Ini bukan bencana alam.
Ini pembantaian diam-diam,
dibayar dengan pohon-pohon yang tumbang
oleh penguasa yang membuka pintu
bagi para penghisap haus tanah.
Di pesisir barat Sumatera
enam ratus lebih nyawa diseret arus,
ratusan hilang tak ditemukan
dan penguasa kompak mengelak
Seakan hujan yang bersalah,
bukan atas izin-izin yang diteken
dengan tinta yang lebih kental dari
lumpur.
Aku muak.
Karena mereka yang memerintahkan hutan
dirampas
kini berdiri di depan kilatan kamera
dengan wajah tanpa malu,
seolah mereka bukan biang
kuburan basah ini.
Mereka datang bergerombol
Di hadapan puing
berakting dgn tubuh bersih, baju safari
wangi,
dan sepatu mengkilap terkena lumpur yang
menelan tubuh rakyat
menabur bantuan atas nama pribadi dan
kroni
berpidato tentang empati
untuk menutup bau busuk dari tangan
mereka sendiri.
Aku geram.
hutan ditebang, rakyat dipendam,
dan yang hidup hanya rakus yang duduk di
kursi empuk.
Hukum tak bergerak
bisu seperti batang mati
yang sudah mereka jual di meja-meja
gelap
berbulan-bulan sebelum banjir datang.
Bencana ini bukan takdir.
Ini kejahatan yang disahkan,
yang diberkati oleh tanda tangan,
yang diawasi anjing penjaga komandan.
Dan yang paling menakutkan
setelah air surut,
setelah mayat dikubur,
setelah duka dibiarkan membusuk
mereka akan kembali ke meja yang sama,
membuka peta,
menunjuk hutan yang tersisa,
dan berbisik tenang
“Mana lagi yang bisa kita keruk?”
Itulah saat aku sadar:
yang lebih tinggi dari banjir
adalah kerakusan;
yang lebih ganas dari arus
adalah kelicikan;
dan yang lebih mematikan dari bencana
adalah penguasa dan penjahat yang
berkelindan.


Tidak ada komentar