Novel "Gurindam Laut" (5) karya Bambang Kariyawan Ys.

 

https://www.halaltrip.com/


5

Kemarahan dan Keteguhan

 

Di sudut pusat perkantoran megah yang biasa disebut Gedungnya Nurani Rakyat, seorang penguasa dengan gelisah membaca surat yang baru saja diterimanya. Kehadiran surat tersebut membuat telinga Penguasa menjadi panas. Ibarat kambing kebakaran jenggot. Sumpah serapah entah ditujukan kepada siapa. Ternyata sebuah peribahasa semakin berisi semakin merunduk dan semakin menjulang tinggi semakin kuat angin menerpa belum hinggap dalam diri Penguasa. Kemarahan dilampiaskan kepada staf-stafnya.

”Kalian cari siapa anak yang menulis surat ini! Alamatnya di SMA Negeri Penyengat. Selidiki latar belakangnya!”Penguasa langsung pergi tanpa memberikan kesempatan kepada staffnya untuk meminta penjelasan lebih rinci.

***

Staff Penguasa melakukan langkah-langkah penyelidikan. Beragam kamuflase dilakukan untuk mencari data tentang Adi dan lingkungannya sesuai permintaan Bos mereka. Penyamaran dilakukan untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya. Informasi diperoleh dengan cara langsung datang ke tempat sumber atau kadang dengan berpura-pura menelpon mencari informasi.

”Pak, dari hasil penyelidikan kami anak yang menulis surat tersebut anak seorang nelayan di tepi pantai. Di sekolah anak tersebut memang dikenal suka menulis,” Staff Penguasa melaporkan hasil investigasinya.

”Bagus. Buat surat  peringatan keras untuk sekolah dan orang tua anak ini. Bila tidak digubris dalam 7 hari kita buat tindakan yang sedikit membuat mereka takut untuk meneruskan kritikan ini,” instruksi Penguasa dan melanjutkan rambu-rambu isi surat peringatan.

***

Informasi yang diperoleh ternyata dimanfaatkan dengan baik oleh Penguasa. Dengan mengerahkan staffnya beragam intimidasi dan teror dilakukan. Berkali-kali kepala sekolah diancam dengan bermacam teror, sehingga situasi itu membuat Kepala Sekolah harus membuat keputusan,”Adi, secara pribadi Bapak mendukung apa yang kamu lakukan untuk melakukan perubahan. Tapi untuk kepentingan banyak pihak cobalah untuk mengerti.”

”Tapi Pak, bukankah negeri ini punya undang-undang yang mengatur kebebasan untuk mengeluarkan pendapat?” Adi memberanikan diri memberi alasan dengan mengingatkan kembali tentang kebebasan berpendapat seperti yang diperolehnya dalam pelajaran Kewarganegaraan.

”Bapak hanya minta cobalah pikirkan baik-baik.”

Perkara yang sedang dihadapi Adi dengan cepat menyebar ke semua unsur sekolah. Pak Guru salah satu diantaranya yang sangat peduli dengan masalah tersebut. Di halaman sekolah, Pak Guru menguatkan hati Adi agar sabar menghadapi cobaan ini.

”Adi, tidak ada perjuangan tanpa hambatan.”

Kebimbangan mewarnai langkah kakinya untuk mencapai rumah. Namun ketika pikiran sedang berjalan ingin memecahkan masalah dengan Kepala Sekolah, tiba-tiba didapatinya rumah yang selalu menyambutnya dengan hangat kali ini porak-poranda tak menentu. Beberapa dinding yang terbuat dari papan jebol oleh hantaman palu, perabot-perabot sederhana di dalam rumah berantakan seperti kapal pecah.

”Bu, ada apa dengan rumah kita?” Adi minta penjelasan dengan bicara perlahan melihat ekspresi sedih ibunya.

”Tak tahulah nak, saat ibu dan ayah sepulang dari pasar udah berserakan begini,” jawab ibu sambil berusaha membereskan barang-barang yang berserakan untuk ditata kembali.

”Ayah dimana Bu?”

”Ada di belakang.”

”Ayah, ada apa sebenarnya yang terjadi?” Adi melihat ayahnya pun sibuk memperbaiki papan rumah yang sempat lepas.

”Tak tahulah Di.”

Kejadian pengrusakan rumah Adi mendapat simpati dari para tetangga dengan berdatangan untuk membantu merapikan rumah tersebut.

