A |
wan
yang saling bertabrakan di langit gelap, menciptakan suara gemuruh yang berubah
menjadi petir, dan saling bersahutan satu sama lain.
Derai air itu membasahi buminya yang sudah merindukan
kehadirannya. Petir yang menyambar, memecah keheningan malam saat itu. Di dalam
kamar yang gelap, Alvaro duduk terdiam di atas tempat tidurnya. Cahaya lampu
redup di meja belajarnya bergetar hebat seolah mengikuti detak jantungnya yang
semakin cepat.
Tangannya
memegang selembar kertas yang kusut, surat ini seharusnya tidak ada. Surat ini
datang secara tiba-tiba, tanpa nama pengirim, tanpa asal yang jelas, namun
isinya terus menghantui pikirannya sejak pertama kali ia membacanya.
Jangan pergi ke pesta itu. Sesuatu yang
mengerikan akan terjadi!
Seolah-olah,
seseorang tahu apa yang akan terjadi. Surat itu berulang kali mengingatkannyaa,
tapi siapa yang bisa percaya hal semacam ini? Apakah ini hanya lelucon kejam?
Atau…, apakah ini benar-benar peringatan dari masa depan?
Alvaro tertegun,
tangannya gemetar. Ia merasa seperti menatap jurang yang tak terihat, di ambang
pilihan yang mungkin saja dapat mengubah hidupnya selamanya. Hujan di luar
semakin deras, menyapu jendela dengan suara gemuruh yang seakan memberikan
peringatan.
Ia menatap surat
itu berkali-kali, mencoba mencari tahu kebenarannya. Namun, tiba-tiba, sebuah
suara keras dari luar kamarnya memecah keheningan.
Alvaro terkejut,
ia segera berlari ke jendela, membuka tirai sedikit dan melihat kegelapan di
luar. Tidak ada yang aneh, hanya bayangan hujan deras dan kilatan petir yang
berkali-kali menyambar di langit. Namun, perasaan bahwa sesuatu yang lebih
besar sedang menunggunya membuat bulu kuduknya berdiri.
Surat itu belum memberitahukan semuanya.
Ada yang janggal, sangat janggal. Dan Alvaro tahu, malam ini hanya baru
permulaan dari kengerian yang belum terungkap.
Kegelapan
dan ketakutan yang menghantui malam tadi, seolah hanya angin yang lewat. Pagi
hari di sekolah selalu terasa penuh keceriaan. Matahari bersinar terang
menyinari lapangan sekolah yang ramai dengan siswa-siswi berseragam putih
abu-abu. Suara riuh rendah obrolan dan tawa mengisi udara, memberikan suasana
yang penuh energi khas masa-masa SMA.
Alvaro berjalan
santai menuju kelasnya sambil menyapa teman-temannya yang ia temui di sepanjang
koridor. Di tangannya, ia membawa bola basket, salah satu hal yang paling ia
sukai selain bermain game. Hari itu, ia merasa segala sesuatu akan berjalan
dengan lancar, hanya seminggu lagi menuju pesta perpisahan sekolah, momen yang
dinanti-nantikan oleh seluruh siswa kelas 12. Perasaan senang menghinggapi siswa kelas 12, akan ada
perasaan bahagai dan sedih di sana nantinya.
Ketika sampai di
kelas, Nathan dan Rendra sudah duduk di bangku mereka, seperti biasa mereka
terlibat dalam percakapan yang konyol.
“Weh Varo! Nanti
siang main basket, kan?” tanya Nathan sambil mengangkat tangan untuk memberi
salam.
“Ya iyalah! Pasti
broo!” jawab Alvaro sambil tersenyum. “Gua udah siapin strategi baru nih buat
ngalahin anak-anak kelas sebelah. Kali ini, mereka pasti kalah.”
Rendra tertawa
lebar. “Idih! Sok-sok an lo make strategi. Ntar pas tanding benerin dulu tuh
tembakan lo, baru ngomong strategi!”
Alvaro tersenyum
sambil melempar bola basketnya ke arah Nathan, yang langsung menangkapnya
dengan gaya yang dramatis. Mereka semua tertawa lepas. Inilah momen-momen yang
paling ia sukai dari masa-masa sekolah, tawa bersama teman-temannya yang selalu
mendukungnya.
