Cerpen Frederic Evan Darius

Foto: Koleksi Pribadi

 

Cuma Tamat SD

 

“Lamsihar !!!!!” teriak mamakku.

Namaku adalah Lamsihar Mora yang artinya makin bersinar dan kaya. Kalau dari arti memang bagus, tapi biasanya yang bernama Lamsihar adalah pria. Entah mengapa orang tuaku memberi nama itu kepadaku.

Ada yang bilang karena kedua orangtuaku menginginkan anak laki-laki. Tapi kedua orang tuaku membantahnya, katanya mereka memang suka akan nama itu.

“Woi… lama kalilah kau jawab…. Ini ada telepon untuk kau, jawab itu siapa tahu panggilan kerja,” kata emak.

Akupun berlari mengangkat telepon “Halo Pak, dengan saya Lamsihar.”

“Dengan saudari Lamsihar ya, tolong besok datang ke kantor kami PT. Wahana Mitra pukul 8 pagi, untuk wawancara pekerjaan ya, berpakaian rapi ya,” ucap wanita di seberang sana.

“Oh baik, siap bu,” jawabku.

Mamak yang tadi menguping di belakangku tersenyum dan berkata “Kalau begitu mamak masaklah ya ayam kampung kita itu, biar semangat kau menjawab pertanyaan wawancara itu.”

“Tak usah mak, aku ajalah yang masak karena masakanku lebih enak dari masakan mamak,” ujarku. Mamak pun tertawa dan menyetujuinya.

Aku tak tahu ini ayam ke berapa yang dipotong untuk mengantarkanku tes wawancara dan selalu gagal. Mungkin karena kakiku yang polio atau karena tamatan sarjanaku yang tidak sesuai dengan perusahaan yang kulamar.

Aku adalah tamatan sarjana keguruan kimia. Karena semua sekolah sudah kulamar dan hasilnya nihil. Sering juga aku melamar perusahaan kontraktor dan bank. Sama saja hasilnya. Memang aku baru 3 bulan menganggur tapi bagi kami itu adalah suatu masalah besar.

Kami 7 bersaudara. Aku adalah anak pertama. Bapak  berjualan di pasar berbagai macam sayur. Bapak juga mamasok jualan ke beberapa rumah makan. Selain itu mamak juga membuka kedai kecil-kecilan di rumah. Ongkos rumah tangga besar kalau aku tetap saja menganggur.

Agar mamak tak mengomel, segera aku ke belakang, ke kandang ayam untuk menangkap ayam. “Hore, makan enak lagi” kata adikku Hosea. Anak laki-laki satu- satunya di keluarga kami.

Hosea baru saja duduk di kelas 1 Sekolah Dasar. Kalau menurutku, mungkin tak adalah yang dipikirkan anak satu ini. Masalah terbesar Hosea hanyalah matematika. Karena ia sangat lemah sekali matematika. Sudah semester 2 kelas 1, dia masih membawa anak korek api untuk berhitung 0 sampe 45. Di atas itu dia pasrah karena anak korek api bekisar 46 dan 45.

Kuambil ayam lalu kumasak gulai. Kata keluargaku masakanku enak.  Jika ada  arisan aku lah yang memasak. Sebagai anak pertama dari tujuh bersaudara aku dituntut harus serba bisa dan serba cepat.

Makan malampun tiba, kami duduk bersama untuk menyantap makanan. “Seperti kalian tahu, kakak kalian besok akan wawancara pekerjaan, marilah kita mendoakan kakak kita ini agar diterima di perusahaan itu,” kata bapak.

“Ha..ha..ha..ha…palingan zonk…seperti yang sudah sudah. Buat apa sih pulang kampung kalau hanya buat susah?” ujar Desi yang merupakan anak kedua. Dia meledekku habis-habisan.

Aku memang kuliah dulu di UNRI Riau. Setelah tamat kedua orang tua memanggilku balik pulang ke Sibolga karena tidak sanggup mengirim uang makan terus.

“Kau diam Desi!!!” ujarku emosi.

“Kau belum merasakan apa yang kurasakan, kau sangka mudah seorang yang cacat mencari pekerjaan????!!” teriakku. Mamak menangis melihat pertengkaran kami.

”Maafkan mamak boru, mamak cuma tamat SD,” aku terdiam melihat mamak menangis dan mengungkit-ungkit tamat SD.

“Maksud mamak apa?”

“Mamak tidak tahu pentingnya imunisasi polio. Makanya kondisi kau jadi seperti itu,” Mamak menunjuk kakiku. Cuma tamat SD kata-kata pamungkas mamak untuk memaafkan kesalahannya di masa lalu.

Aku pun tak jadi makan malam. Aku  langsung masuk ke kamar tidur. Aku menangis lalu termenung. Seandainya aku normal pastilah pekerjaan gampang kucari. Karena kata orang-orang dari segi wajah, wajahku yang paling cantik di keluarga ini.

