![]() |
Sutardji Calzoum Bachri |
Sumber: https://www.unpaders.id/
Siapa yang tidak mengenal nama Sutardji Calzoum
Bachri? Sebuah nama yang jika didengar akan terbesit kata-kata seperti mantra;
peminum; presiden penyair; dalam pikiran seseorang yang mendengarnya. Dunia
sastra Indonesia tidak akan melupakan sosoknya dalam pembaharuan yang mendobrak
kesusastraan yang biasanya mengalir tenang.
Pria kelahiran Rengat, Indragiri Hulu, pada
tanggal 24 Juni 1941 ini merupakan putra dari pasangan Mohammad Bachri yang
berasal dari Prembun, Kutoarjo, Jawa Tengah dan May Calzoum yang berasal dari
Tanbelan, Riau. Sutardji terlahir sebagai anak kelima dari sebelas bersaudara.
Pria yang sering disapa Bang Tardji ini memiliki seorang istri yang dinikahi pada
bulan November 1982 bernama Mariham Linda dan dikarunia seorang anak perempuan
bernama Mila Seraiwangi.
Pria yang disebut oleh Dami N. Toda sebagai mata
kiri sastra Indonesia dan Chairil Anwar sebagai mata kanan sastra Indonesia,
menyelesaikan pendidikan dasarnya di Sekolah Rakyat pada tahun 1953 di
Bengkalis, Pekanbaru. Lalu melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Menengah
Pertama Negeri di Tanjungpinang, Riau. Dan setelah menamatkan Sekolah Menengah
Atas, Sutardji meneruskan bangku kuliahnya di Jurusan Administrasi Negara,
Fakultas Sosial Politik, Universitas Padjadjaran di Bandung. Namun, Sutardji
hanya sampai pada tingkat Doktoral II dan tidak melanjutkannya lagi karena
Sutardji telah tertarik dengan kepenulisan dan sastra.
Awal karirnya dalam bidang kesusatraan dimulai
dengan menulis dalam surat kabar mingguan di Bandung. Setelah itu sajak-sajak
dan esainya mulai dimuat dalam majalah Horison, Budaya Jaya, Sinar Harapan,
Kompas dan Berita Buana. Sutardji juga mengirim sajak-sajaknya ke surat kabar
lokal seperti Pikiran Rakyat di Bandung dan Haluan di Padang. lambat laun
Sutardji mulai dikenal dalam dunia kepenyairan.
Dengan kegiatannya pada hal kesusatraan,
membuatnya mengikuti seminar International Writing Program di
Iowa City, Amerika Serikat dengan K.H Mustofa Bisri dan Taufik Ismail dari
bulan Oktober 1974 sampai April 1975. Sebelum mengikuti seminar di Iowa,
Sutardji terlebih dahulu mengikuti Poetry Reading International di
Rotterdam pada musim panas.
Empat tahun setelahnya Sutardji diangkat menjadi
redaktur sebuah majalah sastra Horison. Lalu Sutardji menjadi penjaga ruang
seni “Bentara”, spesialis puisi pada harian Kompas pada tahun 2000 hingga
2002 setelah berhenti menjadi redaktur majalah Horison.
Tidak ada komentar