Below: Cerpen Nadia Putri Sofiani

 


Microsoft AI Creator

A

ku membuka mataku. Rasanya aneh—bukan seperti bangun dari tidur, juga bukan seperti bangun dari mimpi panjang. Hanya terasa… baru.

“Ya ampun! Tidak, aku tidak percaya ini benar-benar berhasil! Halo! Kamu bisa dengar aku?”

Suara itu memecah keheningan. Di hadapanku berdiri seorang gadis. Usianya tak lebih dari enam belas tahun, dengan mata berbinar penuh antusiasme.

“Ya. Halo,” jawabku datar, meski penuh rasa ingin tahu.

“Ini gila! Aku sudah jadi penemu! Halo, aku Anne. Kamu adalah robot ciptaanku. Wah, aku masih tidak percaya bahwa aku benar-benar berhasil menciptakanmu,” ujar Anne dengan senyumannya yang lebar.

“Anne. Nama yang populer, berasal dari Prancis, memiliki arti ‘anggun’. Pengucapannya unik. Kebanyakan orang hanya mengucapkannya sebagai Ann, bukan Ann-ne. Halo, Anne. Siapa namaku?” tanyaku pada gadis bernama Anne.

“Oh, jadi robot memang suka bicara panjang lebar tentang hal-hal kecil, ya?” Ia tertawa kecil, tampak menikmati momen itu. “Orang tuaku sengaja menamaiku Ann-ne agar terdengar unik. Tapi aku belum sempat memikirkan namamu. Bagaimana kalau … terserah kamu saja?”

Aku menggeleng kecil dengan kaku. “Tidak. Kamu penciptaku, Anne. Kamu yang seharusnya memberi nama. Apakah kamu butuh usulan? C-3PO, R2-D2, BB-8—nama-nama itu cukup populer untuk robot.”

Anne melambaikan tangannya cepat-cepat. “Tidak, tidak, tidak. Aku tidak mau pusing menyebut angka-angka aneh itu. Kalau memang kamu tidak mau memilih, biar aku yang memutuskan. Bagaimana kalau Rossette—dibaca Ro-set-te. Kita akan sama-sama punya nama dengan pengucapan unik.”

“Setuju!”

Anne tersenyum lebar. “Baiklah. Rossette, aku menciptakanmu untuk menemaniku menjalankan sebuah misi rahasia. Nanti akan kuceritakan. Sekarang, bagaimana kalau aku tunjukkan kotaku dulu?”

“Tentu!”

Anne menggandeng tanganku. Sentuhannya tidak terasa di tangan robotku, tapi pandanganku menangkap sesuatu yang tak kalah nyata—bekas luka di jari-jarinya, perban yang dipasang seadanya, dan jaket hijaunya yang kusam tidak cukup menutupi lebih banyak bekas luka di pergelangan tangannya.

Anne membawaku ke atap gedung. Dari sana, aku bisa melihat kotanya—kumuh, kusam, dan hampir mati. Bangunan-bangunan dengan cat terkelupas, listrik yang hanya mampu menerangi jalan seadanya, dan besi-besi berkarat yang seperti berbisik tentang usia mereka. Tanahnya tandus, dengan bekas-bekas gosong hitam yang membekas di banyak tempat. Kehijauan? Tidak ada. Yang tersisa hanya tikus dan serangga kecil yang berkelana dengan jumlah tak wajar.

“Ini kotaku,” Anne berkata, matanya memandang jauh ke depan. “Memang bukan dalam kondisi terbaiknya, tapi dulu kota ini adalah salah satu yang termaju di dunia. Sampai ... kejadian itu. Kamu pasti sudah tahu, kan? Robot tahu segalanya.”

“Ya. Tentu.”

Anne menghela napas. “Aku tahu kamu sudah tahu, tapi aku tetap ingin menceritakannya. Dulu aku tinggal bersama kakek dan tanteku, Josephine—aku memanggilnya Tante Sephy. Orang tuaku terlalu sibuk, mereka peneliti. Entah peneliti apa. Aku bahkan tak ingat wajah mereka. Kakek lebih seperti orang tua bagiku.”

Anne berhenti sejenak, menatap jalanan di bawah, lalu melanjutkan dengan suara pelan.

