Menafsir Peristiwa Interaksi Simbolik pada Benda dan Momen dalam “Senja yang Marun”: Catatan Bambang Kariyawan Ys.

 


Menulis Bukan Bakat

“Senja yang Marun” menjadi penanda bahwa menulis prosa (dan yang lainnya) bukanlah karena bakat. Menulis adalah keterampilan yang bisa dipelajari. Menjadi atau tidaknya salah satu kuncinya karena ketekunan. Penulis kumpulan cerpen ini telah membuktikannya. Serangkaian panjang belajar, belajar, dan belajar melalui pembinaan dalam Duta Cerpen FLP Wilayah Riau, Rio Rozalmi telah memberikan persembahan terbaik dalam perkembangan dunia literasi di Bumi Bertuah ini.

13 cerpen dalam buku ini dapat dikelompokkan dalam 4 tema besar. Tema tradisi dalam cerpen “Nur Wajilah Merintih”, “Batobo”, “Malewakan Gala”. Tema pendidikan dalam cerpen “Tujuh Puluh Tujuh”, “Senja yang Marun”, “Koran Bekas”. Tema sosial dalam cerpen “Gulungan Uang”, “Diam Tapi Bersama”, dan “Pindah Rumah”. Tema lingkungan dalam cerpen “Orang-Orang yang Kebanjiran”, “Jembatan”, “PETI”.

Interaksi Simbolik

Salah satu teori dalam ilmu Sosiologi yang sering digunakan untuk menganalisis karya sastra adalah teori interaksi simbolik. Teori ini adalah perspektif sosiologis yang menekankan pentingnya simbol dan makna dalam interaksi sosial manusia. Teori ini berfokus pada bagaimana individu menciptakan dan menginterpretasikan simbol-simbol ini, dan bagaimana simbol-simbol ini kemudian memengaruhi pemikiran, perasaan, dan perilaku mereka.

Teori interaksi simbolik sangat relevan dalam menganalisis karya sastra karena sastra sering kali menggambarkan interaksi antar tokoh, pembentukan makna, dan konstruksi realitas sosial.

Analisis Makna Simbolik

Dalam sastra, objek sering kali memiliki makna simbolik yang lebih dalam dari sekadar fungsi praktisnya. Contohnya, sebuah jam tangan usang dapat melambangkan waktu yang hilang, kenangan, atau bahkan kematian. Interaksi simbolik membantu kita memahami bagaimana tokoh dalam cerita menafsirkan dan memberikan makna pada objek-objek ini. Bila kita membaca buku puisi “Kepadamu Kami Bicara” karya penyair Iyut Fitra, maka simbol-simbol benda keseharian seperti sapu lidi seolah bersuara sebagai objek cerita.

Dalam “Senja yang Marun” objek benda berupa pohon karet dalam “Sri Memilih”, menunjukkan simbol ujian kesulitan hidup dengan meroketnya harga karet dan berpengaruh pada roda ekonomi keluarga Sri. Benda air (banjir) dalam “Orang-Orang yang Kebanjiran” menjadi simbol penguat bahwa manusia akan selalu saling menyalahkan kala banjir tiba. Apalagi uang dalam “Gulungan Kertas” ibarat simbol yang tak habis untuk selalu dijadikan persoalan sekaligus penyelesaian dalam hidup. Demikian pula simbol-simbol lain berupa “jembatan” dalam cerpen “Jembatan” menjadi media simbol mempertentangkan sekaligus penyelesaian persoalan.

Warna sering digunakan untuk menyampaikan emosi atau gagasan tertentu. Merah bisa melambangkan cinta, gairah, atau kemarahan, sementara biru bisa melambangkan kesedihan, ketenangan, atau kebijaksanaan. Interaksi tokoh dengan warna atau deskripsi warna dalam narasi dapat memberikan wawasan tentang keadaan emosional mereka atau tema yang lebih besar dari cerita.

Dalam “Senja yang Marun” terdapat dua warna yang dapat divisualkan. Senja bisa berwarna jingga, identik dengan refleksi dan ketenangan. Senja memberikan kesempatan untuk merenung, mengevaluasi kehidupan, dan merenungkan pilihan-pilihan yang telah dibuat. Kata "maroon" berasal dari bahasa Prancis yang berarti "chectnut". Warna ini sering dipakai untuk menggambarkan hal intens nan penuh gairah. Warna merah marun sering digunakan dalam desain yang lebih formal. Warna ini juga dipercaya mampu mempengaruhi kepribadian. Dalam cerpen-cerpen ini sepertinya bermuara pada akhir yang sunyi sekaligus bergairah memberikan tanda tanya.

Nama tokoh tidak hanya berfungsi sebagai identitas, tetapi juga dapat membawa makna simbolik. Nama yang dipilih pengarang dapat memberikan petunjuk tentang karakter, peran, atau takdir tokoh tersebut. Analisis interaksi simbolik dapat mengungkap mengapa pengarang memilih nama tertentu dan bagaimana nama itu memengaruhi persepsi kita tentang tokoh tersebut.

Dalam “Senja yang Marun” nama tokoh yang dipilih tentunya ada makna simbol di dalamnya. Nama Sri dalam cerpen “Sri Memilih” bermakna simbol bijak memilih Mas Niko yang duda atau tauke yang kaya dalam menyelesaikan masalah keuangannya. Tokoh Bujang dalam “Orang-Orang yang Kebanjiran” menyimbolkan nama dengan identitas khas latar setting cerita yakni Pekanbaru. Tokoh Pak Marjo dalam cerpen “Gulungan Kertas” memperkuat identitas karakter orang Jawa sebagai orang yang nrimo. Sapaan Uda dalam “Nur Jawilah Merintih” penanda bahwa cerita pendek berasal dari tanah Minang. Demikian pula sebutan “omak”, “haji”, “hajjah”, “datuak”, “uni”, “malin”, “sutan”, “ujang” dan lain-lain.

Sosiologi Sastra

Dalam kajian sosiologi sastra, lingkungan sekitar penulis akibat proses interaksi sosialnya berpengaruh pada muatan ceritanya. Sepertinya penulis banyak memberi ruang nama-nama dalam tokoh cerita akibat proses interaksi kesehariannya. Latar penulis sangat berpengaruh pada cerpen-cerpennya. Dalam kajian sosiologi sastra hal-hal yang dibawa dan melatar belakangi penulis akan terlihat sadar atau tidak sadar pada karya yang dihasilkannya.

Catatan

Penulis memiliki kekuatan menjaga cerita hingga ending. Sehingga seluruh cerpennya selalu menyentak pada endingnya. Selalu memunculkan pilihan untuk kita berfikir, pada cerpen “Jembatan” contohnya.

Kegembiraan warga itu kini bercampur kebingungan. Hampir di setiap sudut desa ada foto Haji Rojali.

Meski pada beberapa bagian cerpen masih ada celah longgar dalam hal logika kausalitas antar peristiwa. Proses belajar, belajar, dan belajar maka segala ruang kosong dari kepadatan cerpen akan teratasi. “Senja yang Marun” buku pertama penulis, hendaknya bukan menjadi buku terakhir, namun akan lahir kembali buku yang terus menyentak blantika literasi di negeri ini.

Tidak ada komentar