Di kelas, obrolan
tentang pesta perpisahan semakin kencang. Semua siswa membicarakan tentang
gaun, setelan jas, dan siapa yang akan datang dengan siapa. Ada yang sedang
sibuk merencanakan tarian kejutan, ada juga yang membuat janji dengan pacar
mereka. Alvaro sendiri belum berpikir jauh tentang pesta itu. Baginya, yang
terpenting adalah menikmati hari-hari terakhir di sekolah bersama
teman-temannya.
“Jadi, lo udah
siap buat pesta perpisahan, Var?” Tanya Nathan sambil menepuk pundak Alvaro.
“Udah mikir mau datang sama siapa nih?”
Alvaro hanya
mengangkat bahu. “Belum sih. Gue masih mikir-mikir. Lo sendiri gimana, Than?”
Nathan tersenyum
lebar. “Gue sama Keysha. Udah lama gua nunggu momen ini buat ngajak dia.”
Rendra tertawa
sambil menggoda. “Wih, Nathan udah berani ngajak cewek! Varo kapan nih?”
“Ah, jangan bikin
ribet lo dah!” balas Alvaro sambil tertawa.
Suasana sekolah
hari itu benar-benar terasa seperti hari-hari yang penuh kebahagiaan. Tidak ada
yang perlu dipikirkan selain bercandan dengan teman-teman, berlatih basket dan
mempersiapkkan diri untuk pesta perpisahan.
Di antara teman-teman
sekelasnya, ada yang terlihat lebih bersemangat daripada yang lain—Ryan—teman sekelas
Alvaro yang terkenal dengan sikapnya yang selalu riang, akhir-akhir ini tampak
lebih berbunga-bunga dari biasanya. Semua orang tahu penyebabnya, ia sedang kasmaran
berat dengan pacarnya, Lora, yang ada di kelas sebelah.
“Bro, lo lihat gak?
Lora tadi bener-bener cantik banget hari ini,” ucap Ryan sambil tersenyum
lebar, matanya berbinar saat melihat Lora berjalan melintasi koridor. Alvaro
dan Rendra hanya saling melirik, tersenyum geli melihat betapa jatuh cintanya
Ryan.
“Yaelah Ry,” goda
Rendra, “tiap hari lo bilang gitu. Gimana mau kbelajar kalo setiap saat mikirin
Lora?”
Alvaro terkekeh
sambil menepuk punggung Ryan.
“Hati-hati, bro.
Jangan sampe lo malah lupa sama yang lain gara-gara pacaran!”
Ryan hanya
tertawa dan menggeleng. “Gimana gua gaK mikirin dia terus? Dia tuh segAlanya
buat gua. Pesta perpisahan nanti, gua udah janji bakal ngajak dia dansa pertama
kali. Gua udah Latihan. Biar ga malu-maluin.”
“Yaelah, bucin
banget ni anak,” ucap Rendra sambil tertawa, tapi Ryan tidak memikirkan hal
itu.
Alvaro mengamati
Ryan, DIA merasa senang untuk temannya itu. Sebenarnya, Alvaro juga sempat
berpikir tentang siapa yang akan diajaknya ke pesta perpisahan, tapi hingga
sekarang ia belum memutuskan. Tidak ada sosok yang benar-benar menarik
perhatiannya.
“Jadi, lo udah
siap-siap buat hari besar nanti?” tanya
Ryan sambil melirik Alvaro.
Alvaro mengangkat
bahu. “Gue masih belum mikir sih, yang penting gue datang aja. Mau bareng
temen-temen, ya santai aja.”
“Yahh, sayang
banget Var,” tutur Ryan dengan nada mengejek kecil. “Ini, kan, momen terakhir
kita. Harusnya lo punya rencana spesial juga dong. Siapa tahu ada yang suka
sama lo tapi belum berani ngomong.”
Alvaro hanya
tertawa kecil. “Gue gak terlalu mikirin soal itu, yang penting gua nikmatin
waktu sama kalian semua.”
Mereka
melanjutkan obrolan ringan di tengah suasana sekolah yang sedang ramai.