***

Di sudut mesjid selesai Magrib…

Kegalauan yang dirasakan terasa sedikit tenang setelah melaksanakan sholat. Adi berusaha mencari jalan keluar masalahnya dengan menemui Pak Guru. Keyakinan yang kuat selalu mengatakan berbagi masalah minimal akan menemukan titik-titik terang untuk memecahkan masalah tersebut.

”Pak, dengan surat larangan saya menulis lagi, bagaimana dengan kewajiban saya menulis di Melayu Pos?”

”Besok coba Bapak hubungi teman bapak atau Adi besok ikut Bapak sekalian, kita ke Kantor Melayu Pos di Tanjung Pinang,” Pak Guru menawarkan diri sebagai wujud empati atas masalah muridnya itu.

***

Kesibukan masyarakat Penyengat di pagi hari bermula di pelabuhan. Masyarakat banyak yang bekerja di Tanjung Pinang dengan memanfaatkan Pong Pong sebagai sarana transportasinya. Kadang harus antri menanti giliran. Pak Guru dan Adi termasuk diantara sekian banyak yang harus sabar menunggu giliran. Berbekal surat larangan itu mereka menuju Kantor Melayu Pos.

”Bang Ervan, ini Adi yang biasa menulis puisi untuk kolom sastra. Sekarang ada masalah dari Penguasa berupa larangan menulis,” Pak Guru memperkenalkan Adi dan menceritakan permasalahan yang dihadapinya.

”Masalah menarik nih. Ada bukti yang bisa kami angkat sebagai bahan tulisan di Melayu Pos? Ini benar-benar masalah menarik, masak di zaman sekarang ada larangan-larangan menulis, memang era Pramudya Anantatur. Ha… ha… ha…,” Bang Ervan tertawa untuk mencairkan suasana.

”Ini bukti surat pelarangannya.”

”Bisa Adi cerita latar belakang surat ini ?”

Adi menuturkan semua masalahnya mulai dari kegelisahannya untuk belajar menulis opini, sampai keberaniaannya megirimkan surat ke Penguasa. Bahkan dengan menunjukkan seluruh bukti tertulis yang pernah disampaikan kepada Penguasa.

”Oke Di, terus saja menulis, Abang tunggu karya-karyamu, tetap saja email ke Melayu Pos. Untuk masalah ini jangan kuatir, kami di Melayu Pos akan mengangkat masalah ini dan kami yang akan bertanggung jawab.”

***

Sepulang dari Kantor Harian Melayu, dari pelabuhan naik pong pong menuju Penyengat. Perjalanan Tanjung Pinang – Penyengat diperkirakan sekitar 20 menit. Bagi orang awam menaiki Pong Pong dapat menimbulkan kegamangan tersendiri karena hempasan ombak yang membuat Pong Pong oleng ke kiri dan ke kanan. Lain halnya bagi yang telah biasa. Namun dalam perjalanan kali ini terasa lain karena Pong-Pong yang ditumpangi di tengah laut tiba-tiba bocor dan air laut memenuhi perahu kecil itu. Kepanikan membuat semua penumpang langsung terjun ke laut. Kemahiran berenang laut bagi masyarakat Penyengat merupakan keterampilan wajib yang harus dikuasai. Semua penumpang berusaha berenang ke tepi. Kebetulan ada Pong Pong lain yang lewat sehingga satu persatu penumpang dapat diantar ke pelabuhan. Namun Pak Guru mengalami keram dan pingsan sehingga harus segera dibawa ke Puskesmas.

Di Puskesmas...

”Bagaimana kejadiannya Pak?” Masyarakat bertanya pada pemilik Pong Pong.

”Entahlah, tiba-tiba saja pong-pong saya bocor, sepertinya ada yang sengaja membocorkannya.”

”Bagaimana keadaan Pak Guru, Dok?” Adi meminta penjelasan ketika pemeriksaan dilakukan.

”Alhamdulillah, sudah sadar. Beliau kebanyakan terminum air laut dan keram di kakinya.”

***

Koran Melayu Pos memuat berita tentang pelarangan Adi menulis. Halaman depannya terpajang foto Adi dan sebuah tulisan,

ADI, PEMUDA PENENTANG ARUS.

Pemuatan berita di koran membuat Adi mendapatkan simpati dari rekan dan guru-gurunya. Salah satu dukungan yang diberikan dalam bentuk dialog khusus mengupas tuntas seputar masalah Adi. Acara tersebut merupakan motivasi terkuat untuknya menghadapai masalah yang sebenarnya berat untuk dipikul anak seusia Adi.

