![]() |
Microsoft AI Creator |
K |
ita ini sahabat selamanya,
harus janji!” ucap Kara sambil memakaikanku gelang rajut berwarna merah muda.
Dia juga memiliki gelang yang sama denganku, hanya
saja warna yang kami miliki berbeda. Jika milikku berwarna merah muda, maka
miliknya berwarna biru muda. Dia memberikanku sebuah gelang karena katanya ini
melambangkan persahabatan kami yang abadi. Dia bilang, kami tidak boleh sampai
berpisah walaupun badai besar datang. Begitulah kira-kira kuatnya persahabatan
kami ini. Aku dan Kara memiliki tujuan yang sama. Kami juga ingin bersekolah di
tempat yang sama nantinya. Ya, aku harap akan seperti itu.
“Ingat ya, Lan! Nanti walaupun kita kepisah jauh
banget, kamu nggak boleh lupa sama aku. Kita, kan, sahabat selamanya. Dan satu
lagi yang kamu harus ingat, bebanmu bebanku juga. Kita harus bisa melewati
sekolah menengah ini bersama, ya!”
“Baiklah, Kara. Aku akan menepati janji kita, janji
manis kita,” ucapku dengan senyuman terukir.
Pagi ini sekolah
begitu riuh. Disebabkan oleh kedatangan anak baru yang katanya adalah cucu dari
kepala sekolah kami. Dia pun berjalan begitu angkuh melihat sekelilingnya,
seakan-akan satu sekolah memusat padanya. Bagaimana bisa kami semua tidak
memerhatikannya setelah melihatnya datang ke sekolah dengan sepatu seperti itu?
Aku melihat dia menyapa Kara dan mereka berjalan bersama. Baiklah, Kara memang
hebat sampai bisa menjadi teman anak baru itu di hari pertamanya. Mungkinkah
dia bisa menjadi bagian dari kami? Atau dialah awal mula hancurnya persahabatan
kami? Itulah yang tidak aku perhatikan dan terus membiarkan Kara bersama anak
baru itu.
Bel istirahat
berbunyi. Aku dan Kara biasanya selalu pergi ke kantin bersama-sama. Kelas kami
yang berbeda membuatku harus menunggunya. Entah mengapa hari ini aku tidak
melihatnya keluar. Bola mataku mengarah ke kerumunan yang ada di depan kelas
Kara. Ternyata mereka masih saja melihat anak baru itu, yang ternyata dia
sekelas dengan Kara. Baiklah, sepertinya aku ingin pergi ke sana juga untuk
menjemput Kara.
“Lia, kamu
pindahan dari mana? Kenapa kamu pindah ke sini? Aku ingin mendengar ceritamu,
boleh tidak?” Aku melihat Kara berbicara dengan anak baru bernama Lia itu.
Mereka terlihat begitu akrab.
Mereka berdua terus berjalan lurus ke
depan. Tunggu, mengapa Kara tidak mengajakku? Bahkan dia tidak menyapaku tadi.
Hal itu membuatku tidak tertarik lagi untuk mengikuti mereka. Aku memutuskan
untuk kembali ke kelas dan beristirahat. Mengapa dia pergi begitu saja dan
melupakanku? Ayolah, hanya karena anak baru itu dia sampai tidak mengajakku ke
kantin tadi? Bahkan melirik ke kelasku saja tidak terpikirkan olehnya. Aku
memandangi gelang rajut yang ia berikan tempo hari. Teganya kau, Kara. Itulah
yang terbesit di dalam hatiku saat ini.
Hari demi hari,
waktu demi waktu berlalu. Mereka semakin dekat. Hubunganku dengan Kara semakin
merenggang. Kami tidak pernah pergi ataupun pulang bersama lagi. Bahkan ke
kantin saja dia selalu bersama Lia. Bagaimana denganku? Aku jadi malas dan
memilih untuk tetap di kelas saja ketika istirahat tiba.
Suatu hari, Kara
menghampiriku.
“Lan, kamu
kenapa? Akhir-akhir ini kok jarang bareng aku lagi?” tanyanya dengan nada yang
terdengar canggung.
