Gift of Hate: Cerpen Khaila Trisya Aidi

 


Microsoft AI Creator

P

 agi itu, Phum meminta pinjaman pena dariku, tapi aku menolak karena hanya membawa satu. Phum tersenyum canggung, lalu seorang teman kami, Meen, menawarkan penanya. Phum dengan antusias menerima dan mulai mengerjakan tugas.

Saat Phum menunjukkan pena itu padaku, aku memperhatikan sebuah tanda aneh bertuliskan 'I'. Namun, aku mengabaikannya dan kembali fokus pada tugas. Tidak lama kemudian, aku mulai mendengar rintihan dari arah Phum. Awalnya, aku tidak peduli, tapi suara itu semakin mengganggu.

Aku menoleh dan mendapati tangannya bengkak dan memerah. Phum mengeluh bahwa tangannya terasa panas dan menyakitkan. Panik, aku memanggil guru yang segera memintaku membawanya ke UKS.

Di UKS, dokter langsung memberikan pertolongan pertama dan menyimpulkan bahwa Phum kemungkinan alergi terhadap tinta pena tersebut. Setelah itu, Phum diminta beristirahat, sementara aku duduk di sampingnya, merenungkan kejadian aneh itu.

Setelah menemani Phum hingga dijemput kakaknya, aku pergi ke kantin. Saat bel istirahat berbunyi, untungnya aku sudah memesan makanan lebih awal. Seusai makan, aku kembali ke kelas.

Di kelas, Sun tiba-tiba meminta tisu kepada Day. Beberapa saat setelah menggunakannya, wajah Sun memerah dan muncul bintik-bintik. Panik, teman-teman memanggil dokter. Aku mulai curiga dan meminta tisu Day. Awalnya Day ragu memberikannya, tapi akhirnya menyerahkan satu lembar. Di bungkus tisu itu, aku melihat simbol ‘II’, berbeda dengan pena Phum yang bertuliskan ‘I’.

Aku mencuci tanganku setelah memegang tisu itu karena tanganku terasa sedikit gatal. Dua kejadian aneh di hari yang sama membuatku gelisah. Namun, aku menyingkirkan pikiran itu dan bersiap pulang sendiri karena Phum sudah pulang lebih awal.

Malam itu, aku berjalan sendirian sambil mendengarkan musik hingga tiba di rumah. Begitu masuk, aku mendengar Lune, adikku, berteriak. Bergegas, aku menemukannya sedang ditarik oleh seorang pria tua.

“Lepaskan adikku!” teriakku marah. Pria itu menatapku kesal.
“Aku ini ayahmu!” balasnya keras.

“Ayah? Aku tidak peduli! Pergi dari sini dan jangan pernah kembali!” sahutku sambil memeluk Lune yang menangis ketakutan.

Pria itu akhirnya pergi, meninggalkan kami dengan perasaan campur aduk. Aku melihat lengan Lune yang memerah karena cengkeraman pria itu, memeluknya lebih erat, dan bersumpah untuk selalu melindunginya.

Setelah memastikan Lune aman, aku membawanya ke kamar untuk tidur. Ia menceritakan bahwa pria tua itu mengaku sebagai kurir untuk bisa masuk ke rumah. "Dia bilang ingin membawaku jalan-jalan dan berbelanja, lalu menyuruhku berdandan cantik untuk bertemu seseorang," ucap Lune dengan mata berkaca-kaca.

Aku berusaha menenangkannya, meyakinkan bahwa aku akan melindunginya. Setelah ia tertidur, aku kembali ke kamarku. Namun, pikiranku tak bisa tenang. Kenangan tentang pria tua itu kembali menghantuiku. Dia pernah dipenjara karena mencoba menjual Lune tiga tahun lalu, tapi hukuman singkatnya terasa tak adil. Apa dia kembali dengan niat yang sama?

Aku mencoba mengabaikan pikiran itu dan memejamkan mata.

Keesokan paginya, aku bangun dengan tubuh terasa berat. Untungnya ini akhir pekan, jadi aku punya waktu untuk bersih-bersih rumah. Saat selesai, aku duduk di samping Lune di ruang TV.

