M |
alam itu, dering suara
telepon yang berasal dari warung telepon umum terasa begitu menggema di telingaku.
Kata-kata mama masih terngiang jelas di kepalaku, membuatku sulit berpikir
jernih.
“Kakak besok Mama jemput, ya? Mama udah daftarin Kakak
ke sekolah yang baru. Mama juga nggak kuat, Kak, kalau setiap bulan harus
pulang pergi seharian. Jadi, Kakak ikut mama sekolah di sini aja, ya sayang?”
Aku masih terdiam
di tempat dudukku, mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari bibir Mama.
Rasanya begitu cepat. Pikiranku berkelana, mencoba mencari pegangan di tengah
badai yang tiba-tiba datang. Aku tahu ini akan terjadi, cepat atau lambat. Namun,
aku tidak pernah menyangka bahwa waktunya akan secepat ini. Aku memandangi
jalanan di luar jendela warung telepon, memperhatikan orang-orang
berlalu-lalang. Hidup mereka sepertinya berjalan seperti biasa, tidak seperti
aku yang kini harus menghadapi keputusan besar.
Saat aku kembali
ke kamar, suasana hening membuat pikiranku semakin kalut. Aku terduduk di
lantai, punggungku bersandar pada kasur. Pandanganku kosong, pikiranku dipenuhi
kenangan-kenangan yang telah terukir di sekolah ini. Aku menarik napas dalam,
mencoba menenangkan diri, lalu mulai membereskan barang-barangku. Setiap benda
yang kusentuh seolah memiliki ceritanya sendiri. Seragam sekolahku yang sudah
sedikit lusuh, buku-buku pelajaran yang penuh coretan, hingga selimut tipis
pemberian nenek yang selalu menemani tidurku.
Aku membungkuk
mengambil kotak kecil yang aku simpan di bawah tempat tidur, lalu mulai
memasukkan barang-barang pribadiku ke dalamnya. Foto bersama teman-temanku saat
acara perpisahan kakak kelas, surat-surat kecil yang kutulis untuk diriku
sendiri, dan beberapa kenang-kenangan dari sahabatku, Nafisa. Tanganku terhenti
saat memegang gelang persahabatan yang pernah Nafisa berikan padaku. Aku
menggenggamnya erat, air mataku mulai menetes deras tanpa bisa kuhentikan.
“Kenapa harus
sekarang?” gumamku lirih.
Aku tahu ini
keputusan yang terbaik, tapi tetap saja rasanya begitu menyakitkan. Suara
langkah kaki dari lorong terdengar samar-samar. Teman sekamarku, Dila, masuk
dengan senyum kecil di wajahnya.
“Nif, kamu udah
mulai packing? Besok pagi aku bantu ya, biar nggak berat sendiri,”
katanya dengan nada tulus.
Aku hanya bisa mengangguk, tidak mampu
berkata-kata. Dila duduk di sebelahku, membantu melipat beberapa pakaian. Meski
suasana di antara kami hening, kehadirannya memberiku sedikit ketenangan.
Esok harinya, bel
berbunyi menandakan waktu istirahat telah habis. Aku dan Nafisa bergegas
mengganti pakaian shalat lengkap dengan sajadah di pundak dan Al-qur'an di
tangan. Aku berusaha mengumpulkan keberanian untuk memberitahunya. Namun,
lidahku terasa kelu. Bagaimana jika dia tidak bisa menghadapi semua ini
tanpaku? Bagaimana jika dia merasa kehilangan di tengah ketatnya peraturan ini?
“Nafisa, aku mau
pulang loh minggu depan. Jangan sedih ya, kan, masih ada empat teman kita yang
lain,” ucapku akhirnya, dengan nada yang sangat hati-hati. Aku menatap bola
matanya yang mulai tampak terkejut.
“Nif, bukannya kamu
akan pulang beberapa bulan lagi? Apa yang membuatmu begitu terburu-buru soal
ini? Kamu akan meninggalkanku secepat ini? Apa kamu yakin?” tanyanya, sambil
memperlambat langkahnya.
“Maafkan aku, Nafisa,
tapi sepertinya aku benar-benar harus pergi. Tidak ada pilihan lain lagi. Aku
yakin kamu pasti bisa melaluinya,” kataku, mencoba meyakinkannya.