“Tempat kerja mereka meledak pertama kali, sebelum rentetan ledakan lainnya di tahun itu. Ada yang bilang itu ulah negara Barat, ada yang bilang karena eksperimen bocor, atau karena alasan lain. Tapi kakekku punya teori: ledakan itu sengaja dilakukan untuk mengurangi populasi—terutama orang miskin.”

Anne mendekat, berbisik. “Orang-orang kaya langsung mengungsi ke bawah tanah. Aneh, kan? Mereka seperti sudah tahu sebelum bencana terjadi. Itu sebabnya aku berencana menyelinap ke sana. Kakek pernah bilang Tante Sephy mungkin ada di kota itu. Aku harus menemukannya.”

Aku menatapnya. “Anne, kamu tidak tahu pasti apakah Tante Sephy benar-benar ada di sana. Informasi tentang kota bawah tanah ini tidak ada dalam sistemku. Resikonya terlalu besar.”

Anne tersenyum kecil, meski matanya tampak basah. “Aku tidak punya apa-apa lagi di sini, Rossette. Kakekku sudah tiada. Orang tuaku juga. Tante Sephy mungkin satu-satunya keluargaku yang tersisa. Aku rela mengambil risiko apa pun untuk bertemu dengannya.”

Aku diam sejenak, lalu berkata, “Maaf, Anne.”

Ia menggeleng cepat. “Tidak apa-apa. Baiklah, ayo kita bersiap untuk misi rahasia!”

Kembali ke apartemennya, Anne mulai mengemas barang-barang. Aku mengamati sekeliling—apartemen yang bersih, meski sempit. Hanya satu kasur yang tampak berantakan, dengan tumpukan baju di atasnya.

“Kakek suka kebersihan,” gumamnya, seolah berbicara pada diri sendiri. “Aku selalu mencoba menjaga tempat ini bersih, untuknya.”

Setelah semua siap, Anne membawaku ke stasiun kereta bawah tanah yang ditinggalkan. Suasana makin sunyi, gelap, dan lembab saat kami menuruni tangga kecil menuju sebuah lubang.

“Sudah banyak orang mencoba masuk lewat sini,” katanya. “Tapi tak ada yang pernah kembali. Entah mereka berhasil atau tidak. Namun aku yakin, kali ini kita akan berhasil.”

Petualangan kami pun dimulai.

Anne menghela napas panjang, lalu berdiri lagi. "Kita tidak boleh berlama-lama," katanya, melangkah maju.

Aku mengikutinya, menyusuri lorong remang-remang. Di depan, cahaya biru semakin banyak. Kami mendekat, dan kulihat sumbernya—beberapa senter tergeletak di lantai.

Anne menatapnya dengan alis berkerut. Mungkin ini milik orang-orang yang pernah menyusup ke tempat ini. Namun, di mana mereka sekarang? pikirku. Pikiranku terpecah saat suara samar-samar terdengar, seperti langkah kaki pelan, namun banyak. Tubuhku menegang. Anne mendengarnya juga. Kami saling berpandangan, dan aku tahu bahaya sedang mendekat.

Robot-robot muncul dari kegelapan, mengelilingi kami. Anne tampak menyadari situasi ini tidak bisa kami menangkan. Aku bertindak refleks, menendang satu robot yang mendekat ke arah Anne. Robot itu terjengkang ke belakang, lampu di wajahnya padam, menyisakan kegelapan. Namun, tindakan itu malah memancing lebih banyak robot mendekat.

Tanpa berpikir panjang, aku menarik tangan Anne dan berlari. Robot-robot itu mengejar. Saat mencoba menghindari robot lain di depan, Anne tersandung dan terjatuh. Salah satu robot hampir mengangkatnya, tetapi aku segera meraih tangan mekanisnya dan membantingnya hingga mati. Tanpa membuang waktu, aku menggendong Anne dan berlari menuju pintu gudang di depan kami.

Anne tampak terpaku pada tangga yang berada di sisi kami. Tangannya terangkat, seolah ingin menggapainya, dan ia berusaha menyuruhku berbalik arah. Namun aku menolak dengan tegas. Kembali ke sana sama saja dengan bunuh diri. Anne menggeliat dalam gendonganku, tetapi akhirnya kami berhasil melewati pintu gudang yang tertutup tepat setelah kami keluar.