"Kakak bau! Mandi sana!" serunya, membuatku menggerutu. "Sebentar lagi aku mau mandi. Aku juga harus pergi," jawabku.

"Mau ke mana?" tanyanya penasaran.

"Kerja kelompok di rumah temanku," sahutku singkat.

"Siapa? Kak Phum?" godanya.

"Bukan, aku mau ke rumah August."

"August? Atlet badminton itu? Wah, aku mau ikut!" serunya penuh semangat.

"Tidak. Tinggal di rumah saja. Aku akan meminta ibunya Phum menemanimu," jawabku tegas.

Meski terlihat enggan, akhirnya Lune mengangguk setuju. Aku merasa lega karena tahu ia akan aman di rumah. Namun, di sudut pikiranku, aku tetap tak tenang, merasa harus lebih waspada terhadap ancaman pria itu.

Sebelum aku pergi, Lune aku titipkan di rumah Bibi bersama Phum. Setelah melihat kepergian Lune, aku mengambil tasku lalu mengunci pintu rumah. Aku berjalan perlahan ke halte menunggu bus. Aku manaiki bus lalu duduk dibagian belakang. Tak berselang lama, aku turun dari bus dan berjalan menuju rumah August.

Aku tiba di rumah August dan langsung disambut olehnya. Kami mengerjakan tugas bersama hingga hari mulai gelap. "Akhirnya selesai juga," ucapku sambil meregangkan tubuh.

"Dao, apakah Phum baik-baik saja?" tanya August tiba-tiba. Aku mengangguk, bingung dengan pertanyaannya. "Kenapa?"

August bercerita tentang Day, mantan partner badmintonnya yang mulai menjauh setelah posisinya digantikan Sun akibat cedera. "Aku heran saat Day menawarkan tisu pada Sun. Awalnya kupikir dia sudah menerima keadaan, tapi setelah insiden itu, aku jadi curiga," jelasnya.

Aku terdiam, mencoba memahami maksudnya. "Jadi kau pikir Day ada hubungannya dengan apa yang terjadi pada Sun?"

"Mungkin saja," jawab August. Dia lalu menyebutkan sesuatu yang membuatku semakin bingung: toko kebencian.

"Itu toko yang menjual barang untuk mencelakai orang," katanya serius. "Jangan pernah terlibat dengan toko itu atau pemiliknya."

Aku hanya mengangguk, merasa perlu segera pulang untuk memastikan Lune baik-baik saja. Setelah diantar keluar oleh August, pikiranku dipenuhi rasa penasaran dan kegelisahan tentang cerita yang baru saja kudengar.

August mengantarku keluar rumahnya. Aku melangkah pergi meninggalkan rumah August. Berjalan perlahan menuju halte bus menunggu bus datang. Menaiki bus dan duduk di bangku belakang seperti biasa. Bus berhenti dan aku turun, aku berjalan menuju mini market di dekat rumahku.

Namun, sebelum sampai di mini market, aku melihat sebuah toko yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Karena rasa penasaran, aku perlahan berjalan memasuki toko itu.

“Selamat datang di toko kami.” Aku mengarahkan pandanganku pada sumber suara. Terlihat seseorang menggunakan kostum berdiri dibalik meja kasir.

“Aku belum pernah melihat toko ini sebelum nya, toko apa ini?” Tanyaku heran.

“Kau baru pertama kali ya datang ke sini? Baiklah, aku akan mengenalkan tokoku. Sebelum itu perkenalkan namaku Off, biasanya para pelanggan memanggilku Mr. Off. Selamat datang di tokoku, di sini aku menjual banyak barang untuk berikan atau dihadiahkan kepada orang yang kau benci. Toko ini cuma ada saat kau membenci seseorang loh. Karena kau sudah melihat dan masuk ke tokoku…, itu tandanya kau memiliki seseorang yang dibencikan? Ayo bilang saja padaku.” Jelas pemilik toko.

Setelah mendengarkan penjelasan dari Mr. Off, aku berkeliling dan melihat-lihat barang-barang yang dijual di toko ini. Sungguh aneh, barang-barang yang dijual di sini memiliki simbol yang sama dengan pena milik Meen dan tisu milik Day.

