

“Bawa aja Lora ke luar!” ujar Alvaro.

Dengan cepat, Ryan dan Rendra segera membawa Lora ke luar dari aula menuju tempat yang lebih aman. Alvaro lalu menelpon dan menghubungi orang yang bisa membantu mereka.

Ketika selesai menghubungi beberapa orang, dalam sekejap, lampu kembali menyala, dan suasana panik mulai mereda. Ketika Alvaro melihat ke dalam aula, lagi-lagi ia melihat sosok misterius itu berdiri di sana, menatapnya dengan tatapan kosong.

“ALVARO!” teriak Ryan, menarik perhatiannya. “Lo nggak apa-apa?”

“Maaf, gue tadi sedikit pusing,” ucap Alvaro sambil melihat bahwa Lora sudah dibawa oleh tim medis ke rumah sakit terdekat untuk pemeriksaan.

“Gua bingung… ada sosok yang gue lihat tadi, dia bilang dari masa depan,” lanjutnya, “rasanya aneh, semua ini… surat, sosok itu, semuanya terasa saling berkaitan.”

Seketika Ryan, dan Nathan bingung dan menggelengkan kepalanya.

“Lo ngerasa kalo surat itu ada hubungannya dengan kejadian malam ini?” tanya Rendra.

Alvaro mengangguk. “Rasanya seperti ada yang ingin memperingati kita tentang sesuatu.”

Butterfly with solid fill

Beberapa hari kemudian, Alvaro memutuskan untuk mencari tahu lebih dalam tentang surat-surat misterius itu. Dia mengumpulkan keberanian dan memanggil teman-temannya untuk bertemu di tempat biasa mereka berkumpul. Dengan serius, ia menceritakan semua hal yang terjadi sejak pesta perpisahan, termasuk surat terakhir yang ia temukan.

“Aku rasa ini bukan kebetulan,” ujar Alvaro dengan suara tegas. “Mungkin ini adalah tanda bahwa kita harus melakukan sesuatu.

“Melakukan sesuatu? Tapi apa maksudnya?” tanya Keysha, masih bingung.

“Mungkin ini tentang pilihan yang harus kita buat,” tambah Nathan, mencoba memahami situasinya.

Ryan, yang biasanya skeptis, akhirnya angkat bicara. “Kalau benar ini tentang masa depan, mungkin kita perlu melihat ke belakang. Apa hal penting yang kita lupakan atau abaikan?”

Mereka pun mulai merenungkan segala kejadian di masa lalu, termasuk hubungan mereka dengan orang-orang di sekitar dan keputusan yang pernah mereka buat. Dalam proses itu, Alvaro menemukan bahwa surat-surat itu tidak hanya berbicara tentang masa depan, tetapi juga tentang memperbaiki kesalahan dan menguatkan hubungan mereka.

Suatu malam, Alvaro kembali mendapati surat lain di ambang pintu. Kali ini, isinya jauh lebih jelas:

“Keputusan sudah dibuat. Jalanmu telah ditetapkan. Jangan biarkan keraguan menghentikanmu. Mereka membutuhkanmu, Alvaro.”

Alvaro menyadari bahwa ini bukan hanya tentang dirinya. Ini tentang teman-temannya, keluarganya, dan dunia yang lebih luas. Dengan tekad baru, ia memutuskan untuk berhenti berlari dari ketakutan dan mulai menghadapi apa pun yang akan datang.

Ketika ia berbagi keputusannya dengan teman-temannya, mereka semua sepakat untuk mendukungnya. Bersama-sama, mereka membuat rencana untuk mengungkap misteri ini, mencari tahu siapa sosok misterius itu, dan apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Malam itu, ketika mereka berkumpul di bukit tempat mereka sering bermain waktu kecil, Alvaro menatap ke langit berbintang.

“Apa pun yang terjadi, kita hadapi bersama,” katanya dengan yakin.

Teman-temannya mengangguk, dan di bawah langit yang penuh bintang, mereka membuat janji tak terucap—untuk saling mendukung, tidak peduli apa yang akan terjadi.

Perjalanan mereka baru saja dimulai, tetapi satu hal yang pasti: keputusan Alvaro telah membuka jalan baru, sebuah jalan yang akan mengubah hidup mereka selamanya. Dan untuk pertama kalinya, Alvaro merasa yakin bahwa masa depan, seberapa pun menakutkannya, adalah sesuatu yang layak diperjuangkan.


 

 


Tidak ada komentar