KAI…: Cerpen Bambang Kariyawan Ys.

 


Aku rindu pada malam. Ya … malam. Malam membuatku seperti berada di di keranda waktu.  Gamang menyambut fajar. Fajar yang seharusnya disambut dengan sepenuh hati telah membuatku lelah dan sesak. Tiang-tiang langit dikala fajar seperti menukar angin sejuk dengan hawa bara dalam sekam. Sesak.

Malam pula yang membuatku berada di dengkuran masa lalu. Masa lalu yang membawaku menjunjung asal-usulku sebagai orang Sakai. Darah Sakai yang telah mengalir dalam tubuh ini membuatku biasa dipanggil Kai. Penggalan kata terakhir dari nama sukuku, Sakai. Aku tidak mengerti mengapa sebutan itu diberikan kepadaku. Orang yang selama ini sering dianggap sebagai orang terasing yang hidup berpindah-pindah di hutan. Berjalannya waktu, alam asri tempat berlindung mulai punah. Kawasan yang tadinya hutan, tersulap menjadi daerah industri perminyakan, usaha kehutanan, perkebunan karet dan kelapa sawit.

            Aku menanti ratusan senja untuk mengayuh di anjung malam. Menikmati sensasi malam yang mengendap dalam secawan embun. Sehampar malam bersanding dengan waktu yang kusut. Waktu yang meranggasi hijau dan lebatnya hutan larangan. Hutan yang dulu selalu dijaga adat untuk keseimbangan alam. Hutan bagiku menjadi sebuah detak nadi yang mengundang unsur magis dan penuh arti bagi kehidupan. Hutan sialang, kapur, labuai, dan buah-buah hutan dulu tumbuh sumbur di daerah aliran sungai. Tidak boleh diusik apalagi ditebang. Namun kini hanya meninggalkan hutan yang lembab dan berdebu waktu bersama rimbunan sawit.

Sawit … tanaman asing yang sebelumnya tidak pernah kukenal dan kini menjadi simbol pembatas aku dan entah siapa. Aku rindu damar, rotan, getah labuai, ubi menggalo dan jamur yang biasanya kupetik. Rindu bermain pada aroma tanah peladangan, rimba kepungan sialang, dan rimba simpanan.

Dalam malam bertemankan rembulan, aku terbiasa menarikan tarian olang-olang. Bergerak perlahan-lahan, berjongkok dan sesekali berputar mengikuti hentakan irama yang dihasilkan dari bunyi gendang bebano dan tetawak (gong). Sepiring rintin hujanpun ikut menari bersama sepoi angin. Aku gerakkan jemariku yang kaku berteman kepekatan malam. Itu dulu saat malam begitu ramah memelukku.

Kini aku hanya bisa memandangi umah. Rumah yang telah rapuh oleh kulit-kulit kayu dan pepohonan. Jangkrik menambah lengang yang beranak pinak. Hening tak bernyanyi meretas berhektar sunyi diantara damar, rotan, dan karet. Rimba telah tak terbaca pada angin yang mendiamkan malam. Sebongkah gelap memekatkan gulita membara.

            Bagiku malam belum lengkap bila bulan belum menyabit awan. Kutengadahkan tangan menerima curahan cahaya indahnya. Serimbun pesona malam tertampung pada telapak tanganku. Aku menikmati kala bermandi sinar malam yang tidak mampu diberikan siang. Jemari malamnya ikut terselip dibalik pelepah nibung. Pohon yang dianggap sebagai semangat persatuan dan persaudaraan masyarakatku.

Ketika siang … ahhh aku selalu ingin berlari darinya. Jalan-jalan setapak yang dulu kulewati berteman ilalang, kini terasa memekakkan telinga.  Lalu lalang kendaraan pabrik membuatku pusing. Selalu ada kegalauan setiap sinar siang menyambutku. Kadang teriakan histeris keluar dari mulut sunyiku. Tapi aku tak peduli, mau dibilang manusia macam apa aku ini. Manusia kelelawar. Berkeliaran di kala gulita malam.

            Aku tak peduli dengan sebutan manusia kelelawar itu. Siang tidur, malam kelayapan tak tentu arah. Kebiasaanku menikmati malam diikuti oleh anak-anak lain yang menjadikanku pemimpin untuk bermain-main di malam hari. Selendang bulan menyentuh dalam jiwa. Kupungut cahaya diantara cericau serindit. Burung lincah yang tak pernah lelah menjelajahi pepohonan. Ayat-ayat hutan membelah langit. Riak sungai semakin busuk karena percikan-percikan limbah.

            Kebiasaan seperti  kelelawar, membuatku disangka telah dimasuki Antu jembalang malam sehingga harus melakukan pengobatan Longkap Pokao Tujuh. Pernak-pernik di tangan bomo yang mengobatiku menggeleng kepala kalau aku tidak ada penyakit apapun. Seperti yang pernah aku katakan bahwa aku hanya menekuni sunyi malam dalam rimbun yang teramat lelah.