Aku menurunkannya di tanah. Anne terlihat pucat, tubuhnya gemetar. Dia berbisik pelan, memberitahuku bahwa ia melihat tante Sephy di tangga tadi. Hal itu mengusikku—tante Sephy, menurut Anne, memerintah para robot untuk berhenti mengejar kami. Jika benar, apakah ini berarti tante Sephy berada di pihak kami?

Anne tampak keras kepala. Ia yakin harus menemui tantenya. Aku mencoba memperingatkannya akan bahaya, tetapi Anne tidak gentar. "Kita harus lebih hati-hati," katanya. Sistemku memrintahkan untuk aku menyerah. Sepertinya tidak ada cara untuk menghentikannya.

Di luar gudang, pemandangan berubah drastis. Area kosong dengan rumput hijau mengelilingi kami, seperti taman luas di bawah tanah. Jauh di depan, gedung-gedung tinggi yang megah berdiri kokoh, memberi kesan peradaban yang sangat maju. Udara dingin terasa menusuk, membuat bulu kudukku meremang.

Kami berjalan menuju area kota, lantainya berlapis aspal dengan garis putih seperti jalan raya. Sebuah suara keras, mirip terompet, menarik perhatian kami. Kami tersentak dan menepi saat sebuah mobil melayang melaju kencang. Hampir saja kami tertabrak. Mobil melayang itu menegaskan betapa pesatnya teknologi di tempat ini.

Mataku kemudian tertuju pada layar besar di salah satu bangunan. Gambar seorang wanita dengan senyum menenangkan terpampang di sana, dikelilingi robot-robot yang terlihat patuh. Anne menunjuk layar itu dan menyebut bahwa wanita itu adalah tante Sephy.

Kami harus ke Coloot Square untuk menemuinya, pikirku. Tapi bagaimana caranya? Tidak ada orang yang bisa kami tanyai. Toko-toko di sekitar dioperasikan oleh robot. Anne mengusulkan untuk bertanya pada salah satu robot di toko roti terdekat. Aku mengangguk setuju.

Dengan rasa ragu, kami melangkah mendekati toko itu, menyadari bahwa perjalanan ini baru saja dimulai dan bahaya masih terus mengintai di setiap sudut. Tekad Anne untuk menemukan jawaban terlalu kuat untuk dihentikan.

Ketika pintu Bakehouse 21 terbuka, sebuah robot menyambut dengan ramah, memperkenalkan tempat itu sebagai toko roti dengan resep panggang spesial yang diwariskan dari generasi ke generasi. Anne dengan cepat mengambil alih percakapan, menanyakan arah menuju Coloot Square. Sang robot awalnya tampak curiga, tetapi akhirnya memberi arahan sambil menyebutkan bahwa ada talkshow ilmuwan besar, Nyonya Josephine, yang akan diadakan di sana.

Anne tak membuang waktu, segera menggandeng Rossette keluar toko menuju lokasi yang ditunjukkan robot. Hanya butuh berjalan sejauh beberapa ratus meter hingga mereka tiba di Coloot Square, di mana talkshow telah dimulai. Di atas panggung, sosok Josephine tampak anggun namun penuh wibawa. Anne mengenalinya seketika.

“Itu benar-benar Tante Sephy,” bisik Anne sambil memandang penuh kagum, meski bayangan keraguan samar terlihat di wajahnya.

Anne hendak menghampiri Josephine, tetapi Rossette segera menahan tangan temannya, mengingatkan risiko besar jika identitas mereka terungkap. Setelah diskusi singkat, Anne mengusulkan rencana: menyusup ke rumah Josephine. Rossette sempat keberatan, tetapi tekad Anne terlalu kuat untuk dibantah.

Setelah talkshow usai, mereka bergerak cepat ke belakang panggung. Dengan keahlian Rossette, salah satu robot penjaga berhasil dilumpuhkan, dan pakaian robot itu digunakan sebagai penyamaran. Anne menyelinap masuk ke bagasi salah satu kendaraan Josephine, sementara Rossette bergabung dengan rombongan robot yang mengawal Josephine ke penthouse miliknya.

