![]() |
Foto: Koleksi Pribadi |
Cuma Tamat SD
“Lamsihar !!!!!” teriak mamakku.
Namaku adalah Lamsihar Mora yang artinya makin
bersinar dan kaya. Kalau dari arti memang bagus, tapi biasanya yang bernama
Lamsihar adalah pria. Entah mengapa orang tuaku memberi nama itu kepadaku.
Ada yang bilang karena kedua orangtuaku menginginkan
anak laki-laki. Tapi kedua orang tuaku membantahnya, katanya mereka memang suka
akan nama itu.
“Woi… lama kalilah kau jawab…. Ini ada telepon untuk
kau, jawab itu siapa tahu panggilan kerja,” kata emak.
Akupun berlari mengangkat telepon “Halo Pak, dengan
saya Lamsihar.”
“Dengan saudari Lamsihar ya, tolong besok datang ke
kantor kami PT. Wahana Mitra pukul 8 pagi, untuk wawancara pekerjaan ya,
berpakaian rapi ya,” ucap wanita di seberang
sana.
“Oh baik, siap bu,” jawabku.
Mamak yang tadi menguping di belakangku tersenyum dan
berkata “Kalau begitu mamak masaklah ya ayam kampung kita itu, biar semangat
kau menjawab pertanyaan wawancara itu.”
“Tak usah mak, aku ajalah yang masak karena masakanku
lebih enak dari masakan mamak,” ujarku. Mamak pun tertawa dan menyetujuinya.
Aku tak tahu ini ayam ke berapa yang dipotong untuk
mengantarkanku tes wawancara dan selalu gagal. Mungkin karena kakiku yang polio
atau karena tamatan sarjanaku yang tidak sesuai dengan perusahaan yang kulamar.
Aku adalah tamatan sarjana keguruan kimia. Karena
semua sekolah sudah kulamar dan hasilnya nihil. Sering juga aku melamar
perusahaan kontraktor dan bank. Sama saja hasilnya. Memang aku baru 3 bulan
menganggur tapi bagi kami itu adalah suatu masalah besar.
Kami 7 bersaudara. Aku adalah anak pertama. Bapak berjualan di pasar berbagai macam sayur.
Bapak juga mamasok jualan ke beberapa rumah makan. Selain itu mamak juga
membuka kedai kecil-kecilan di rumah. Ongkos rumah tangga besar kalau aku tetap
saja menganggur.
Agar mamak tak mengomel, segera aku ke belakang, ke
kandang ayam untuk menangkap ayam. “Hore, makan enak lagi” kata adikku Hosea. Anak
laki-laki satu- satunya di keluarga kami.
Hosea baru saja duduk di kelas 1 Sekolah Dasar. Kalau
menurutku, mungkin tak adalah yang dipikirkan anak satu ini. Masalah terbesar
Hosea hanyalah matematika. Karena ia sangat lemah sekali matematika. Sudah
semester 2 kelas 1, dia masih membawa anak korek api untuk berhitung 0 sampe
45. Di atas itu dia pasrah karena anak korek api bekisar 46 dan 45.
Kuambil ayam lalu kumasak gulai. Kata keluargaku
masakanku enak. Jika ada arisan aku lah yang memasak. Sebagai anak
pertama dari tujuh bersaudara aku dituntut harus serba bisa dan serba cepat.
Makan malampun tiba, kami duduk bersama untuk
menyantap makanan. “Seperti kalian tahu, kakak kalian besok akan wawancara
pekerjaan, marilah kita mendoakan kakak kita ini agar diterima di perusahaan
itu,” kata bapak.
“Ha..ha..ha..ha…palingan zonk…seperti yang sudah
sudah. Buat apa sih pulang kampung kalau hanya buat susah?” ujar Desi yang merupakan
anak kedua. Dia meledekku habis-habisan.
Aku memang kuliah dulu di UNRI Riau. Setelah tamat
kedua orang tua memanggilku balik pulang ke Sibolga karena tidak sanggup
mengirim uang makan terus.
“Kau diam Desi!!!” ujarku emosi.
“Kau belum merasakan apa yang kurasakan, kau sangka
mudah seorang yang cacat mencari pekerjaan????!!” teriakku. Mamak menangis melihat
pertengkaran kami.
”Maafkan mamak boru, mamak cuma tamat SD,” aku terdiam
melihat mamak menangis dan mengungkit-ungkit tamat SD.
“Maksud mamak apa?”
“Mamak tidak tahu pentingnya imunisasi polio. Makanya
kondisi kau jadi seperti itu,” Mamak menunjuk kakiku. Cuma tamat SD kata-kata
pamungkas mamak untuk memaafkan kesalahannya di masa lalu.
Aku pun tak jadi makan malam. Aku langsung masuk ke kamar tidur. Aku menangis
lalu termenung. Seandainya aku normal pastilah pekerjaan gampang kucari. Karena
kata orang-orang dari segi wajah, wajahku yang paling cantik di keluarga ini.