Sementara Ryan terus-terusan memikirkan rencananya untuk pesta dengan Lora. Alvaro
sendiri masih mersa tenang dan nyaman menjalani hari-harinya. Surat misterius
yang pernah ia terima mulai terasa seperti lelucon yang tidak penting. Mungkin
itu benar-benar hanya ulah dari teman-temannya itu, atau mungkin hanya salah
kirim.
Bagi Alvaro,
meski tidak ada rencana spesial seperti Ryan, ia akan menikmati setiap momen
terakhir masa-masa sekolah bersama teman-temannya itu.
Namun, di balik semua keceriaan itu,
bayangan surat itu tetap sesekali muncul dalam pikirannya. Tidak terlalu
mengganggunya, tapi selalu ada di sudut pikirannya, menunggu saat yang tepat
untuk Kembali menghantuinya.
Suatu siang, saat
istirahat, Alvaro, Nathan, dan Rendra duduk di bawah pohon besar di halaman
sekolah. Mereka menikmati camilan sambil mengobrol tentang rencana pesta.
“Gimana kalau
kita bikin kejutan di pesta nanti? Kita bisa bikin flashmob angkatan
atau semacamnya,” usul Nathan dengan semangat.
“Eh, itu ide
bagus! Bakal seru banget sih!” seru Alvaro sambil tersenyum, diikuti dengan
iringan tawa dari Rendra dan Nathan.
Beberapa hari
kemudian, Alvaro dan teman-teman mulai berlatih menari. Di halaman sekolah,
mereka mengumpulkan teman-teman lain untuk ikut berlatih. Dalam suasana yang
riang, mereka menghabiskan waktu bersama, tertawa dan saling menggoda.
Malam pun tiba,
Alvaro tiba di rumah dengan semangat yang menggebu. Ia merasa sangat
bersemangat untuk pesta perpisahan itu. Dalam perjalanannya, ia mendengar
teman-teman di sekitarnya membicarakan siapa yang akan datang dengan siapa.
Alvaro merasa seolah semua orang telah memiliki rencana special, sementara ia
hanya akan bersenang-senang.
Ketika Alvaro
berada di kamarnya, ia teringat pada surat misterius yang diterimanya. Ia
mencari surat itu di dalam laci mejanya. Sekali lagi, ia membaca pesan yang
tertulis di sana.
Jangan pergi ke pesta itu. Sesuatu yang mengerikan akan terjadi.
Alvaro menggelengkan kepala, berusaha
menyingkirkan perasaan tidak nyaman itu. Ia percaya, ini tidak masuk akal.
Semua teman-temannya bahagia dan ia pun ingin merasakan kebahagiaan itu.
Kenangan indah di sekolah tidak bisa ternodai oleh perasaan takut yang tidak
ada alasannya.
Hari
H pun tiba, Alvaro dan teman-temannya berkumpul di aula, tempat pesta
perpisahan diadakan. Suasana penuh warna dan lampu berkilau. Musik menggema di
seluruh ruangan, dan semua orang tampak ceria. Alvaro dan teman-temannya
berkumpul di panggung kecil, Bersiap untuk menunjukkan penampilan flashmob
angkatan mereka.
Ketika mereka
mulai menari, Alvaro merasa semua tekanan dan kecemasan menghilang. Semuanya
tampak sempurna. Senyuman dan tawa memenuhi wajah teman-temannya saat mereka
bergoyang mengikuti irama musik.
Tak ada lagi rasa
khawatir tentang surat-surat itu, hanya ada kebahagiaan dan persahabatan yang
mengikat mereka.
“Lihat itu! Keren
banget gak sih!!” teriak Lora di tengah keramaian, mengacungkan jari
telunjuknya ke arah panggung.
Ryan berdiri di
sampingnya, menonton mereka semua menari. Ryan merangkul Lora dan menggerakkan
bahunya mengikuti irama.
“Kita harus ikut
juga setelah ini, Lora! Gimana?” ajak Ryan dengan semangat.
Lora mengangguk.
“Tentu saja! Ayo, kita bersenang-senang!”
Alvaro merasa
sangat senang dan melihat betapa bahagianya mereka. Seharusnya, malam ini
menjadi malam yang akan dikenang selamanya.
Namun, di balik
semua keceriaan itu, Alvaro tak bisa sepenuhnya menghilangkan bayangan pesan
itu. Saat dia berbalik ke arah teman-temannya, ia merasa ada yang mengawasinya.