“Apa maksud dari simbol ini?” tanyaku heran.

“Pertanyaan yang bagus! Simbol tengkorak menandakan kematian, dan garis di sebelahnya merupakan angka romawi. Semakin tinggi angkanya berarti semakin berbahaya produknya.” jawab sang pemilik toko dengan senyuman kecil.

“Kenapa? Kau sudah pernah melihatnya? Wajar saja pernah, teman-temanmu banyak yang membeli barang ditempatku. Mereka rela menghabiskan sisa umurnya untuk membeli barang di tokoku.” tambah Mr. Off.

Keningku mengernyit, karena aku masih tidak mengerti. “Apa maksudmu merelakan sisa umurnya?” Tanyaku lagi.

“Di dunia ini tidak ada yang gratis, di tokoku membeli barang tidak menggunakan uang, melainkan menggunakan sisa umur. Sama seperti di toko lainnya, setiap level memiliki harga yang berbeda. Namun, untuk kualitas jangan dipertanyakan, tentu sangat bagus.”

Mataku membulat sempurna, aku benar-benar kagum mendengar penjelasan Mr. Off. “Gila... ini terlalu gila!” Aku tak habis pikir atas apa yang aku dengar. Sekarang aku mengerti apa yang dimaksud oleh August

“Tenang nak, ini memang terdengar gila, tapi inilah kehidupan yang sebenarnya.” Mr. Off menepuk bahuku.

Aku terdiam sejenak sebelum akhirnya berlari ke luar dari toko aneh itu. Aku berlari menuju ke rumah, aku tak peduli apa yang akan terjadi selanjutnya, yang aku pikirkan hanyalah aku harus kembali ke rumah secepat mungkin.

Sesampainya di rumah aku melihat adikku bersama kakaknya Phum.

“Lune… Kak Fai... maaf ya aku agak sedikit telat, tadi aku menunggu bus agak sedikit lama,” ujarku yang tentunya berbohong.

Fai tersenyum kecil. “Tak apa, karena kau sekarang sudah datang, aku pergi dulu ya, aku masih harus mengerjakan hal lain!”

“Baik Kak, makasih sudah mengantar Lune pulang dengan selamat” Balasku.

Bye Kak Fai, hati-hati di jalan ya!” Lune melambaikan tangan pada kak Fai.

Aku mengajak Lune masuk ke rumah, dan sesampainya di dalam. Aku segera membuka ponsel dan memberitahu August bahwa aku bertemu dengan Mr. Off. August tentu bertanya, tentang siapa orang yang aku benci, tapi aku tidak mau memberitahu. August hanya memperingatiku, jika aku tidak boleh melakukan hal yang aneh-aneh dan nantinya merugikan diriku.

Aku menutup ponsel, lelah memikirkan kejadian aneh akhir-akhir ini. Tak butuh waktu lama hingga aku tertidur.

Pagi harinya, suara gedoran pintu membangunkanku. Saat kubuka, pria tua sialan itu muncul lagi.

“Ada mafia yang tertarik pada adikmu, mereka menawar dengan harga tinggi. Berikan dia padaku,” katanya.

Aku geram. “Adikku bukan barang! Pergi sebelum aku panggil polisi!” bentakku. Pria itu mendengus lalu pergi.

Setelah menutup pintu, aku duduk di sofa, mencoba mencerna kejadian barusan. Tak lama, Lune mendekat.

“Kak Dao, kapan belikan aku cemilan?” rengeknya.

“Agak sore ya, sekarang kakak mau istirahat,” jawabku. Meski kesal, Lune akhirnya setuju setelah kubujuk dengan pasta.

Usai membuat pasta untuknya, aku kembali ke kamar untuk beristirahat. Saat terbangun, jam menunjukkan pukul 5 sore. Aku bersiap dan berpamitan pada Lune untuk membeli cemilan. Namun, di tengah jalan, aku bertemu lagi dengan pria pemilik toko itu.