“Kak, makanlah
kak,” kata adikku Meli.
Meli anak yang manis. Dia masih duduk di kelas 1 SMU.
Di bawah Meli ada Susi yang duduk di kelas 3 SMP, lalu ada Sarah yang duduk di
kelas 1 SMP, Lidya yang duduk kelas 5 SD baru terakhir Hosea kelas 1 SD. Banyak
adikku.
“Maklumilah kak Desi. Dia stress, karena bentar lagi
kuliah, dia mungkin takut kalau keuangan kita tidak cukup untuk biaya kuliah.”
Bujuk Meli.
”Emangnya ini mauku apa?” Meli menarik napas panjang.
Malam bertambah larut, kami pun tertidur. Keesokan
paginya aku bangun pagi- pagi. Menyiapkan segala sesuatu untuk wawancara. Mamak
memasak sarapan seperti biasa. Kalau bapak sudah berangkat dari jam 3 pagi
membeli sayuran dari para petani untuk
membawanya ke pasar.
Pukul 6 pagi, aku pun berangkat dari rumah. “Mak,
doakan ya, biar berhasil” ujarku.
Mamak dengan mata berkaca-kaca berkata, “Tetapnya kau
kudoakan, Boru.” Aku pun pergi naik bus kota.
Sesampainya di perusahaan, aku duduk menunggu dekat
security. Kantor perusahaan masih belum buka, hanya beberapa karyawan yang
bertugas kebersihan yang baru datang. Securiti sempat bertanya, “Mau wawancara
kerja ya? Kok pagi sekali datangnya?” Aku pun hanya tersenyum. Selalu kuusahakan
datang pagi sekali kalau wawancara, agar tidak terlalu banyak orang yang
melihat kakiku ini.
Pukul
08.00 pagi aku
dipersilahkan masuk ke ruang personalia. Aku yang pertama kali datang. Personalia tersebut tersenyum ramah, seorang
perempuan cantik yang kisaran umurnya mungkin tiga puluh tahun.
“Mbak, wawancaranya pukul 09.00 pagi, jadi mbak tunggu
disini ya, dengan peserta lain juga belum datang.” Aku mengangguk tanda setuju.
Para pelamar kerja pun mulai berdatangan. Mereka cantik dan ganteng-ganteng menurut
penilaianku. Mereka terlihat ceria dan akrab satu sama lain.
Perusahaan ini merupakan perusahan yang bergerak di
bidang distribusi obat-obat ke rumah sakit maupun apotek. Kupikir mungkin
ilmuku agak terpakailah disini. Lalu personalia memanggil namaku. Aku pun
berdiri mengikuti dari belakang. Sayup kudengar pelamar lain berbisik, “Polio
kakinya lho.” Aku pura-pura tidak mendengar.
“Lamsihar…saya
pikir anda laki-laki, ternyata perempuan,…oke silahkan duduk.” Aku hanya
tersenyum. Ini bukan yang pertama kalinya orang berkata seperti itu. Yang
mewawancaraku seorang lelaki paru baya. Tampaknya lelaki ini sangat bijaksana.
Semoga dia pun bijaksana meloloskan wawancaraku.
“Dari nilai secara tertulis kamu di posisi teratas. Saya
yakin kamu pegawai yang kami cari. Nah..sekarang perusahaan kami membutuhkan
tenaga marketing ke rumah sakit atau apotek. Atau lebih tepatnya Medical Representative.”
“Apakah anda bersedia?” tanya bapak tersebut itu di
akhir wawancara. Langsung saja kujawab, “Iya, pak, saya bersedia.”
Aku pulang dengan hati riang. Meski sebagai marketing
pasti banyak rintangannya, tak mengapa. Mamak di rumah pun girang bukan
kepalang.
***
Pagi
esok harinya, adalah hari besar untukku. Tak lupa kuupload foto di facebook dan
instagramku dengan memakai baju kerja. Dengan caption “Pertama kali”. Bangga
rasanya. Selang beberapa menit, puluhan komentar mampur di akunku, tak kujawab.
Hanya ucapan terimakasih untuk teman yang telah
mendoakan.
Aku
tiba di kantor dan langsung ke ruang personalia, kemudian tanda tangan kontrak
selama 1 tahun. Apabila selama 1 tahun hasil kerjaku baik, aku akan dijadikan
pegawai tetap. Mbak Endang, pegawai personalia itu mengarahkanku ke ruangan
marketing.
“Ini
ruangamu, kamu akan diajari oleh Pak Roby,” ujar ibu Endang sambil tersenyum. Aku
mengangguk mengiyakan. Aku masuk ke ruangan marketing, dan mendapati seorang
laki-laki yang bertubuh tinggi, tegap, putih sedang duduk meminum kopinya.
Rupanya dia Pak Roby.