***

Ketika Adi dan Rizky selesai dari Warnet untuk mengirim artikel ke Harian Melayu Pos,

”Hai, kamu yang bernama Adi, anak Penyengat!?” Tiga preman langsung mendaratkan pukulan dan tendangan ke Adi dan Rizky tanpa memberikan kesempatan untuk menjawab dan bertanya. Preman-preman itu langsung lari meninggalkan Adi yang pingsan, sedang Rizky sedikit terluka. Rizky meminta tolong orang-orang yang berdatangan untuk membawakan Adi ke Rumah Sakit Umum. Rizky segera mencari wartel dan menghubungi sebuah nomor.

Berita pemukulan Adi membuat kedua orang tuanya cemas.

”Adi, ada apa nak...,” Ibu Adi hanya bisa meneteskan air mata karena ketidaktegaan melihat anaknya terbaring tanpa sadarkan diri.

Setengah jam kemudian Pak Guru muncul setelah ayah Adi meminta Rizky menghubunginya.

”Rizky, bisa ceritakan kejadian sebenarnya?”

Penjelasan Rizky membuat Pak Guru berinisiatif untuk menelpon Bang Ervan dan berharap dapat datang ke Rumah Sakit mengingat jarak Kantor Melayu Pos hanya sekitar 1 km.

”Nampaknya kejadian ini ada hubungannya dengan Penguasa Pak. Berita menarik untuk dimuat. Kalau begitu saya akan segera ke sana untuk mencari informasi lebih lanjut,” Bang Ervan menduga-duga atas penjelasan Pak Guru sambil bersiap-siap meluncur ke Rumah Sakit.

Keesokan harinya di Harian Melayu Pos

DUA SISWA PENYENGAT DIANIAYA PREMAN:

Ada pihak yang mendalangi?

***

Berita-berita yang dimuat Melayu Pos ternyata membuat pihak Penguasa tidak bisa diam. Indikasi-indikasi yang ditujukan kepadanya membuat telinga terasa panas. Ancaman serius dilancarkan Penguasa dengan mengancam akan menutup izin usaha Melayu Pos.

”Saya minta buat berita yang adil. Wartawan anda memojokkan saya dengan kasus Adi, anak ingusan dari Penyengat itu,” Penguasa mengancam serius akan menutup izin usaha Melayu Pos.

”Tapi Pak, bukankah yang kami muat berdasarkan fakta.”

”Oo.. anda tidak mau diajak kompromi ya... Kita lihat saja nanti.”

”Maksud anda?” Pemred menanti jawaban Penguasa tapi ternyata hanya bunyi klik telpon diputus.

***

Pihak Melayu Pos makin gencar dengan menghimpun pihak pengelola harian dan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) cabang Tanjung Pinang. Seluruh harian yang terbit memuat berita tentang Adi dan ancaman pada Melayu Pos. Bagi Melayu Pos, solidaritas yang ditunjukkan seluruh harian di Tanjung Pinang membuat mereka semakin yakin untuk terus berkarya walau ancaman serius datang dari Penguasa untuk menutup usaha mereka. Pemred mengadakan rapat.

”Bagaimana pendapat kalian terhadap ancaman Penguasa? Apakah kita akan terus terbit atau tutup sesaat?”

”Pak, kita punya kode etik dalam memuat berita. Saya harap kita harus meneruskan kerja kita dengan profesional. Saya pikir ini adalah bagian dari dinamika dunia jurnalistik. Tidak perlu kuatir Pak. Kebenaran tetap kebenaran. Kasus Adi menjadi moment besar bagi harian kita. Yakinlah pada kami Pak,”Bang Ervan mencoba memberi argumentasi.

”Ok, mari sama-sama kita perjuangkan profesi kita.” Pemred mengungkapkan kebanggaan atas sikap profesional wartawannya. Rapat dilanjutkan dengan membahas strategi antisipasi ancaman bagi harian mereka.

Harian Melayu Pos membuat pernyataan sikap di hariannya.

KAMI PENJUNJUNG KEBEBASAN PERPENDAPAT

TIDAK AKAN PERNAH GOYAH DENGAN SEGALA

ANCAMAN DAN INTIMIDASI PIHAK-PIHAK

YANG AKAN MERUSAK KEBEBASAN TERSEBUT.

