![]() |
Menerima perbedaan menunjukkan
kebersamaan
https://www.merdeka.com/ |
Budaya Melayu adalah budaya “bahari” yang juga disebut sebagai
budaya “kelautan”. Kehidupan kelautan yang berabad-abad mereka tempuh,
menyebabkan kebudayaan ini menjadi sangat terbuka. Beragam puak dan suku bangsa
mendatangi daerah Melayu, kemudian berbaur dan berintegrasi turun-temurun,
sehingga melahirkan masyarakat Melayu yang majemuk. Dari keberagaman suku
bangsa dan puak itu serta beragam kontak-kontak budaya dengan berbilang bangsa,
lambat-laun membentuk kebudayaan Melayu yang majemuk pula.
Kemajemukan ini menyebabkan masyarakat selalu terbuka kepada semua
pihak yang datang, kemudian berbaur dan melebur dalam alam Melayu. Melalui
keterbukaan itulah orang-orang Melayu selalu menerima siapa saja yang datang ke
daerahnya, yang mereka sambut dengan ‘muka yang jernih’ dan ‘hati yang lapang’,
kemudian mempersilakannya untuk hidup dan berusaha, serta memberikan untuk
menetap dan berketerununan.
Jalinan hubungan mesra inilah yang selalu bermuara kepada ikatan
perkahwinan sehingga wujudlah kekerabatan yang kekal. Selain itu, adat Melayu
memberi peluang kepada siapa saja yang ikhlas untuk mengikat tali persaudaraan
melalui upacara adat yang disebut “begito”, yakni mengaku bersaudara dunia
akhirat.
Terjadinya persebatian antara masyarakat pendatang dengan penduduk
tempatan tentu saja tidak terlepas dari perilaku semua pihak. Yang datang tahu
diri demikian pula yang tempatan. Asas hidup “di mana bumi dipijak, di sana
langit dijunjung, di mana air disauk, di sana ranting dipatah” dahulu memang
ditaati oleh semua orang. Asas ini sebagai perwujudan tahu diri menyebabkan
jarak antara pendatang dengan penduduk tempatan semakin mengecil, dan akhirnya
melebur dalam satu kesatuan yang utuh dan kental.
Keterbukaan budaya Melayu selalu dikawal dengan asas kearifan
semua pihak. Petua orang tua-tua yang mengatakan “pantang mengorang-orang di
kampung orang; pantang menghulu-hulu di kampung penghulu; pantang meraja-raja
di kampung raja” merupakan maklumat yang ditaati. Demikian pula dengan asas:
“mengambil hak orang berunding sesama awak; mengambil hak orang berunding
dengan orang”, mewujudkan rasa kearifan untuk saling menjaga hak masing-masing.
Terhadap masyarakat tempatan, adat mengingatkan untuk menjaga
pelihara diri dan kampung halamannya secara saksama, agar dapat menunjukkan kepada
pihak lain tentang hak dan tanggungjawabnya. Ungkapan adat mengatakan: “rumah
dijaga dengan amanah, kampung dijaga dengan marwah, dusun dijaga dengan kaedah,
negeri dijaga dengan petuah”. Petuah ini dianggap penting agar orang tidak
berbuat semenamena dan tidak menganggap kawasan itu sebagai kawasan “tidak
bertuan”. Ungkapan adat mengatakan: “bila halaman tidak berpagar, bila rumah
tidak berdinding, angin lalu tempias lalu, aib terdedah malu tersimbah”.
Penerapan nilai Keterbukaan dalam Kemajemukan dalam
kehidupan sehari dapat digambarkan dalam tindakan-tindakan nyata berupa menerima perbedaan dan siap bergaul dengan
siapa saja.
Tidak ada komentar