“Hey nak! Kenapa kau kemarin lari begitu saja? Apa tokoku tak menarik untukmu? Tapi melihat apa yang telah dilakukan ayahmu padamu dan adikmu seharusnya itu sudah cukup untuk membuatmu membeli banyak barang di tokoku,” ucap pemilik toko, dengan ekspresi yang terlihat meledekku.

Aku memandang pria di depanku dengan penuh tanda tanya. “Apa maksudmu? Kenapa kau tahu tentang ayahku?” tanyaku, berusaha menahan rasa heran yang bercampur amarah.

Pria itu, yang memperkenalkan dirinya sebagai Mr. Off, hanya tersenyum dingin. “Apa yang tidak aku tahu? Aku tahu tentang kebencian semua orang, terutama kau, Dao.”

Jantungku berdegup kencang. “Apa maumu? Dan kenapa kau tahu namaku? Siapa kau sebenarnya?” suaraku meninggi, rasa kesal mulai menguasai.

“Aku tahu karena ada yang membencimu,” jawabnya santai. “Tentu saja, salah satunya adalah temanmu, Phum.”

Ucapan itu bagai petir menyambar. “Tidak mungkin,” gumamku, amarahku memuncak. Aku melangkah maju, mengepalkan tangan. “Kalau kau berbohong, jangan salahkan aku kalau kau terluka.”

Pria itu tertawa kecil, tenang seperti tak peduli. “Aku hanya menyampaikan kebenaran, Dao. Aku tak pernah berbohong pada pelangganku.”

Tanpa bisa menahan diri lagi, aku menghampirinya dan melayangkan pukulan. Tanganku terus bergerak, terpicu oleh emosi yang tak bisa kubendung. Di tengah kepanikan itu, aku menarik topeng yang menutupi wajahnya.

Saat itu dunia terasa berhenti. Wajah di balik topeng itu... adalah wajahku sendiri.

“Hahaha, kaget?” Suaranya bergema seperti ejekan yang menohok.

Aku mundur, terhuyung, lalu berbalik dan berlari sekuat tenaga. Napasku tersengal, rasa takut dan bingung bercampur menjadi satu. Sesampainya di toko, aku memaksa diriku tetap membeli cemilan untuk Lune seperti yang sudah kujanjikan.

Saat kembali ke rumah, tanganku gemetar. Aku berusaha tersenyum saat menyerahkan cemilan pada Lune, menyembunyikan kegelisahan yang terus menghantuiku.

Aku terus memikirkan kemungkinan, apakah benar Phum yang merupakan sahabatku dari kecil bisa membenciku, dan aku kembali mengingar apa pernah mendapatkan barang dari Phum. Iya, aku teringat sesuatu, aku mengambil sebuah barang di nakas tempat tidurku dan menemukan sebuah tip-ex pemberian Phum. Setelah aku memperhatikan benda itu cukup lama, aku menemukan sebuah tanda tengkorak.

Aku terduduk lemas, semua perasaan bercampur aduk. Benarkan Phum membenciku? Tapi, mengapa dia membenciku?

Dan juga, jika pria itu bisa memberikanku apa saja, untuk membalas orang yang aku benci. Maka, aku bisa membalas kejahatan pria tua—yang sialnya adalah ayah kandungku. Namun, aku tidak mau melakukannya, karena aku tidak ingin jika hal buruk terjadi nantinya kepada keluargaku, karena sebuah balas dendam.

Setelah pulang sekolah, aku akhirnya mendiskusikan semua yang terjadi kepada August. Dan, akhirnya aku mengetahui sebuah fakta yang mengejutkan dari August. August bilang, Phum ternyata menyukai Meen, tapi Meen menyukaiku.

Phum memberikan tip-ex itu karena dia marah mengetahui jika Meen menyukaiku, dan Meen yang tahu bahwa Phum memberikan tip-ex untuk mengerjaiku, ingin membalas Phum dengan meminjamkan Phum pena yang membuat Phum menjadi alergi tinta pena.

Ini benar-benar mengejutkanku.

Aku mendekati August dengan rasa gelisah. “August, aku butuh bantuanmu. Aku harus mencari tahu lebih banyak tentang Mr. Off.”

August menatapku heran, lalu mengangkat bahu. “Kenapa kau begitu peduli? Lagipula, bagaimana kita bisa melakukannya?”