            Tebing malam menyulang cahaya. Kampung kecilku hanya beberapa petak yang kami jadikan tempat berteduh. Kicau pagi yang selalu berpayung awan kini terasa sulit kudengar. Ranting malam syahdu menghempas bulan. Kedamaian yang dulu kami nikmati sebebas dan sejauh kaki melangkah kini hanyalah tinggal beberapa petak lahan yang kami tanami menggalo. Ubi beracun yang menjadi sangat nikmat bila kami yang mengolahnya. Kampungku bernama Pinggir. Aku tak mengerti mengapa disebut pinggir. Mungkin karena letaknya di pinggiran jalan raya. Atau mungkin saja karena kami dianggap orang terpinggir. Entahlah tak penting sebutan itu.

            Pinggirku kini tergerus. Matahari tumpah sempurna merujuk sunyiku. Hutan yang menjadi nadi kini diberangus dengan mesin chansaw. Berganti dengan ladang sawit. Aku semakin terpinggir hanya menyaksikan pagar-pagar besi melindungi perkebunan sawit nan luas itu. Pabrik sawit yang meninggalkan sisa-sisa limbah dan aroma bau yang menusuk. Tempat yang biasa aku berlarian menarikan olang-olang kini menjadi ladang sawit yang tidak bisa kuinjak tanahnya lagi. Belukar kusut menyuguh layu. Menggalo yang banyak di dalamnya kini tercerabut tak bisa kunikmati.

            Bulan betina memungut gemintang. Malam dengan bulan yang pucat membawaku ke tepian sungai. Parau pungguk merayu bulan pada awan hitam yang rancu. Aku nikmati bersama lukah mencari ikan yang bisa untuk ku makan. Ikan tapa, ikan baung, ikan selaih, ikan kayangan telah menjauh yang tinggal hanyalah ikan-ikan tanah. Walaupun ikan kadang enggan singgah ke lukahku yang penting bagiku aku bisa bersama malam. Jangkrik yang bersahutan membenamkanku larut dalam ketermanguanku.

            Tubuh subuh yang teduh menarikan ranting-ranting angin. Namun entah mengapa ketika mata ini sedang mencoba melelapkan diri dari fajar setelah menikmati malam, teriakan keributan kudengar.

 "Naik semua!!" Suara-suara berat tentara bersama senjata apinya membuat kami tak mam- pu berbuat apa-apa.

 Malam penat diperam luka. Suara-suara perempuan menangis dan bentakan-bentakan lelaki mengumbar emosi. Aku hanya terseret bersama fajar digiring ke truk yang mengangkut kami dengan paksa. Gerungan truk membelah rimbunan dedaunan yang menangis dan melambai seperti tak ingin kehilanganku. Pagi yang runyam menyergap kegelapan. Selembar pagi telah melemparkan kabut. Rumput pun lupa cara bercumbu karena angin sudah terluka.

Alam rimbapun kian tak nurut pada selubung embun. Angin serakah telah menohak langit gersang. Aku dan masyarakatku dipaksa untuk turun di tepian jalan beraspal dengan hamparan gundukan tanah merah yang gersang dan sepi dari keramaian. Bahkan kegaduhan langit membaham cahaya matatari di tepian hutan karet. Sepotong siang tertanam di lubuk larangan. Siang sudah diam pada daun daun karet yang gemetar.

"Turun kalian di sini. Tempat seperti inilah tempatyang pantas untuk kalian! Kai!!! Turun kau!!"

 Matahari pecah di jalanan sunyi. Kelopak sunyinya merobek bias cahaya. Aku tak mengerti atas pengusiran ini. Aku hanya mendapat sepenggal penjelasan kalau sepetak hutan yang kami miliki akan dijadikan pabrik pengolahan sawit secara moderen. Yang aku ingat pemimpin-pemimpin suku menolak keras rencana itu. Tapi kekuasaan dan uang telah bicara lain. Kami dipaksa turun. Aku hanya termangu menatap hamparan tanah merah yang tidak biasa kutatap. Aku menyambut malam dengan gamang. Malam yang biasa menjadi teman dengan keindahannya kini menyiksaku.

Malam cemburu melabuhkan perahu kelam pada dadaku yang rusuh. Fajar yang kujelangpun semakin membakar sisi batinku. Entah dorongan apa yang membuatku harus berteriak. Sekuat yang kubisa. Aku kehilangan malam. Tertatih memujuk gelap pada resahnya peradaban kering. Aku terus berteriak dan berlari dan berlari sekuat yang kubisa. Aku melayang dalam menuju titik jurang terdalam. Tanah ngilu menjauhkanku dari segelap malam. Hitam.

 

 

 

Tidak ada komentar