Tetapi Ketika ia menoleh, tidak ada apa-apa dibelakangnya. Mungkin hanya
imajinasinya.
Sesaat kemudian,
musik mulai mereda dan semua orang berkumpul di tengah aula. Suasana semakin
hangat dan penuh semangat saat mereka bersiap untuk pembukaan pidato
perpisahan. Beberapa murid yang terpilih maju untuk memberi kata sambutan.
“Selamat datang!
Teman-teman! Malam ini adalah malam spesial bagi kita semua, malam perpisahan,”
kata ketua penitia sambil tersenyum lebar.
Mereka bertepuk
tangan, dan Alvaro merasakan kegembiraan di hatinya. Namun, saat ia menatap
wajah teman-temannya, ia tidak bisa menghilangkan rasa gelisah itu. Kapan pun
ia mencoba berfokus pada kebahagiaan, bayangan surat itu selalu kembali
menghantui pikirannya.
Alvaro memutuskan
untuk tidak membiarkan pikirannya terganggu. Malam ini adalah tentang dia dan
bersama teman-temannya mengukir keindahan bersama di akhir masa SMA. Dia akan
menikmati setiap detik dan mengingat semua momen ini selamanya.
Namun, saat ia
berdiri di sana, merasakan kegembiraan, sebuah perasaan aneh melanda dirinya.
Seolah ada sesuatu yang akan terjadi, sesuatu yang lebih besar daripada pesta
ini. Rasa takut mulai menyusup ke dalam pikiran Alvaro, seolah-olah ada badai
yang sedang mendekat dan menunggu saat yang tepat untuk menerpa mereka semua.
Alvaro lagi-lagi
menggelengkan kepalanya lagi, mencoba menghilangkan pikiran-pikiran itu. Dengan
semangat ia bergabung kembali dengan teman-temannya, melanjutkan perayaan
mereka dengan harapan bahwa malam ini akan menjadi kenangan yang tak
terlupakan.
Acara pesta perpisahan
semakin meriah. Musik mengalun, lampu berkelap-kelip, dan semua siswa terlihat
ceria. Alvaro merasa terhanyut dalam kebahagiaan di sekelilingnya. Ia mencoba
untuk melupakan semua ketakutan yang sempat mengganggu pikirannya.
Setelah beberapa
banyak penampilan. Ketua panitia kembali naik ke panggung untuk menyampaikan
beberapa kata penutup.
“Terima kasih
yang telah hadir pada malam ini! Ini adalah malam terakhir kita bersama, dan
saya harap kita semua bisa mengingat momen ini selamanya!” ujar ketua Panitia
“Dan sebelum kita
menutup acara ini, saya ingin mengingatkan, untuk kita semua, agar selalu
menjaga persahabatan ini, tidak peduli ke mana pun kita pergi setelah ini,” sambung
Ketua Panitia. “Jangan lupakan kenangan yang telah kita buat bersama!”
Semua orang
bersorak setuju termasuk Alvaro. Tapi, ketika ia menoleh ke arah pintu keluar,
ia melihat sosok yang tidak dikenalnya berdiri di sana, menatap ke arahnya.
Perasaan aneh kembali muncul di perutnya. Dia merasa seperti ada yang tidak
beres.
“Lo oke, Var?” tanya
Nathan, menyadari ekspresi Alvaro yang berubah.
“Iya, gua
baik-baik aja,” jawab Alvaro, meski ia merasa tidak yakin.
Namun, sebelum
Nathan bisa menanyakan lebih lanjut, ketua panitia menyelesaikan pidatonya.
“Selamat
berpisah, teman-teman! Mari kita nikmati malam ini!” serunya, diikuti dengan
musik yang kembali menggema di aula.
Sementara suasana
kembali hidup, Alvaro berusaha mengalihkan perhatian dari sosok misterius di
depan pintu. Ia bergabung kembali dengan teman-temannya, berusaha merasakan
kebahagiaan malam itu. Namun pikirannya terus melayang, memikirkan surat
misterius dan sosok yang tidak dikenalnya.
Malam semakin
larut, dan suasana pesta semakin memanas. Musik berubah menjadi lebih energik
dan semua orang mulai menari dengan bebas. Alvaro mencoba untuk menikmati
setiap detik, tetapi bayangan sosok di depan pintu dan kata-kata di surat itu
semakin menghantuinya.