“Kamu,
marketing yang baru? Hah?? Ga salah nih??” ujarnya menatapku dari atas sampai
bawah. Meski Pak Roby meledek dan meragukan kemampuanku, tapi beliau tetap
menjalankan tugas menjelaskan pekerjaanku. Aku maklum, ia mungkin kecewa
mendapat rekan kerja yang tidak sesuai standar.
Siang
harinya, kami langsung dinas luar. Kami akan mendatangi dokter spesialis
penyakit dalam yang bernama dokter Erwin di Rumah Sakit Cinta Kasih.
“Hei,
jangan lupa, ntar siang kita naik motor,” ujar pak Robi.
“Naik motor
siapa pak?”tanyaku.
“Ya, motor
masing-masinglah!” jawabnya ketus.
“Pak, saya tak
punya motor,” ujarku.
“Ya, udah sebulan ini aku bonceng kamu, tapi ntar
bayar yak… Nah, bulan depan kan sudah mulai gajian. Kredit motor jangan lupa!”
ujar pak Robi. Aku mengangguk lemah.
“Ya Tuhan,
darimana lagi duit kredit motor,” pikirku.
Aku tak mengira, di rumah sakit tepatnya di depan
ruang praktek dokter Erwin, sudah banyak marketing lain menunggu. Begitu
selesai dan perawat memberi tahu agar kami masuk, para marketing pun berebut
untuk masuk lebih duluan. Seorang marketing mendorongku sampai terjatuh.
Rekan marketing lain yang akrab dengan Pak Roby,
meledekku. Dan Pak Roby malah ikut-ikutan menyepelekanku. Aku hanya diam dan
mengekor kemana Pak Roby pergi. “Kamu tuh ga cocok kerja di sini tahu!” ujar
pak Roby sambil mendengkus. Aku
hanya diam.
Pulang kerja di hari pertama, mamak menyambutku riang.
“Kayak mananya kerja hari pertama?” tanya mamak.
“Lumayanlah” jawabku.
“Kalau begitu, makanlah dulu, tadi ada tante Mona
datang,” ujar mamak.
“Borunya
yang seumurmu sudah mau menikah,” jawab mamak.
Pernikahan
juga menjadi biang kerok ruwetnya pikiranku. Sudahlah diteror pekerjaan.
Pernikahan jua jadi hantu dalam hidupku. Mana ada lelaki mau denganku yang
cacat.
Esoknya
Pak Roby tidak masuk. Aku lihat jadwal hari ini ada tiga rumah sakit yang mesti
di datangi. “Selamat bersenang-senang, Nona!” pesan Pak Roby. Rupanya sengaja
dia melakukannya.
Menetes
air mataku. Tapi tidak Lamsihar namanya kalau tidak mencoba sesuatu yang baru. ”Kau jual aku beli” ujarku dalam hati.
Akupun
menaiki angkot untuk pergi ke rumah sakit tersebut. Sesampainya di sana sudah
ramai para marketing. Aku mencari akal dengan menyelinap diantara tubuh besar
marketing lain, dan masuk ke dalam ruang praktek dokter Ronald.
“Marketing
baru?” tanya dokter tua tersebut.
“Iya,”
jawabku. Kami berbasa-basi kenalan. Ternyata masih ada ikatan keluarganya
dengan mamakku. Beliau kenal baik
mamak. Kata dokter Ronald, mamak adalah gadis yang pintar. Mamak putus sekolah
karena merawat opungku yang sakit-sakitan. Baru pertama kali ini aku bangga
menjadi anak dari seorang yang cuma tamat SD.
Setelah
berbincang-bincang, dokter Ronald menawariku menjadi tenaga administrasi.
Menurutnya menjadi marketing tak cocok untukku.
“Tapi bagaimana
kontrakku, tulang?”
“Gampang itu,
aku kenal bos mu.”
Wah,
betapa senangnya hatiku. Aku diminta membuat lamaran baru. Hari kedua aku
bekerja, kabar baik menghampiriku. Pulang ke rumah kuceritakan semua kepada
mamak. Kuceritakan pula bahwa aku direkomendasikan untuk bekerja bulan depan di
rumah sakit Sarinah tempat dokter Ronald bekerja. Besok aku harus tes tertulis
dan wawancara untuk pekerjaan tersebut.
Sekarang
aku sudah hampir tiga tahun bekerja di rumah sakit besar. Tak kusangka hari ini
berpapasan dengan Pak Ronald yang masih mengejar-ngejar dokter spesialis di
rumah sakit kami.
“Hebatnya,
dek, kau.” Pak Ronald terlihat menatapku yang mengenakan seragam rumah sakit.
“Ah,
tak nya hebat, Bang. Aku beruntung saja,” ujarku. kutarik napas lega kini.
Kesabaran dan kegigihanku berbuah manis. Tak lama pun aku akan menikah dengan
seorang kepala perawat di rumah sakit ini pula. Rejeki tak kemana. Aku bangga
jadi anak mamak yang cuma tamat SD.
Tidak ada komentar