Surat dari Bapak: Cerpen Nayla Qanita Ghassani

 


Microsoft AI Creator

Hidupku tak pernah sepi dari teka-teki. Lima tahun sejak kepergian ayah, keluargaku menjalani hari-hari dalam keheningan yang aneh. Ibu sering terlihat gelisah, dan aku selalu merasa ada yang tak terucapkan. Namun, aku memilih untuk tidak banyak bertanya. Hingga pagi itu, sebuah surat mengubah segalanya.

“Iya, Bu, sebentar,” sahutku saat mendengar ketukan di pintu kamar. Kubuka pintu, dan ibu berdiri di sana dengan wajah yang sedikit gugup. “Itu, di meja ada kertas buat kamu katanya,” ucapnya sambil melirik ke arah dapur.

Aku mengambil kertas yang dimaksud dan melihat namaku tertulis di amplop itu. “Kertas apa ini, Bu?” tanyaku. Ibu hanya menyuruhku membuka saja. Tangan gemetar, aku membuka surat itu.

Isi surat membuatku membeku. Nama ayahku tercetak jelas di sana sebagai pengirim. Namun, bagaimana mungkin? Ayah sudah meninggal lima tahun lalu. Ibu yang melihatku terdiam langsung merebut surat itu dan membacanya. Wajahnya berubah pucat. Tanpa sepatah kata, ibu membuang surat itu ke tempat sampah dapur.

“Orang iseng, Dina. Tidak mungkin bapakmu mengirim surat. Sudah, lupakan saja,” katanya berusaha menenangkanku. Tapi aku merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Aku kembali ke kamar dan menelepon Fira, sepupu sekaligus sahabatku. Dalam kebingungan, aku menceritakan semuanya. Tak lama, Fira datang ke rumah dan langsung ke kamarku.

“Kamu yakin itu dari bapakmu?” tanyanya memastikan. “Iyalah, Fir. Aku tidak mungkin salah,” jawabku.

Fira mengusulkan untuk memeriksa surat itu lagi. Namun, saat kami mencarinya di tempat sampah dapur, surat itu sudah tidak ada. “Mungkin ibu kamu sengaja menyimpannya, Din. Kayaknya ibu kamu tahu sesuatu,” ucap Fira dengan nada ragu.

Tiba-tiba ibu muncul di dapur, membuat kami berdua tersentak. “Kenapa, Din? Eh, ada Fira. Lagi ngobrol apa ini?” tanyanya curiga. Dengan cepat, aku beralasan bahwa Fira hanya bercerita soal teman-temannya. Ibu tampak tak terlalu peduli, lalu berkata, “Ibu mau pergi nanti. Jangan macam-macam di rumah ya.”

Setelah ibu pergi, Fira mengajakku mengikuti ibu secara diam-diam. Dengan motor miliknya, kami membuntuti ibu yang melintasi jalan-jalan kecil hingga tiba di sebuah gubuk tua di tengah hutan. Dari balik semak-semak, kami melihat ibu berbicara dengan seorang pria tua yang tampak menyeramkan. Ibu menyerahkan sesuatu padanya—sepertinya surat tadi pagi.

“Jangan sampai dia mendekati keluargaku lagi,” kata ibu dengan nada tegas sebelum pergi meninggalkan gubuk itu. Anehnya, pria tua itu menoleh ke arah kami dan menggeleng pelan, seolah memberi peringatan.

Fira memutuskan bahwa kami harus menemui pria itu untuk mendapatkan jawaban. Setelah ibu pergi, kami memberanikan diri mengetuk pintu gubuk. Pria tua itu membuka pintu sebelum kami sempat mengetuk. Ia mempersilakan kami masuk tanpa berkata apa-apa.

“Ini surat dari bapakmu, Dina. Tapi jangan pernah pergi ke alamat ini,” ucapnya sambil menyerahkan surat itu. Setelah itu, ia tak mau menjelaskan lebih jauh.

Meski begitu, aku dan Fira tetap memutuskan untuk mendatangi alamat yang tertera di surat. Dengan penuh keberanian, kami pergi pagi-pagi sebelum ibu bangun. Rumah di alamat itu tampak biasa saja, namun pintunya tidak terkunci.

Saat masuk, kami menemukan sebuah pintu menuju ruang bawah tanah. Namun tiba-tiba, seseorang mendorongku hingga aku terjatuh dan pingsan.

Ketika aku sadar, Fira duduk di depanku sambil tersenyum sinis. “Akhirnya kamu sadar juga. Polos banget sih,” katanya sambil mengejek. Aku terkejut saat menyadari bahwa semua ini adalah rencananya.

“Kenapa kamu lakukan ini, Fir?” tanyaku dengan suara bergetar.

“Karena kamu selalu mengambil apa yang seharusnya jadi milikku! Perhatian keluarga, teman-teman, semuanya! Aku sudah cukup sabar,” ucapnya sambil menarik rambutku.

Sebelum aku bisa membalas, suara tembakan terdengar. Fira terjatuh, dan aku melihat ibuku berdiri di sana dengan pistol di tangannya. “Sudah ibu duga dari awal,” ucapnya sambil memelukku.

Ayah Fira yang datang bersama ibu membantunya mengurus Fira yang kini tak berdaya. Mereka menjelaskan bahwa pria tua di gubuk itu adalah seseorang yang pernah membantu keluargaku menghadapi masalah besar di masa lalu.

Saat semuanya tampak selesai, ponselku berdering. Suara dari seberang membuatku merinding. “Alamatnya salah, Nak,” kata suara serak yang sangat kukenal. Itu suara ayah.

Hari itu, aku menyadari bahwa hidupku tak akan pernah lepas dari rahasia dan bayang-bayang masa lalu. Meskipun semua tampak tenang untuk saat ini, aku tahu bahwa surat itu hanyalah permulaan dari teka-teki besar yang belum terpecahkan. Namun, setidaknya aku tahu bahwa aku tidak sendiri menghadapi semua ini. Ibu, meski sering kusalahpahami, selalu ada untuk melindungiku. Dan sekarang, aku harus bersiap menghadapi apa pun yang akan datang.

 

Tidak ada komentar