Aku hanya
tersenyum tipis dan berkata, “Aku sibuk, Kara. Mungkin kamu juga sama.”
Dia menatapku
dengan raut wajah bersalah, tetapi aku tidak memberinya kesempatan untuk
menjawab. Aku langsung berlalu pergi, menyembunyikan rasa kecewa yang masih menumpuk
di hatiku.
Namun, semuanya
memuncak pada hari itu. Lia tiba-tiba menghampiriku saat aku sedang sendiri di
kelas.
“Alana, aku ingin
minta maaf. Aku merasa keberadaanku membuatmu dan Kara menjauh. Aku nggak
bermaksud begitu,” katanya dengan nada tulus. Aku tertegun. Aku tidak menyangka
Lia menyadari hal ini.
“Aku hanya ingin
berteman dengan kalian berdua, tapi sepertinya aku salah langkah. Kara sering
cerita kalau dia sebenarnya kangen sama kamu, tapi dia bingung bagaimana
caranya memperbaiki semuanya,” lanjutnya. Aku terdiam, tidak tahu harus
menjawab apa.
Sore harinya,
Kara tiba-tiba datang ke rumahku. Dia membawa gelang rajut yang dulu pernah
kami buat bersama.
“Lan, aku minta
maaf. Aku terlalu sibuk dengan Lia sampai lupa sama kamu. Aku sadar aku salah.
Kamu mau maafin aku, kan?” tanyanya dengan suara bergetar.
Aku menatapnya
sejenak. Ada rasa sesak yang masih tertinggal, tapi juga ada kehangatan yang
sulit aku tolak.
“Kara…, aku
maafin kamu. Tapi, hubungan kita nggak akan sama seperti dulu lagi. Aku butuh
waktu untuk mempercayai semuanya lagi,” jawabku dengan jujur.
Kara menunduk,
mengangguk kecil sambil menggenggam gelang rajutnya.
Waktu terus
berjalan, dan aku mulai belajar melepaskan. Mungkin tidak semua persahabatan
harus bertahan selamanya, tapi aku bersyukur pernah memiliki kenangan indah
bersama Kara.
Minggu
berikutnya, saat aku duduk sendiri di taman sekolah, aku melihat Kara berjalan
menghampiriku dengan wajah penuh tekad. Kali ini, Lia tidak bersamanya. Aku
mengangkat alisku, sedikit bingung.
“Lan,
aku tahu aku sudah menyakitimu. Aku tahu aku sudah kehilangan banyak waktu yang
seharusnya bisa kita habiskan bersama,” ucapnya pelan, tetapi tegas.
Aku hanya diam,
membiarkan dia melanjutkan.
“Aku ingin kita
memulai dari awal. Nggak apa-apa kalau kamu belum bisa percaya sepenuhnya sama
aku lagi. Aku cuma ingin kamu tahu kalau aku akan berusaha. Aku nggak mau
kehilangan kamu sebagai sahabatku,” lanjutnya. Kata-katanya terdengar tulus,
tetapi aku tahu perasaan kecewa itu masih ada di dalam diriku.
“Aku hargai usaha
kamu, Kara. Aku juga nggak mau kita jadi musuh. Tapi, biarkan semuanya berjalan
perlahan, oke?” jawabku akhirnya. Dia tersenyum kecil, lalu mengangguk.
Kami tidak
langsung kembali seperti dulu. Namun, sedikit demi sedikit, aku mulai merasa
nyaman lagi. Kara mulai melibatkan aku dalam kegiatan-kegiatannya, dan Lia pun
tetap berusaha menjaga jarak agar tidak membuatku merasa tersisih. Pada
akhirnya, aku sadar bahwa memaafkan bukan hanya tentang orang lain, tetapi juga
tentang diriku sendiri.
Persahabatan yang
sejati memang akan diuji, tapi tidak semua ujian bisa dilewati tanpa
meninggalkan bekas. Jika kamu pernah terluka, belajarlah untuk memaafkan—meskipun
itu berarti melangkah ke arah yang berbeda. Dan jika kamu diberi kesempatan
untuk memperbaiki, jangan sia-siakan.
Tidak ada komentar