“Kak, makanlah kak,” kata adikku Meli.

Meli anak yang manis. Dia masih duduk di kelas 1 SMU. Di bawah Meli ada Susi yang duduk di kelas 3 SMP, lalu ada Sarah yang duduk di kelas 1 SMP, Lidya yang duduk kelas 5 SD baru terakhir Hosea kelas 1 SD. Banyak adikku.

“Maklumilah kak Desi. Dia stress, karena bentar lagi kuliah, dia mungkin takut kalau keuangan kita tidak cukup untuk biaya kuliah.” Bujuk Meli.

”Emangnya ini mauku apa?” Meli menarik napas panjang.

Malam bertambah larut, kami pun tertidur. Keesokan paginya aku bangun pagi- pagi. Menyiapkan segala sesuatu untuk wawancara. Mamak memasak sarapan seperti biasa. Kalau bapak sudah berangkat dari jam 3 pagi membeli sayuran  dari para petani untuk membawanya ke pasar.

Pukul 6 pagi, aku pun berangkat dari rumah. “Mak, doakan ya, biar berhasil” ujarku.

Mamak dengan mata berkaca-kaca berkata, “Tetapnya kau kudoakan, Boru.” Aku pun pergi naik bus kota.

Sesampainya di perusahaan, aku duduk menunggu dekat security. Kantor perusahaan masih belum buka, hanya beberapa karyawan yang bertugas kebersihan yang baru datang. Securiti sempat bertanya, “Mau wawancara kerja ya? Kok pagi sekali datangnya?” Aku pun hanya tersenyum. Selalu kuusahakan datang pagi sekali kalau wawancara, agar tidak terlalu banyak orang yang melihat kakiku ini.

Pukul  08.00  pagi  aku  dipersilahkan  masuk  ke  ruang  personalia. Aku yang pertama kali datang. Personalia tersebut tersenyum ramah, seorang perempuan cantik yang kisaran umurnya mungkin tiga puluh tahun.

“Mbak, wawancaranya pukul 09.00 pagi, jadi mbak tunggu disini ya, dengan peserta lain juga belum datang.” Aku mengangguk tanda setuju. Para pelamar kerja pun mulai berdatangan. Mereka cantik dan ganteng-ganteng menurut penilaianku. Mereka terlihat ceria dan akrab satu sama lain.

Perusahaan ini merupakan perusahan yang bergerak di bidang distribusi obat-obat ke rumah sakit maupun apotek. Kupikir mungkin ilmuku agak terpakailah disini. Lalu personalia memanggil namaku. Aku pun berdiri mengikuti dari  belakang.  Sayup kudengar pelamar lain berbisik, “Polio kakinya lho.” Aku pura-pura tidak mendengar.

 “Lamsihar…saya pikir anda laki-laki, ternyata perempuan,…oke silahkan duduk.” Aku hanya tersenyum. Ini bukan yang pertama kalinya orang berkata seperti itu. Yang mewawancaraku seorang lelaki paru baya. Tampaknya lelaki ini sangat bijaksana. Semoga dia pun bijaksana meloloskan wawancaraku.

“Dari nilai secara tertulis kamu di posisi teratas. Saya yakin kamu pegawai yang kami cari. Nah..sekarang perusahaan kami membutuhkan tenaga marketing ke rumah sakit atau apotek. Atau lebih tepatnya Medical Representative.”

“Apakah anda bersedia?” tanya bapak tersebut itu di akhir wawancara. Langsung saja kujawab, “Iya, pak, saya bersedia.”

Aku pulang dengan hati riang. Meski sebagai marketing pasti banyak rintangannya, tak mengapa. Mamak di rumah pun girang bukan kepalang.

***

Pagi esok harinya, adalah hari besar untukku. Tak lupa kuupload foto di facebook dan instagramku dengan memakai baju kerja. Dengan caption “Pertama kali”. Bangga rasanya. Selang beberapa menit, puluhan komentar mampur di akunku, tak kujawab. Hanya ucapan terimakasih untuk teman yang telah  mendoakan.

Aku tiba di kantor dan langsung ke ruang personalia, kemudian tanda tangan kontrak selama 1 tahun. Apabila selama 1 tahun hasil kerjaku baik, aku akan dijadikan pegawai tetap. Mbak Endang, pegawai personalia itu mengarahkanku ke ruangan marketing.

“Ini ruangamu, kamu akan diajari oleh Pak Roby,” ujar ibu Endang sambil tersenyum. Aku mengangguk mengiyakan. Aku masuk ke ruangan marketing, dan mendapati seorang laki-laki yang bertubuh tinggi, tegap, putih sedang duduk meminum kopinya. Rupanya dia Pak Roby.