“Lo kelihatan
gelisah banget, kenapa?” tanya Ryan saat mereka beristirahat sejenak. “Lo
harusnya bersenang-senang!”
Alvaro berdehem. “Gue
cuma… merasa aneh. Gue gak tahu kenapa. Mungkin hanya perasaan biasa.”
Ryan menepuk
punggung Alvaro. “Jangan berpikir terlalu keras, Var. Malam ini harusnya jadi
momen terbaik kita! Nikmati aja!”
Alvaro
mengangguk, berusaha mengikutinya. Namun saat mereka kembali ke kerumunan, dia
tidak bisa menahan rasa khawatirnya. Dia merasa seolah-olah ada sesuatu yang
lebih besar sedang menunggu di balik semua kebahagiaan ini, sesuatu yang
mungkin tidak bisa mereka hindari.
Saat musik
berhenti dan semua orang beristirahat, Alvaro memutuskan untuk pergi ke luar
aula sejenak, mencari udara segar. Dia melangkah keluar, berharap bisa
menenangkan pikirannya. Namun saat dia keluar, ia terkejut melihat sosok yang
berdiri di luar aula, masih menatap ke arahnya.
“Lo siapa?” tanya
Alvaro, merasa jantungnya berdegup kencang.
Sosok itu tidak
menjawab, hanya berdiri di sana, menatapnya dengan tatapan kosong. Alvaro
merasa ketakutan menghinggapi tulang punggungnya. Dia ingin berbalik dan
kembali ke dalam aula, tetapi kakinya terasa berat.
Dan pada saat
itu, sosok itu membuka mulutnya,
“Alvaro….”
Suara itu
terdengar familiar, membuat Alvaro terkejut.
“Lo siapa?”
Alvaro mengulangi pertanyaannya.
“Ini aku, dari
masa depan,” jawab sosok itu dengan suara yang dalam dan misterius.
Alvaro terdiam,
tidak percaya dengan apa yang dia dengar.
“Maksud lo apa?”
Tapi sebelum
sosok itu bisa berbicara lagi, lampu di aula tiba-tiba mati, mengubah semuanya
menjadi gelap gulita. Suara teriakan dan keributan memenuhi udara, menciptakan
suasana tegang di sekelilingnya. Suasana mulai terasa kacau.
Alvaro juga merasakan ketakutan yang luar
biasa. Dalam kegelapan, sosok itu menghilang. Ia berlari memasuki aula yang
gelap, berusaha menemukan teman-temannya walaupun pikirannya masih berputar
dengan kata-kata sosok misterius itu. Apakah ini semua terkait dengan surat
yang ia terima? Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Alvaro berusaha mengingat
di mana posisi teman-temannya. Suara teriakan dan kegaduhan membuatnya semakin
gelisah. Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi, tetapi pikiran di dalam
dirinya memberi tahu bahwa ini bukan sekedar kesalahan teknis.
Saat ia memasuki
aula, ia mendengar suara Ryan yang teredam oleh kebisingan.
“Var! Di sini!” teriak
Ryan, membuat Alvaro segera berlari ke arahnya.
“Gue khawatir!
Ada yang gak beres!” Ryan sudah terlihat sangat cemas, “lampunya mati, dan
semuanya panik. Kita harus cari teman-teman kita!”
Alvaro mengangguk
dan mereka berdua bergerak melalui kerumunan yang kacau. Selagi mencari
teman-teman mereka, Alvaro masih teringat pada sosok misterius yang ia temui di
luar aula. Apakah dia benar-benar dari masa depan? Apa yang dia inginkan?
Pertanyaan it uterus menganggu pikirannya.
Akhirnya, mereka
menemukan Rendra, Nathan, Keysha dan Lora.
“Lora pingsan,
Ry!” ujar Nathan panik.
Alvaro merasa dunianya berhenti sejenak,
tidak tahu harus berbuat apa.
“Bawa aja Lora ke
luar!” ujar Alvaro.
Dengan cepat,
Ryan dan Rendra segera membawa Lora ke luar dari aula menuju tempat yang lebih
aman. Alvaro lalu menelpon dan menghubungi orang yang bisa membantu mereka.
