Aku rindu pada malam. Ya … malam. Malam
membuatku seperti berada di di keranda waktu.
Gamang menyambut fajar. Fajar yang seharusnya disambut dengan sepenuh
hati telah membuatku lelah dan sesak. Tiang-tiang langit dikala fajar seperti
menukar angin sejuk dengan hawa bara dalam sekam. Sesak.
Malam pula yang membuatku berada di
dengkuran masa lalu. Masa lalu yang membawaku menjunjung asal-usulku sebagai
orang Sakai. Darah Sakai yang telah mengalir dalam tubuh ini membuatku biasa
dipanggil Kai. Penggalan kata terakhir dari nama sukuku, Sakai. Aku tidak
mengerti mengapa sebutan itu diberikan kepadaku. Orang yang selama ini sering
dianggap sebagai orang terasing yang hidup berpindah-pindah di hutan. Berjalannya
waktu, alam asri tempat berlindung mulai punah. Kawasan yang tadinya hutan, tersulap
menjadi daerah industri perminyakan, usaha kehutanan, perkebunan karet dan
kelapa sawit.
Aku
menanti ratusan senja untuk mengayuh di anjung malam. Menikmati sensasi malam
yang mengendap dalam secawan embun. Sehampar malam bersanding dengan waktu yang
kusut. Waktu yang meranggasi hijau dan lebatnya hutan larangan. Hutan yang dulu
selalu dijaga adat untuk keseimbangan alam. Hutan bagiku menjadi sebuah detak
nadi yang mengundang unsur magis dan penuh arti bagi kehidupan. Hutan sialang,
kapur, labuai, dan buah-buah hutan dulu tumbuh sumbur di daerah aliran sungai. Tidak
boleh diusik apalagi ditebang. Namun kini hanya meninggalkan hutan yang lembab
dan berdebu waktu bersama rimbunan sawit.
Sawit … tanaman asing yang sebelumnya
tidak pernah kukenal dan kini menjadi simbol pembatas aku dan entah siapa. Aku
rindu damar, rotan, getah labuai, ubi menggalo dan jamur yang biasanya kupetik.
Rindu bermain pada aroma tanah peladangan, rimba kepungan sialang, dan rimba
simpanan.
Dalam malam bertemankan rembulan, aku
terbiasa menarikan tarian olang-olang. Bergerak perlahan-lahan, berjongkok dan
sesekali berputar mengikuti hentakan irama yang dihasilkan dari bunyi gendang bebano dan tetawak (gong). Sepiring rintin hujanpun ikut menari bersama sepoi angin.
Aku gerakkan jemariku yang kaku berteman kepekatan malam. Itu dulu saat malam
begitu ramah memelukku.
Kini aku hanya bisa memandangi umah. Rumah yang telah rapuh oleh
kulit-kulit kayu dan pepohonan. Jangkrik menambah lengang yang beranak pinak.
Hening tak bernyanyi meretas berhektar sunyi diantara damar, rotan, dan karet.
Rimba telah tak terbaca pada angin yang mendiamkan malam. Sebongkah gelap
memekatkan gulita membara.
Bagiku
malam belum lengkap bila bulan belum menyabit awan. Kutengadahkan tangan
menerima curahan cahaya indahnya. Serimbun pesona malam tertampung pada telapak
tanganku. Aku menikmati kala bermandi sinar malam yang tidak mampu diberikan
siang. Jemari malamnya ikut terselip dibalik pelepah nibung. Pohon yang
dianggap sebagai semangat persatuan dan persaudaraan masyarakatku.
Ketika siang … ahhh aku selalu ingin berlari darinya. Jalan-jalan setapak yang
dulu kulewati berteman ilalang, kini terasa memekakkan telinga. Lalu lalang kendaraan pabrik membuatku pusing.
Selalu ada kegalauan setiap sinar siang menyambutku. Kadang teriakan histeris
keluar dari mulut sunyiku. Tapi aku tak peduli, mau dibilang manusia macam apa
aku ini. Manusia kelelawar. Berkeliaran di kala gulita malam.
Aku tak
peduli dengan sebutan manusia kelelawar itu. Siang tidur, malam kelayapan tak
tentu arah. Kebiasaanku menikmati malam diikuti oleh anak-anak lain yang
menjadikanku pemimpin untuk bermain-main di malam hari. Selendang bulan
menyentuh dalam jiwa. Kupungut cahaya diantara cericau serindit. Burung lincah
yang tak pernah lelah menjelajahi pepohonan. Ayat-ayat hutan membelah langit.
Riak sungai semakin busuk karena percikan-percikan limbah.
Kebiasaan
seperti kelelawar, membuatku disangka
telah dimasuki Antu jembalang malam sehingga harus melakukan pengobatan Longkap
Pokao Tujuh. Pernak-pernik di tangan bomo yang mengobatiku menggeleng kepala
kalau aku tidak ada penyakit apapun. Seperti yang pernah aku katakan bahwa aku
hanya menekuni sunyi malam dalam rimbun yang teramat lelah.
