Kurma: Cerpen Bambang Kariyawan Ys.

 


Microsoft AI Creator

Menikmati kurma ibarat mimpi. Bagi sebagian orang saat berbuka puasa dengan kurma dianggap sajian yang lumrah. Namun tidak bagiku. Seperti mimpi bila kurma sebagai sunah Rasul ini menghiasi buka puasaku. Status anak yatim piatu dan tinggal bersama nenek renta telah Tuhan pilih untuk aku jalani. Untuk menikmati sebutir kurma, aku harus sering-sering ke masjid yang selalu memberikan takjil gratis. Kunikmati takjil yang diberikan dan tak pernah kulupakan menyelipkan kurma yang kudapat untuk nenek di rumah.

“Makanlah Nek.” Ucapan yang selalu kusampaikan dengan bahagia kala mendapatkan takjil gratis berisikan kurma. Seulas senyumnya membuat bahagia. Sebenar bahagia.

“Kapan-kapan kalau ada lagi Nenek mau ya Ndi,” harap Nenek.

Kalimat harapan nenek seperti itulah yang membuatku bahagia dan semangat berburu takjil. Nenek menganggap kurma kala puasa menjalin kenangan-kenangan manis bersama kakek.

“Kakekmu selalu menyediakan kurma setiap akan berbuka puasa Ndi. Hanya itulah cara bentuk rindu kami sama tanah suci, karena untuk berangkat ke sana nampaknya hanya bisa dalam mimpi. Kakek sama Nenek Taunya kalau ada yang pulang dari tanah suci selalu membawa kurma,” kenangnya.

Setiap buka puasa dan ketika ada berbagi takjil gratis menjadi sasaranku untuk menikmatinya. Bukan hanya di masjid yang letaknya tidak jauh dari rumahku, berbagi takjil di jalanan oleh sekelompok orang, aku coba memburunya. Bahkan tanpa segan aku meminta bingkisan takjil yang ada kurma.

Begitulah hari-hariku hanya tentang membahagiakan nenek dengan takjil berupa kurma. Namun pada giliran waktu tak kudapati kurma di tempat yang biasa kuikuti takjil gratis. Kucoba keliling beberapa tempat yang membagikan takjil gratis, tak ada yang menyediakan kurma. Kurma yang ada berada di swalayan dan itu berbayar. Sedangkan yang kuharapkan yang gratis.

Entah mengapa kali ini apa penyebabnya. Kurma menjadi barang langka. Aku mendengar dari bincang-bincang orang yang berlalu lalang. Kurma sekarang harganya selangit, tidak semua swalayan mampu  untuk menjualnya. Kalaupun ada hanya swalayan besar yang mampu menjual tapi tentunya dengan harga selangit.

Nenek di rumah pun nampaknya kehilangan selera untuk berbuka puasa sejak aku tak berhasil menyiapkan sebutir kurma. Nenek semakin kehilangan selera.

“Nenek hanya mau kurma,” lirih nenek.

Keinginan nenek membuatku panik. Bayang-bayang kehilangan orang terkasih melintas. Dari ayah, ibu, dan kakek melintasi satu persatu.

Aku kuras tabungan dari kaleng roti yang tersimpan di pojok dalam lemari. Recehan-recehan yang berhasil kusimpan kukumpulkan. Aku pergi berjalan kaki menuju swalayan besar terdekat. Sepertinya sekuriti mencurigaiku sebagai gelandangan yang tak pantas masuk ke swalayan itu. Memang aku gelandangan. Hidup bersama nenek di rumah bekas yang sudah tak mau dihuni pemiliknya. Tak berlampu. Gelap bersama malam.

Tiba di swalayan, aku perhatikan tertera berbagai jenis kurma beserta harga yang tertera. Kurma Ajwa, Safawi, Muda, Mazafati, dan Medjool. Terbayang raut wajah nenek akan teramat bahagia bila dapat menyicipnya. Sayangnya, aku hanya bisa nelangsa kala merogoh saku celana, tidak cukup dari uang recehan yang ada dalam kantong.

Aku kembali ke rumah dan menyimpan uang recehan di dalam kaleng. Bergegas dalam terik menjelang Zhuhur menuju masjid raya. Berharap belas kasihan yang mau menggunakan jasa semir sepatuku.

Namun bulan berkah dan bertabur pahala, nampaknya belum berpihak padaku. Tak ada satupun yang berkenan menggunakan jasa semir sepatuku. Terlintas pikiran-pikiran tidak baik untuk bagaimana mendapatkan uang untuk membelikan nenek kurma. Tarik kiri dan tarik kanan serta bisikan baik dan bisikan buruk mempengaruhiku. Suara azan menyadarkanku untuk melupakan bisikan-bisikan ketidakbaikan itu.

Sehimpun doa yang berulang-ulang kupanjatkan. Aku yakin Tuhan tak pernah lelah mendengarkan doa umat-Nya, seperti ceramah yang sering kudengar jelang salat sambil menanti orang baik yang akan memakai jasa semirku.

“Semir, Dik.” Seorang lelaki berpakaian putih mendatangiku. Rasa syukur berulang-ulang kuucapkan dengan lirih.

“Khusuk sekali berdoanya tadi Dik.” Kudengar lelaki itu menyapaku.

“Iya Pak. Saya ingin membelikan kurma untuk bukaan nenek. Tapi ternyata kurma sekarang langka dan kalau ada harganya tak terjangkau,” jelasku.

Lelaki itu tersenyum sambal berzikir menanti selesainya sepatunya kusemir. Terkagum aku melihat wajahnya sepertinya memancarkan cahaya.

Sepatunya selesai aku semir, namun lelaki itu tidak berada di sekitar tempatku. Aku mencari ke dalam masjid dan tempat wudhu. Tidak ketemu. Sudah menjelang senja. Kecewa.

“Maafkan Andi, Nek, sepertinya belum rezeki untuk hari ini.” Kuletakkan sepatu yang selesai disemir pada tangga-tangga alas kaki.

Aku melupakan kecewa dan harus segera berburu takjil berharap ada kurma untuk nenek. Senja itu aku kembali ke rumah setelah berburu takjil gratis di masjid. Perburuan takjil itu aku hanya mencari kurma untuk nenek. Kembali tidak kutemukan. Aku membawa dua bungkus berisikan kue tanpa kurma.

“Nek, maafkan Andi belum bisa membawakan kurma untuk bukaan hari ini.” Aku menyampaikan dengan segenap rasa bersalah.

“Loh, tadi seorang lelaki berbaju putih dengan wajah bercahaya datang, katanya lima kotak kurma yang di meja itu titipan Andi untuk Nenek?” Aku hanya menyimpan heran dan sujud syukur.

“Mungkinkah lelaki itu malaikat? Entahlah.”

 

***

 Pekanbaru, 2022

Keterangan: Cerpen pernah dimuat di media online Tiras Times.

Tidak ada komentar