***

 

Penguasa benar-benar memperkarakan Adi dan Melayu Pos. Dengan mengerahkan kekuatan dan kekuasaannya, aparat kepolisian diminta bertindak dengan alasan pencemaran nama baik.  

Di ruang Kepala SMA  Penyengat ...

”Pak, kami diminta membawa Adi untuk ke kantor kami. Ini ada surat panggilannya.”

”Ada masalah apa Pak?”

”Nanti saja di kantor Pak,” Polisi menjawab diplomatis sambil membawa Adi ke Kantor Polisi. Situasi SMA sempat ribut atas kejadian ini. Hampir semua kelas bubar sesaat melihat teman mereka dibawa oleh polisi. Kerumunan bertambah banyak saat mobil polisi mulai meluncur meninggalkan sekolah. Teriak dan tangis dari rekan-rekannya membuat suasana haru dan duka.

Di Kantor Melayu Pos, beberapa polisi menemui Pemred,

”Pak, kami diminta membawa Saudara Ervan ke kantor kami. Ini ada surat panggilannya.”

”Atas perkara apa Pak?”

”Pencemaran nama baik Penguasa.”

”Bagaiman Ervan?” Pemred bertanya dengan nada kuatirnya.

”Tenang aja Pak,” Ervan berusaha untuk tentang menghadapi situasi menegangkan itu.

Adi dan Bang Ervan sempat mendekam selama tiga hari di penjara. Penjara dimanapun tetaplah penjara. Walau bagi siapapun kondisinya dalam status prabersalah. Semua dianggap sama salahnya. Ruangan penjara tetaplah meninggalkan kesumpekan bagi penghuninya. Orang tua Adi dan Pak Guru selalu hadir di sana menemani mereka.

”Adi, ibu sedih nak melihat nasibmu seperti ini.”

”Doakan Adi, Bu.”

”Ini Ibu bawakan asam pedas kesukaanmu.”

Dengan senang Adi makan dengan lahapnya bersama Bang Ervan.Setelah sebelumnya hanya makan dengan rasa hambar.

”Adi, Bapak udah minta pengacara untuk membantu kalian dalam persidangan nanti,” Pak Guru memperkenalkan seorang pengacara yang dikenal sangat dekat dengan rakyat kecil.

”Kenalkan saya Agri, SH, untuk kasus ini saya perlu bukti-bukti. Ada yang bisa dijadikan bukti?”

”Kami ada beberapa bukti yang bisa membebaskan kami dari tuntutan. Kami punya kopian surat Adi untuk Penguasa, kopian surat pelarangan  dan kami juga punya rekaman suara Penguasa yang berisi ancaman untuk Harian kami yang kami dapat dari Telkom,” Bang Ervan menjelaskan dan meminta pengacara mereka datang ke Harian Melayu Pos karena semua bukti disimpan di laci kerjanya.

”Oke, akan coba saya klarifikasi dahulu.”

***

Jalan-jalan protokol Tanjung Pinang dibanjiri aksi demonstrasi solidaritas pelajar dan wartawan. Beragam aksesoris demonstrasi melekat di tubuh mereka. Spanduk membentang antara lain bertuliskan,

BEBASKAN TEMAN KAMI, ADI DARI SEGALA TUNTUTAN!

Demonstrasi berjalan tertib dan menimbulkan kesan baik di mata aparat kepolisian karena dilakukan tanpa kekerasan dan santun dalam bertutur.

Keesokan harinya di Harian Melayu Pos:

KESATUAN AKSI PELAJAR SE TANJUNG PINANG MENUNTUT

TEGAKKAN KEBEBASAN BEREKSPRESI DI NEGERI INI.

***

Lewat perjuangan yang alot antara pembela dan jaksa, dengan melalui intrik dan kemahiran mengolah kata dalam majelis hakim, akhirnya kebenaran berpihak pada kebenaran.

”Berdasarkan hasil persidangan setelah mendengarkan kesaksian maka diputuskan saudara Adi dan Ervan bebas dari segala tuntutan,” Hakim memukul palu sebagai tanda keputusan diambil.

Keputusan bebas tersebut disambut gembira oleh masyarakat. Pekik Takbir dan sujud syukur mewarnai pasca keputusan hakim. Bagai pahlawan, Adi dan Bang Ervan diarak keliling kota Tanjung Pinang dengan konvoi kendaraan bermotor.

Tidak ada komentar