Ketika selesai menghubungi
beberapa orang, dalam sekejap, lampu kembali menyala, dan suasana panik mulai
mereda. Ketika Alvaro melihat ke dalam aula, lagi-lagi ia melihat sosok
misterius itu berdiri di sana, menatapnya dengan tatapan kosong.
“ALVARO!” teriak
Ryan, menarik perhatiannya. “Lo nggak apa-apa?”
“Maaf, gue tadi
sedikit pusing,” ucap Alvaro sambil melihat bahwa Lora sudah dibawa oleh tim
medis ke rumah sakit terdekat untuk pemeriksaan.
“Gua bingung… ada
sosok yang gue lihat tadi, dia bilang dari masa depan,” lanjutnya, “rasanya
aneh, semua ini… surat, sosok itu, semuanya terasa saling berkaitan.”
Seketika Ryan,
dan Nathan bingung dan menggelengkan kepalanya.
“Lo ngerasa kalo
surat itu ada hubungannya dengan kejadian malam ini?” tanya Rendra.
Alvaro mengangguk. “Rasanya seperti ada
yang ingin memperingati kita tentang sesuatu.”
Beberapa hari
kemudian, Alvaro memutuskan untuk mencari tahu lebih dalam tentang surat-surat
misterius itu. Dia mengumpulkan keberanian dan memanggil teman-temannya untuk
bertemu di tempat biasa mereka berkumpul. Dengan serius, ia menceritakan semua
hal yang terjadi sejak pesta perpisahan, termasuk surat terakhir yang ia
temukan.
“Aku rasa ini bukan kebetulan,” ujar Alvaro
dengan suara tegas. “Mungkin ini adalah tanda bahwa kita harus melakukan
sesuatu.
“Melakukan sesuatu? Tapi apa maksudnya?”
tanya Keysha, masih bingung.
“Mungkin ini tentang pilihan yang harus kita
buat,” tambah Nathan, mencoba memahami situasinya.
Ryan, yang biasanya skeptis, akhirnya angkat
bicara. “Kalau benar ini tentang masa depan, mungkin kita perlu melihat ke
belakang. Apa hal penting yang kita lupakan atau abaikan?”
Mereka pun mulai merenungkan segala kejadian
di masa lalu, termasuk hubungan mereka dengan orang-orang di sekitar dan
keputusan yang pernah mereka buat. Dalam proses itu, Alvaro menemukan bahwa
surat-surat itu tidak hanya berbicara tentang masa depan, tetapi juga tentang
memperbaiki kesalahan dan menguatkan hubungan mereka.
Suatu malam, Alvaro kembali mendapati surat
lain di ambang pintu. Kali ini, isinya jauh lebih jelas:
“Keputusan sudah dibuat. Jalanmu telah
ditetapkan. Jangan biarkan keraguan menghentikanmu. Mereka membutuhkanmu,
Alvaro.”
Alvaro menyadari
bahwa ini bukan hanya tentang dirinya. Ini tentang teman-temannya, keluarganya,
dan dunia yang lebih luas. Dengan tekad baru, ia memutuskan untuk berhenti
berlari dari ketakutan dan mulai menghadapi apa pun yang akan datang.
Ketika ia berbagi
keputusannya dengan teman-temannya, mereka semua sepakat untuk mendukungnya.
Bersama-sama, mereka membuat rencana untuk mengungkap misteri ini, mencari tahu
siapa sosok misterius itu, dan apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Malam itu, ketika
mereka berkumpul di bukit tempat mereka sering bermain waktu kecil, Alvaro
menatap ke langit berbintang.
“Apa pun yang
terjadi, kita hadapi bersama,” katanya dengan yakin.
Teman-temannya
mengangguk, dan di bawah langit yang penuh bintang, mereka membuat janji tak
terucap—untuk saling mendukung, tidak peduli apa yang akan terjadi.
Perjalanan mereka baru saja dimulai, tetapi
satu hal yang pasti: keputusan Alvaro telah membuka jalan baru, sebuah jalan
yang akan mengubah hidup mereka selamanya. Dan untuk pertama kalinya, Alvaro
merasa yakin bahwa masa depan, seberapa pun menakutkannya, adalah sesuatu yang
layak diperjuangkan.
|
Tidak ada komentar