Namun, aku tahu
kata-kataku tidak sepenuhnya membuatnya tenang. Bahkan saat kami salat
berjamaah, aku bisa melihat gelagat gelisahnya. Biasanya, kami akan bercanda
setelah salat, tapi kali ini suasana terasa begitu hening. Aku ingin
menghiburnya, tapi aku sendiri sedang berjuang menahan emosi yang berkecamuk di
dalam hati.
Tiga hari sebelum
keberangkatanku, aku dan Nafisa duduk di bawah pohon besar di halaman asrama.
Tempat ini selalu menjadi tempat favorit kami untuk berbicara dari hati ke
hati. Aku mengambil napas panjang sebelum akhirnya mengutarakan perasaanku.
“Nafisa, aku
harus pergi. Aku nggak bisa lagi terus menemanimu di sini, tapi percaya Naf,
kalau aku tidak akan pernah memutuskan tali persahabatan kita!”
Nafisa terdiam.
Matanya yang cokelat tampak kosong, seolah mencoba mencerna kata-kataku.
Setelah beberapa saat, dia tersenyum tipis, tapi aku mengerti dia, dia berusaha
menyembunyikan rasa sedihnya.
“Aku tahu, aku akan merindukanmu, Nif,”
jawabnya dengan suara serak.
Kami berpelukan
begitu erat, mencoba menyalurkan semua perasaan yang tidak bisa diungkapkan
dengan kata-kata. Tawa, canda, air mata, semuanya terasa begitu nyata dipelukan
itu. Rasanya, aku tidak ingin melepaskannya.
Hari
keberangkatanku pun tiba. Aku bangun pagi-pagi, membereskan barang-barang
terakhir yang belum sempat kumasukkan ke dalam koper. Teman-temanku datang satu
per satu ke kamar untuk mengucapkan selamat tinggal. Beberapa di antara mereka
bahkan membawa hadiah kecil sebagai kenang-kenangan. Aku merasa terharu
sekaligus sedih. Aku tahu mereka tulus, tapi perpisahan ini tetap saja terasa
berat.
Aku menunggu di
depan asrama, koper kecilku terletak di sebelah kakiku. Sementara itu,
teman-temanku berkumpul di sekitarku, mencoba mencairkan suasana. Dila
membawakan segelas teh hangat untukku, sementara Nafisa hanya diam di
sampingku, menggenggam tanganku erat. Kami saling bertukar cerita-cerita lucu
untuk terakhir kalinya, mencoba mengalihkan perhatian dari fakta bahwa aku akan
segera pergi.
Saat mobil
jemputan tiba, aku melangkah keluar asrama dengan langkah berat. Nafisa dan
teman-teman lainnya berdiri di depan gerbang, melambaikan tangan sambil
tersenyum. Aku mencoba membalas senyuman mereka, meskipun air mata sudah
membasahi pipiku.
“Terima kasih, semuanya. Aku nggak akan pernah
melupakan kalian,” kataku pelan.
Di perjalanan pulang, aku membuka kotak
pemberian Nafisa. Di dalamnya ada sebuah surat panjang yang berisi ungkapan
hati Nafisa. Kata-katanya begitu menyentuh, membuatku menangis tanpa henti.
Selain surat itu, ada juga beberapa makanan kesukaanku dan gelang persahabatan
yang pernah dia buat untukku. Kalimat di akhir pesan, mampu membuat tangisku
pecah begitu saja.
Terima kasih,
sahabatku. Aku harap kita bisa bertemu lagi nanti. Semoga perjalananmu lancar
dan penuh berkah. Ingat, aku selalu ada di sini, meskipun kita berjauhan.
Aku menutup surat itu perlahan, lalu
menyimpannya di tempat yang aman. Meskipun aku meninggalkan sekolah ini, aku
tahu persahabatan kami akan selalu ada di dalam hati. Perpisahan ini memang
sulit, tapi aku yakin ini bukan akhir dari segalanya. Suatu hari nanti, aku
berharap bisa bertemu Nafisa lagi, dan mengenang semua kenangan indah yang
pernah kami lewati bersama.
Tidak ada komentar