![]() |
Al-Quran sebagai sumber penelitian sosiologi (Living Quran) |
Penelitian Sosiologi dalam Islam memiliki peranan yang
sangat penting dalam usaha untuk memahami dan menggali makna-makna yang
sesungguhnya dikehendaki oleh Al-Qur’an. Selain disebabkan oleh Islam sebagai
agama yang lebih mengutamakan hal-hal yang berbau sosial daripada individual
yang terbukti dengan banyaknya ayat Al-Qur’an dan Hadits yang berkenaan dengan urusan
muamalah (sosial), hal ini juga disebabkan banyak kisah dalam Al-Qur’an yang
kurang bisa dipahami dengan tepat kecuali dengan pendekatan sosiologi. Sebagai
contoh, kisah Nabi Yusuf yang dulunya budak lalu akhirnya menjadi penguasa di
Mesir dan kisah nabi Musa yang dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh Nabi
Harun. Kedua kisah itu baru dapat dimengerti dengan tepat dan dapat ditemukan
hikmahnya dengan bantuan ilmu sosial.
Selain itu, dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa Allah
mengharapkan adanya suatu umat yang menjadi saksi atas manusia (syuhada ‘ala
al-nas). Fungsi ini, antara lain dapat diwujudkan melalui penelitian
empiris. Tema-tema tentang keadilan, taqwa, musyawarah, tolong menolong, amal
saleh, dan lain sebagainya dapat diteliti sampai sejauh mana tema-tema tersebut
dipraktikkan dalam masyarakat. Salah satu
rumusan penelitian Al-Qur’an yang diidentifikasikan dengan istilah Living Qur’an adalah salah satu
paradigma dalam menempatkan Al-Qur’an sesuai dengan masyarakat pembacanya.
Definisi Living
Qur’an sebagai studi tentang Al-Qur’an, tetapi tidak bertumpu pada
eksistensi tekstualnya, melainkan studi tentang fenomena sosial yang lahir
terkait dengan kehadiran Al-Qur’an dalam wilayah geografi tertentu dan mungkin
masa tertentu.
Upaya tentang penelitian living Qur’an dengan akar
pendekatan sosiologis adalah semata-mata tidak untuk mencari kebenaran
positivistik yang selalu melihat konteks, tetapi semata-mata melakukan
“pembacaan” objektif terhadap fenomena keagamaan yang menyangkut langsung
dengan Al-Quran. Kalau Living Qur’an ini dikategorikan sebagai
penelitian agama dengan kerangka penelitian agama sebagai gejala sosial, maka
desainnya akan menekankan pentingnya penemuan keterulangan gejala yang diamati
sebelum sampai pada kesimpulan. Living Qur’an sebagai penelitian yang bersifat keagamaan (religious research) menempatkan agama sebagai sosial keagamaan,
yakni sistem sosiologis, suatu aspek organisasi sosial dan hanya dapat dikaji
secara tepat jika karakteristik itu diterima sebagai titik tolak.
Dalam rumusan ini agama diletakkan sebagai sebuah
gejala ssosial bukan doktrin semata. Living Qur’an dimaksudkan bukan
sebagai pemahaman individu atau kelompok orang dalam memahami Al-Qur’an (penafsiran)
akan tetapi bagaimana Al-Qur’an itu disikapi dan direspon masyarakat Muslim
dalam realitas kehidupan sehari-hari menurut konteks budaya dan pergaulan sosial.
Dalam penelitian model Living Qur’an yang
dicari bukan kebenaran agama lewat Al-Qur’an atau bersifat menghakimi (judgment)
sekelompok agama tertentu dalam Islam, tetapi lebih mengedepankan penelitian
tentang tradisi yang menggejala (fenomena) di masyarakat dilihat dari perspektif
kualitatif. Meskipun Al-Qur’an terkadang dijadikan sebagai sosial keyakinan (symbolic
faith) yang dihayati yang kemudian diekspresikan dalam perilaku keagamaan;
maka dalam Living Qur’an ini diharapkan dapat menemukan segala sesuatu
dari hasil pengamatan (observasi) yang cermat dan teliti atas perilaku
komunitas muslim dalam pergaulan sosial keagamaannya hingga menemukan segala
unsur yang menjadi komponen terjadinya perilaku itu melalui struktur luar dan
struktur dalam (deep structure) agar dapat ditangkap makna dan
nilai-nilai (meaning and values) yang melekat dari sebuah fenomena yang
diteliti.
Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa
pada dasarnya terdapat dua jenis metode atau teknik yang dipergunakan dalam
sosiologi.
a. Metode
Kualitatif
Mengutamakan
hasil pengamatan yang sukar diukur dengan angka-angka atau ukuran-ukuran yang
matematis, meskipun kejadian-kejadian itu nyata ada di masyarakat. Yang
termasuk metode kualitatif sebagai berikut:
1) Metode
komparatif,
yaitu metode pengamatan dengan membandingkan bermacam-macam masyarakat dan
bidang-bidangnya untuk memperoleh perbedaan dan persamaan sebagai petunjuk
tentang perilaku masyarakat pertanian Indonesia pada masa lalu dan masa yang
akan datang.
2) Metode
historis,
yaitu metode pengamatan yang menganalisis peristiwa-peristiwa dalam masa silam untuk
merumuskan prinsip-prinsip umum (secara makro).
3) Metode
studi kasus, yaitu metode pengamatan tentang suatu keadaan,
kelompok, masyarakat setempat, lembaga-lembaga maupun individu-individu.
Alat-alat yang dipergunakan dalam studi kasus adalah: (a) wawancara (interview),
(b) daftar pertanyaan (questionnaire), dan (c) participant observer
technique, di mana pengamat ikut dalam kehidupan masyarakat yang diamati.
b. Metode
Kuantitatif
Mengutamakan
bahan-bahan keterangan dengan angka-angka sehingga gejala-gejala yang diteliti
dapat diukur dengan menggunakan skala, indeks, tabel, dan formula. Termasuk
dalam metode ini adalah metode statistik di mana gejala-gejala masyarakat
dianalisis. Di samping metode-metode di atas, masih ada beberapa metode lain sebagai
berikut.
1) Metode
empiris,
yaitu suatu metode yang mengutamakan keadaan keadaan nyata di dalam masyarakat.
2) Metode
rasional,
yaitu suatu metode yang mengutamakan penalaran dan logika akal sehat untuk
mencapai pengertian tentang masalah kemasyarakatan.
3) Metode
deduktif,
yaitu metode yang dimulai dari hal-hal yang berlaku umum untuk menarik
kesimpulan yang khusus.
4) Metode
induktif,
yaitu metode yang mempelajari suatu gejala khusus untuk mendapatkan kesimpulan
yang bersifat umum.
5) Metode
fungsional,
yaitu metode yang dipergunakan untuk menilai kegunaan lembaga-lembaga sosial
masyarakat dan struktur sosial masyarakat.
Penulis: Bambang Kariyawan Ys.
Tidak ada komentar