“Aku hanya merasa ada yang janggal. Kalau dibiarkan, toko itu bisa jadi bahaya. Kita tak tahu apa saja yang sudah dia lakukan,” jawabku tegas.

August mengangguk kecil, tampak mulai tertarik. “Jadi, apa rencanamu?”

Aku menggigit bibir, mencoba memikirkan cara yang tepat. “Aku butuh cara untuk mengungkap siapa dia. Mungkin, kalau lebih banyak orang tahu tentang toko itu, kita bisa mengumpulkan informasi dari cerita mereka.”

August terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. “Aku punya ide. Bagaimana kalau kita menyebarkan cerita tentang toko itu secara diam-diam? Kalau semua orang mulai membicarakannya, kita bisa tahu lebih banyak dari cerita yang beredar.”

Aku mengerutkan kening. “Tapi bukankah itu bisa berbahaya? Bagaimana kalau orang-orang justru memanfaatkan toko itu untuk hal buruk?”

“Tentu saja ada risikonya,” jawab August santai. “Tapi, kita hanya menyebarkan desas-desus. Sisanya biarkan mereka yang berpikir sendiri. Yang penting, kita dapat informasi.”

Meski ragu, aku akhirnya setuju. Setelah diskusi panjang, kami sepakat untuk menyebarkan cerita dengan cara yang halus dan tidak mencolok.

Keesokan harinya, kami mulai melancarkan rencana. Kami menyebar di sekitar sekolah, sengaja memunculkan percakapan tentang toko itu di antara teman-teman kami. Aku menyinggung toko tersebut seolah-olah aku pernah mendengar tentangnya, sementara August pura-pura tidak percaya dan bertanya-tanya lebih jauh, menarik rasa penasaran orang lain.

Lama-kelamaan, cerita itu mulai menyebar. August juga menambahkan elemen dramatis, mengatakan bahwa ada orang yang menggunakan barang dari toko itu untuk membalas dendam atau melukai teman mereka. Murid-murid menjadi semakin penasaran dan mulai membicarakannya di mana-mana.

“Taktik kita berhasil!” seru August suatu sore, ketika mendengar sekelompok murid mendiskusikan toko itu dengan penuh antusias.

Aku mengangguk, meskipun hati kecilku merasa tidak nyaman dengan apa yang kami lakukan. Aku tak ingin toko itu menjadi lebih berbahaya dari yang sudah-sudah.

Hari itu, aku pulang lebih awal, tapi lupa mengambil earphone-ku yang tertinggal di kursi dekat lapangan. Aku kembali ke sekolah, berniat mengambil barangku.

Namun, saat berjalan melewati lorong belakang, aku mendengar suara August. Ia berbicara sendiri dengan nada puas.

“Betapa bodohnya Dao. Dia mau saja ikut rencana ini. Sekarang semuanya percaya pada cerita yang aku buat,” katanya sambil terkekeh.

Aku terdiam di balik dinding, terkejut mendengar ucapannya. Hatiku berdebar. Apa maksudnya?

Ketika August pergi, aku mengikuti dari kejauhan. Alih-alih menuju lapangan untuk latihan, ia masuk ke gang sempit yang jarang dilewati orang. Langit mulai gelap, dan suasana semakin mencekam.

Aku terus mengikutinya dalam diam, hingga akhirnya ia masuk ke sebuah bangunan tua yang tampak tak terawat. Dengan hati-hati, aku mengintip melalui ventilasi di dekat pintu.

Apa yang kulihat membuat darahku berdesir. Di dalam sana, August berdiri di depan cermin, mengenakan kostum yang sangat familiar. Itu kostum Mr. Off.

Dia tertawa kecil sambil berbicara sendiri. “Siapa sangka aku bisa memainkan dua peran sekaligus? Sekarang, aku hanya perlu memastikan semua orang benar-benar percaya.”

Kakiku lemas, rasa dingin menjalar hingga ke tulang. August... dia adalah Mr. Off. Semua rencana ini hanyalah permainan yang dia buat untuk menipu kami semua.

Tidak ada komentar