Tebing
malam menyulang cahaya. Kampung kecilku hanya beberapa petak yang kami jadikan
tempat berteduh. Kicau pagi yang selalu berpayung awan kini terasa sulit
kudengar. Ranting malam syahdu menghempas bulan. Kedamaian yang dulu kami
nikmati sebebas dan sejauh kaki melangkah kini hanyalah tinggal beberapa petak
lahan yang kami tanami menggalo. Ubi beracun yang menjadi sangat nikmat bila
kami yang mengolahnya. Kampungku bernama Pinggir. Aku tak mengerti mengapa
disebut pinggir. Mungkin karena letaknya di pinggiran jalan raya. Atau mungkin
saja karena kami dianggap orang terpinggir. Entahlah tak penting sebutan itu.
Pinggirku
kini tergerus. Matahari tumpah sempurna merujuk sunyiku. Hutan yang menjadi
nadi kini diberangus dengan mesin chansaw.
Berganti dengan ladang sawit. Aku semakin terpinggir hanya menyaksikan
pagar-pagar besi melindungi perkebunan sawit nan luas itu. Pabrik sawit yang
meninggalkan sisa-sisa limbah dan aroma bau yang menusuk. Tempat yang biasa aku
berlarian menarikan olang-olang kini menjadi ladang sawit yang tidak bisa
kuinjak tanahnya lagi. Belukar kusut menyuguh layu. Menggalo yang banyak di
dalamnya kini tercerabut tak bisa kunikmati.
Bulan
betina memungut gemintang. Malam dengan bulan yang pucat membawaku ke tepian
sungai. Parau pungguk merayu bulan pada awan hitam yang rancu. Aku nikmati
bersama lukah mencari ikan yang bisa untuk ku makan. Ikan tapa, ikan baung,
ikan selaih, ikan kayangan telah menjauh yang tinggal hanyalah ikan-ikan tanah.
Walaupun ikan kadang enggan singgah ke lukahku yang penting bagiku aku bisa
bersama malam. Jangkrik yang bersahutan membenamkanku larut dalam
ketermanguanku.
Tubuh subuh yang teduh menarikan ranting-ranting angin. Namun
entah mengapa ketika mata ini sedang mencoba melelapkan diri dari fajar setelah
menikmati malam, teriakan keributan kudengar.
"Naik semua!!" Suara-suara berat
tentara bersama senjata apinya membuat kami tak mam- pu berbuat apa-apa.
Malam penat diperam luka. Suara-suara
perempuan menangis dan bentakan-bentakan lelaki mengumbar emosi. Aku hanya
terseret bersama fajar digiring ke truk yang mengangkut kami dengan paksa.
Gerungan truk membelah rimbunan dedaunan yang menangis dan melambai seperti tak
ingin kehilanganku. Pagi yang runyam menyergap kegelapan. Selembar pagi telah
melemparkan kabut. Rumput pun lupa cara bercumbu karena angin sudah terluka.
Alam
rimbapun kian tak nurut pada selubung embun. Angin serakah telah menohak langit
gersang. Aku dan masyarakatku dipaksa untuk turun di tepian jalan beraspal
dengan hamparan gundukan tanah merah yang gersang dan sepi dari keramaian.
Bahkan kegaduhan langit membaham cahaya matatari di tepian hutan karet.
Sepotong siang tertanam di lubuk larangan. Siang sudah diam pada daun daun
karet yang gemetar.
"Turun
kalian di sini. Tempat seperti inilah tempatyang pantas untuk kalian! Kai!!!
Turun kau!!"
Matahari pecah di jalanan sunyi. Kelopak
sunyinya merobek bias cahaya. Aku tak mengerti atas pengusiran ini. Aku hanya
mendapat sepenggal penjelasan kalau sepetak hutan yang kami miliki akan
dijadikan pabrik pengolahan sawit secara moderen. Yang aku ingat pemimpin-pemimpin
suku menolak keras rencana itu. Tapi kekuasaan dan uang telah bicara lain. Kami
dipaksa turun. Aku hanya termangu menatap hamparan tanah merah yang tidak biasa
kutatap. Aku menyambut malam dengan gamang. Malam yang biasa menjadi teman dengan
keindahannya kini menyiksaku.
Malam
cemburu melabuhkan perahu kelam pada dadaku yang rusuh. Fajar yang kujelangpun
semakin membakar sisi batinku. Entah dorongan apa yang membuatku harus berteriak.
Sekuat yang kubisa. Aku kehilangan malam. Tertatih memujuk gelap pada resahnya
peradaban kering. Aku terus berteriak dan berlari dan berlari sekuat yang
kubisa. Aku melayang dalam menuju titik jurang terdalam. Tanah ngilu
menjauhkanku dari segelap malam. Hitam.
Tidak ada komentar