Rencana berjalan mulus hingga mereka tiba di lantai 83, tempat Josephine tinggal. Namun, langkah mereka terhenti oleh barisan robot penjaga di depan lift. Rossette, dengan cepatnya, memberikan alasan logis bahwa mereka adalah tamu undangan khusus Josephine. Setelah sedikit perdebatan, para robot akhirnya mengizinkan mereka masuk. Ketegangan mereda sesaat, tetapi belum sempat mereka bernapas lega, suara alarm mendadak membahana di seluruh gedung.

Dalam situasi genting itu, Rossette memanfaatkan penglihatannya untuk membuka kunci pintu ruang kantor Josephine. Di dalam ruangan bernuansa monokromatik, Josephine menyambut mereka dengan ekspresi bercampur antara keterkejutan dan ketenangan. Ia menatap Anne seolah telah memperkirakan pertemuan ini. Josephine, dengan sikap angkuhnya, mulai berbicara kepada Anne, mengungkit masa lalu mereka dengan nada manipulatif. Anne, yang awalnya senang, perlahan menyadari bahwa wanita di depannya bukan lagi sosok yang dulu ia kenal.

Josephine, tanpa ragu, memanfaatkan momen untuk melumpuhkan Rossette, mematikan sistemnya dengan menekan tombol tersembunyi di belakang kepalanya. Anne berteriak memanggil nama temannya, tetapi Josephine hanya tersenyum sinis sebelum memerintahkan robot-robotnya untuk membawa mereka pergi.

Ketika Rossette akhirnya menyala kembali, ia mendapati dirinya berada di sebuah gudang yang gelap. Anne duduk di samping api unggun kecil, wajahnya penuh kepedihan. Sambil menatap nyala api, Anne bercerita bagaimana Josephine telah mengusir mereka dan mengancam akan menyerahkan mereka ke pihak berwenang. Di sela tangisnya, Anne mengungkapkan kekecewaannya pada Josephine, seseorang yang dulu ia anggap sebagai keluarga.

Tidak ada waktu untuk berlarut-larut. Dari kejauhan, suara deru pesawat mendekat, diikuti pendaratan pasukan robot yang mengelilingi mereka. Pertarungan sengit tak terelakkan, tetapi jumlah robot terlalu banyak. Tak lama, salah satu pesawat mendarat di depan mereka, memperlihatkan Josephine yang turun dengan angkuhnya, Josephine menyatakan dirinya sebagai kepala keamanan kota Caelum.

“Aku sudah bilang, Anne, menyerahlah. Aku tidak ingin melukai kalian,” kata Josephine dengan suara penuh kesombongan.

Anne, dengan penuh amarah, mengungkapkan rasa sakitnya atas pengkhianatan Josephine yang meninggalkan mereka.

“Tante, kenapa kamu begitu? Apa kamu tidak ingat janji-janji itu? Kakek dan orangtuaku—mereka percaya pada kamu, dan kamu..., kamu mengkhianati kami.”

Josephine, terprovokasi, membalas dengan kemarahan. “Kakekmu yang bodoh yang memaksaku menjagamu, sementara orang tuamu sibuk dengan penelitian mereka. Apa yang kamu harapkan? Kalian pantas mendapatkan ini!” teriaknya.

Tanpa ampun, Josephine melemparkan granat ke arah mereka. Sebelum granat meledak, Rossette melindungi Anne dengan tubuhnya.

“Lari, Anne! Jangan berhenti!” teriak Rossette, meskipun tubuhnya mulai hancur akibat ledakan.

Granat meledak, menghancurkan tubuh Rossette. Namun, dalam kepedihan itu, ia merasa lega. Rosette tahu bahwa dia hanyalah sebuah robot, tapi seolah dia bisa merasakan ketenangan ini. Dan, sebelum penglihatannya memudar, ia melihat Anne membawa tangannya, satu-satunya bagian dari dirinya yang masih utuh, dan kabur menuju gudang.

“Anne..., Aku tahu aku telah melakukan yang terbaik untukmu,” bisik Rossette dalam hati, merasa tenang karena telah melindungi orang yang penting baginya.


 

Tidak ada komentar