Microsoft AI Creator |
Menikmati kurma ibarat mimpi. Bagi sebagian orang saat
berbuka puasa dengan kurma dianggap sajian yang lumrah. Namun tidak bagiku.
Seperti mimpi bila kurma sebagai sunah Rasul ini menghiasi buka puasaku. Status
anak yatim piatu dan tinggal bersama nenek renta telah Tuhan pilih untuk aku
jalani. Untuk menikmati sebutir kurma, aku harus sering-sering ke masjid yang
selalu memberikan takjil gratis. Kunikmati takjil yang diberikan dan tak pernah
kulupakan menyelipkan kurma yang kudapat untuk nenek di rumah.
“Makanlah Nek.” Ucapan yang selalu kusampaikan dengan
bahagia kala mendapatkan takjil gratis berisikan kurma. Seulas senyumnya
membuat bahagia. Sebenar bahagia.
“Kapan-kapan kalau ada lagi Nenek mau ya Ndi,” harap
Nenek.
Kalimat harapan nenek seperti itulah yang membuatku
bahagia dan semangat berburu takjil. Nenek menganggap kurma kala puasa menjalin
kenangan-kenangan manis bersama kakek.
“Kakekmu selalu menyediakan kurma setiap akan berbuka
puasa Ndi. Hanya itulah cara bentuk rindu kami sama tanah suci, karena untuk
berangkat ke sana nampaknya hanya bisa dalam mimpi. Kakek sama Nenek Taunya
kalau ada yang pulang dari tanah suci selalu membawa kurma,” kenangnya.
Setiap buka puasa dan ketika ada berbagi takjil gratis
menjadi sasaranku untuk menikmatinya. Bukan hanya di masjid yang letaknya tidak
jauh dari rumahku, berbagi takjil di jalanan oleh sekelompok orang, aku coba
memburunya. Bahkan tanpa segan aku meminta bingkisan takjil yang ada kurma.
Begitulah hari-hariku hanya tentang membahagiakan nenek
dengan takjil berupa kurma. Namun pada giliran waktu tak kudapati kurma di
tempat yang biasa kuikuti takjil gratis. Kucoba keliling beberapa tempat yang
membagikan takjil gratis, tak ada yang menyediakan kurma. Kurma yang ada berada
di swalayan dan itu berbayar. Sedangkan yang kuharapkan yang gratis.
Entah mengapa kali ini apa penyebabnya. Kurma menjadi
barang langka. Aku mendengar dari bincang-bincang orang yang berlalu lalang.
Kurma sekarang harganya selangit, tidak semua swalayan mampu untuk menjualnya. Kalaupun ada hanya swalayan
besar yang mampu menjual tapi tentunya dengan harga selangit.
Nenek di rumah pun nampaknya kehilangan selera untuk
berbuka puasa sejak aku tak berhasil menyiapkan sebutir kurma. Nenek semakin
kehilangan selera.
“Nenek hanya mau kurma,” lirih nenek.
Keinginan nenek membuatku panik. Bayang-bayang kehilangan
orang terkasih melintas. Dari ayah, ibu, dan kakek melintasi satu persatu.
Aku kuras tabungan dari kaleng roti yang tersimpan di
pojok dalam lemari. Recehan-recehan yang berhasil kusimpan kukumpulkan. Aku
pergi berjalan kaki menuju swalayan besar terdekat. Sepertinya sekuriti
mencurigaiku sebagai gelandangan yang tak pantas masuk ke swalayan itu. Memang
aku gelandangan. Hidup bersama nenek di rumah bekas yang sudah tak mau dihuni
pemiliknya. Tak berlampu. Gelap bersama malam.
Tiba di swalayan, aku perhatikan tertera berbagai jenis
kurma beserta harga yang tertera. Kurma Ajwa, Safawi, Muda, Mazafati, dan
Medjool. Terbayang raut wajah nenek akan teramat bahagia bila dapat
menyicipnya. Sayangnya, aku hanya bisa nelangsa kala merogoh saku celana, tidak
cukup dari uang recehan yang ada dalam kantong.
Aku kembali ke rumah dan menyimpan uang recehan di dalam
kaleng. Bergegas dalam terik menjelang Zhuhur menuju masjid raya. Berharap
belas kasihan yang mau menggunakan jasa semir sepatuku.
Namun bulan berkah dan bertabur pahala, nampaknya belum
berpihak padaku. Tak ada satupun yang berkenan menggunakan jasa semir sepatuku.
Terlintas pikiran-pikiran tidak baik untuk bagaimana mendapatkan uang untuk
membelikan nenek kurma. Tarik kiri dan tarik kanan serta bisikan baik dan
bisikan buruk mempengaruhiku. Suara azan menyadarkanku untuk melupakan
bisikan-bisikan ketidakbaikan itu.
Sehimpun doa yang berulang-ulang kupanjatkan. Aku yakin
Tuhan tak pernah lelah mendengarkan doa umat-Nya, seperti ceramah yang sering
kudengar jelang salat sambil menanti orang baik yang akan memakai jasa semirku.
“Semir, Dik.” Seorang
lelaki berpakaian putih mendatangiku. Rasa syukur berulang-ulang kuucapkan
dengan lirih.
“Khusuk sekali berdoanya tadi Dik.” Kudengar lelaki itu menyapaku.
“Iya Pak. Saya ingin membelikan kurma untuk bukaan nenek.
Tapi ternyata kurma sekarang langka dan kalau ada harganya tak terjangkau,”
jelasku.
Lelaki itu tersenyum sambal berzikir menanti selesainya
sepatunya kusemir. Terkagum aku melihat wajahnya sepertinya memancarkan cahaya.
Sepatunya selesai aku semir, namun lelaki itu tidak
berada di sekitar tempatku. Aku mencari ke dalam masjid dan tempat wudhu. Tidak
ketemu. Sudah menjelang senja. Kecewa.
“Maafkan Andi, Nek, sepertinya belum rezeki untuk hari ini.” Kuletakkan sepatu yang selesai
disemir pada tangga-tangga alas kaki.
Aku melupakan kecewa dan harus segera berburu takjil
berharap ada kurma untuk nenek. Senja itu aku kembali ke rumah setelah berburu
takjil gratis di masjid. Perburuan takjil itu aku hanya mencari kurma untuk
nenek. Kembali tidak kutemukan. Aku membawa dua bungkus berisikan kue tanpa
kurma.
“Nek, maafkan Andi belum bisa membawakan kurma untuk
bukaan hari ini.” Aku menyampaikan dengan segenap rasa bersalah.
“Loh, tadi seorang lelaki berbaju putih dengan wajah
bercahaya datang, katanya lima kotak kurma yang di meja itu titipan Andi untuk
Nenek?” Aku hanya menyimpan heran dan sujud syukur.
“Mungkinkah lelaki itu malaikat? Entahlah.”
***
Keterangan: Cerpen pernah dimuat di media online Tiras
Times.
Tidak ada komentar