“Kamu, marketing yang baru? Hah?? Ga salah nih??” ujarnya menatapku dari atas sampai bawah. Meski Pak Roby meledek dan meragukan kemampuanku, tapi beliau tetap menjalankan tugas menjelaskan pekerjaanku. Aku maklum, ia mungkin kecewa mendapat rekan kerja yang tidak sesuai standar.

Siang harinya, kami langsung dinas luar. Kami akan mendatangi dokter spesialis penyakit dalam yang bernama dokter Erwin di Rumah Sakit Cinta Kasih.

“Hei, jangan lupa, ntar siang kita naik motor,” ujar pak Robi.

“Naik motor siapa pak?”tanyaku.

“Ya, motor masing-masinglah!” jawabnya ketus.

“Pak, saya tak punya motor,” ujarku.

“Ya, udah sebulan ini aku bonceng kamu, tapi ntar bayar yak… Nah, bulan depan kan sudah mulai gajian. Kredit motor jangan lupa!” ujar pak Robi. Aku mengangguk lemah.

“Ya Tuhan, darimana lagi duit kredit motor,” pikirku.

Aku tak mengira, di rumah sakit tepatnya di depan ruang praktek dokter Erwin, sudah banyak marketing lain menunggu. Begitu selesai dan perawat memberi tahu agar kami masuk, para marketing pun berebut untuk masuk lebih duluan. Seorang marketing mendorongku sampai terjatuh.

Rekan marketing lain yang akrab dengan Pak Roby, meledekku. Dan Pak Roby malah ikut-ikutan menyepelekanku. Aku hanya diam dan mengekor kemana Pak Roby pergi. “Kamu tuh ga cocok kerja di sini tahu!” ujar pak Roby sambil mendengkus. Aku  hanya  diam.

Pulang kerja di hari pertama, mamak menyambutku riang. “Kayak mananya kerja hari pertama?” tanya mamak.

“Lumayanlah” jawabku.

“Kalau begitu, makanlah dulu, tadi ada tante Mona datang,” ujar mamak.

“Borunya yang seumurmu sudah mau menikah,” jawab mamak.

Pernikahan juga menjadi biang kerok ruwetnya pikiranku. Sudahlah diteror pekerjaan. Pernikahan jua jadi hantu dalam hidupku. Mana ada lelaki mau denganku yang cacat.

Esoknya Pak Roby tidak masuk. Aku lihat jadwal hari ini ada tiga rumah sakit yang mesti di datangi. “Selamat bersenang-senang, Nona!” pesan Pak Roby. Rupanya sengaja dia melakukannya.

Menetes air mataku. Tapi tidak Lamsihar namanya kalau tidak mencoba sesuatu  yang baru. ”Kau jual aku beli” ujarku dalam hati.

Akupun menaiki angkot untuk pergi ke rumah sakit tersebut. Sesampainya di sana sudah ramai para marketing. Aku mencari akal dengan menyelinap diantara tubuh besar marketing lain, dan masuk ke dalam ruang praktek dokter Ronald.

“Marketing baru?” tanya dokter tua tersebut.

“Iya,” jawabku. Kami berbasa-basi kenalan. Ternyata masih ada ikatan keluarganya dengan mamakku. Beliau kenal baik mamak. Kata dokter Ronald, mamak adalah gadis yang pintar. Mamak putus sekolah karena merawat opungku yang sakit-sakitan. Baru pertama kali ini aku bangga menjadi anak dari seorang yang cuma tamat SD.

Setelah berbincang-bincang, dokter Ronald menawariku menjadi tenaga administrasi. Menurutnya menjadi marketing tak cocok untukku.

“Tapi bagaimana kontrakku, tulang?”

“Gampang itu, aku kenal bos mu.”

Wah, betapa senangnya hatiku. Aku diminta membuat lamaran baru. Hari kedua aku bekerja, kabar baik menghampiriku. Pulang ke rumah kuceritakan semua kepada mamak. Kuceritakan pula bahwa aku direkomendasikan untuk bekerja bulan depan di rumah sakit Sarinah tempat dokter Ronald bekerja. Besok aku harus tes tertulis dan wawancara untuk pekerjaan  tersebut.

Sekarang aku sudah hampir tiga tahun bekerja di rumah sakit besar. Tak kusangka hari ini berpapasan dengan Pak Ronald yang masih mengejar-ngejar dokter spesialis di rumah sakit kami.

“Hebatnya, dek, kau.” Pak Ronald terlihat menatapku yang mengenakan seragam rumah sakit.

“Ah, tak nya hebat, Bang. Aku beruntung saja,” ujarku. kutarik napas lega kini. Kesabaran dan kegigihanku berbuah manis. Tak lama pun aku akan menikah dengan seorang kepala perawat di rumah sakit ini pula. Rejeki tak kemana. Aku bangga jadi anak mamak yang cuma tamat SD.


Tidak ada komentar