Sekolah Cinta Literasi Sastra

 

Bambang Kariyawan Ys

Dunia pendidikan saat ini dipenuhi target dan capaian yang penuh dengan angka-angka. Ukuran keberhasilan cenderung pada hitungan matematis. Beragam kompetisi ilmiah dan sains sepertinya telah menjadi keberhasilan suatu pembinaan sekolah. Gilar gemilar ketika seorang siswa berhasil memperoleh medali dalam olimpiade sains. Lain halnya bila siswa memperoleh keberhasilan sebagai juara menulis cerpen atau puisi. Dianggap biasa tanpa seremoni sambutan dan pengalungan bunga yang biasa dilakukan di bandara saat penjemputan.Telah banyak label sekolah dengan julukan hebat olimpiade, kuat olah raga, mantap berseni dan julukan lainnya.

Tidak bermaksud latah menambah label baru bagi sekolah, namun kali ini kita akan mencoba menggagas sebuah istilah dengan label Sekolah Cinta Literasi Sastra. Istilah tersebut sebagai bentuk kecil solusi bangsa atas perilaku masyarakat yang semakin “garang” dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Dalam sebuah kajian melalui sastra dapat menjadi obat bagi luka-luka bangsa yang disebabkan kasarnya perilaku masyarakat kini dalam menyikapi suatu perbedaan. Secara sederhana literasi diartikan kemampuan membaca dan menulis serta melek huruf. Bagaimana dengan literasi sastra? Secara sederhana pula literasi sastra diartikan sebagai kemampuan membaca dan menulis sebuah karya sastra dengan beragam genre di dalamnya (puisi, cerpen, novel, esai, drama dan lain-lain).

Tidak bisa dipungkiri bila minat dan pengetahuan literasi kesastraan bagi negara yang maju menjadi standar penilaian kecerdasan seorang pemimpin. Untuk itu kewajiban membaca sastra bagi negara-negara maju seperti Jepang, Tiongkok, Amerika, Rusia sangat ditekankan. Bagaimana dengan negeri ini? Kondisi menjadikan peran sastra itu masih jauh dari panggang, mengingat minat baca sastra Indonesia jika dihitung paling tidak cuma tujuh persen. Data tersebut memberikan gambaran tentang lemahnya kemampuan literasi bangsa Indonesia. Data tersebut merupakan tantangan bagi sekelompok kecil yang sangat mencintai buku dan literasi untuk mengubahnya dengan melakukan tindakan-tindakan nyata di lapangan.

Mengingat peran sentral sastra tersebut maka program yang dapat dilakukan di sekolah yang ingin melabelkan dirinya sebagai sekolah cinta literasi sastra perlu dilakukan melalui pendekatan proses belajar di dalam kelas dan di luar kelas.

Di dalam kelas melalui pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, seorang guru harus mengubah paradigma pembelajaran untuk tidak terlalu kaku pada target kurikulum. Belenggu target harus difelksibelkan dengan memberi porsi yang tepat untuk kegiatan bersastra pada peserta didik. Membaca karya sastra standar terus sedikit “dipaksakan” agar membekas dan membenam dalam pikiran siswa.  Pembelajaran sastra yang dilaksanakan di sekolah secara tidak langsung bisa menumbuhkan budaya literasi pada peserta didik. Kebiasaan membaca dan menulis bisa tanamkan sejak dini. Pengajar bisa memotivasi peserta didik untuk terus membaca melalui pemilihan bacaan sastra yang tentunya menarik dan mengandung nilai-nilai kehidupan. Selain pemilihan bacaan sastra yang menarik, seorang pengajar juga dituntut untuk kreatif dalam setiap pelaksanaan pembelajaran sastra di sekolah.

Di luar kelas kegiatan aura dan nuansa sastra perlu dicirikan sebagai perwujudan niat menyimbolkan diri sebagai sekolah cinta literasi sastra. Kegiatan yang dapat dilakukan melalui kegiatan tersendiri dan terpusat di perpustakaan sebagai sentral kegiatan yang dapat mewadahi beragam literasi sastra. Keberadaan perpustakaan sekolah memiliki peran strategis untuk memoles dan menggairahkan sekolah cinta literasi sastra. Tidak bisa dipungkuri keberadaan perpustakaan sekolah untuk era serba digital saat ini serta minat baca siswa yang rendah menyebabkan keberadaannya seperti hanya pelengkap yang dipaksakan. Sepi pengunjung, buku tak terawat, kalaupun berada di perpustakaan bukan untuk membaca, namun hanya sekedar berbincang menghabiskan waktu istirahat. Sudah saatnya peran perpustakaan dihidupkan kembali dengan memberi sentuhan-sentuhan aktivitas sastra. Kegiatan berupa pameran karya sastra terbaru, bedah karya sastra, lomba penulisan sastra, mengundang sastrawan tempatan untuk diskusi sastra, serta kegiatan-kegiatan kreatif lain yang tumbuh idenya dari warga sekolah.

Agenda menerbitkan buku sastra berupa kumpulan karya warga sekolah perlu menjadi agenda tahunan untuk menguatkan identitas sekolah cinta literasi sastra. Proses ini dapat dilakukan dengan menyeleksi tugas-tugas sastra dari dalam kelas bahasa Indonesia untuk diterbitkan. Melalui penerbitan buku sastra ini banyak energi dan semangat yang dapat mencitrakan geliat kesastraan di sekolah tersebut.

Pihak sekolah secara khusus harus menganggarkan dana untuk pembelian buku karya sastra per semester. Buku yang dibeli agar tidak menumpuk di perpustakaan dan harapannya dibaca siswa sebaiknya siswa diberi angket tentang pembelian buku sastra apa saja yang terbaru harus disediakan. Perlu mengkondisikan terwujudnya “role model” bagi guru-guru untuk mau dan kreatif mencintai sastra untuk memunculkan aura kesastraan di sekolah. Mengingat perilaku imitasi terhadap orang-orang sekitar sangat berpengaruh dalam pembentukan suatu karakter dan pembiasaan positif sehari-hari. Setidaknya ketika guru mencintai sastra maka generasi pencinta sastra pun akan hadir dimana dan kapan saja yang akan mengantar bangsa ini mengobati luka-luka bangsanya melalui sastra.

Tidak ada komentar