![]() |
Bambang Kariyawan Ys |
Terkejut! Membaca kolom feature Riau Pos yang berjudul “Menelisik Batalnya Penataan Kawasan
Sungai Siak: Water Front City Harapan
yang Sirna”. Mengapa terkejut karena saya pernah melakukan penelitian bersama
siswa tempat saya bekerja tentang Water Front
City (WFC) pada tahun 2010. Saat itu saya mengambil topik penelitian WFC
karena tahun itu sedang hangat-hangatnya dibicarakan di media massa. Kajian
yang saya lakukan berjudul “Kajian Terhadap Pembiasaan Masyarakat Tepian Sungai
Siak Menghadapi Pembangunan Water Front
City” Saat itu wawancara yang dilakukan
menunjukkan hasil bahwa masyarakat sangat mendukung rencana tersebut dan
berharap pembangunan tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Bahkan
untuk mendekatkan konsep WFC ke tengah masyarakat, saya mengundang pembicara
dari Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Riau. Dipaparkan rencana-rencana
pengembangan tepian Sungai Siak ke depannya dengan konsep WFC.
Terbayang beberapa tahun ke depan wajah pinggiran
Sungai Siak sepanjang 8 km dan lebar 500 meter
akan seperti kawasan-kawasan WFC di belahan negara lain seperti negeri
kincir angin Belanda, Inggris, Italia, dan Perancis. Bahkan yang lebih dekat
seperti di daerah Jakarta, Makasar, Surabaya, dan Palembang yang telah
mengembangkan daerah tepian sungainya dengan konsep WFC. Dengan konsep tersebut
perekonomian masyarakat akan semakin berdenyut mengingat akan tumbuhnya
lahan-lahan perekonomian baru berupa usaha pariwisata. Selain itu wajah Kota
Bertuah semakin bersinar dengan munculnya ikon baru pusat pariwisata WFC
pinggiran Sungai Siak. Belum lagi secara budaya masyarakat akan membuat pola
hidup bersih mengingat sungai bukan lagi tempat pembuangan tapi tempat
menjalankan kehidupan.
Tidak bisa dipungkiri bila pinggiran Sungai Siak
merupakan salah satu kantong kemiskinan bagi masyarakat Pekanbaru. Masih kita
lihat rumah-rumah kumuh, tempat pembuangan yang sangat tidak layak, dan sampah
yang menumpuk di tepian sungai. Namun dibalik itu, terdapat potensi-potensi
besar mengingat keberadaan Sungai Siak dari dahulu selalu memiliki daya tarik
tersendiri. Masyarakat selalu menjadikan alternatif menikmati hiburan dan
pemandangan indah dengan duduk-duduk santai memandang kegagahan dua Jembatan
Siak sambil menikmati jagung bakar di sore dan malam hari. Masih terpeliharanya
beberapa objek sejarah dan budaya Petang Megang. Serta jajanan masyarakat
Melayu yang hanya ada dijual oleh masyarakat yang tinggal di tepian Sungai
Siak. Bila WFC yang telah dicanangkan
bisa terealisasi tentunya mendongkrak banyak hal secara ekonomi, sosial dan
budaya, dan ekses lingkungan pada kehidupan masyarakat. Secara tidak sadar
wajah “kumuh” tempat tinggal masyarakat akan berubah menjadi sebuah tatanan
kota yang lebih berwarna.
Dari desain yang dicanangkan, WFC yang dikembangkan
mulai dari pinggiran turap menuju bibir sungai akan dibangun permanen, tempat
beristirahat, walking area, pepohonan
hijau hingga tempat jajanan masyrakat. Konsep pemukiman dan tata kota
berwawasan lingkungan hadir di sana. Juga akan dibangun beberapa gedung
perkantoran dan lembaga-lembaga pendidikan penting seperti Kantor Komisi Pemilihan
Umum (KPU) Riau, Asrama Haji, Sekolah Tinggi Ilmu Guru, Sekolah Yayasan An-Nur
dan Dinas Pariwisata Provinsi Riau. Terbayang bukan? Bila secara konsisten dan
bertahap rancangan strategis tersebut jadi diprogramkan dan direalisasikan maka
begitu pesat dan elegannya kawasan ini berkembang nantinya. Bahkan tidak
menutup kemungkinan bila menjadi salah satu tujuan pariwisata yang diminati
setelah atau sebelum berwisata belanja ke Pasar Bawah.
Namun nampaknya mimpi masih terus berlanjut. Belum
dapat menjadi kenyataan. Mengingat ternyata masih terdapat setumpuk
permasalahan yang belum bisa ditarik benang merah solusi permasalahannya. Tanpa
bermaksud mencari kambing hitam, siapa yang bersalah dalam hal ini, tidak ada
salahnya kita melihat beberapa pihak terkait yang dapat dikatakan seharusnya
menggesa rancangan program pembangunan tersebut. Selama ini permasalahan pembatalan
atau penundaan WFC karena tidak sinkronnya sinergisitas antara Pemerintah Provinsi
Riau dengan Pemerintah Kota Pekanbaru hingga proses ganti rugi lahan, tentunya
sebagai program penting yang telah diagendakan untuk kemaslahatan umat tidak
ada salahnya dibicarakan kembali dengan mempertimbangkan bagaimana untuk memprogreskan rancangan strategis ini.
Tidak perlu lagi mencari siapa yang salah dan siapa yang bertanggung jawab
dalam hal ini. Tentunya haruslah dicarikan solusi agar harapan yang telah
tertanam di kepala masyarakat tidak tersia-siakan begitu saja. Mimpi masyarakat
untuk mendapatkan tempat tujuan wisata yang mempesona di pinggiran Sungai Siak.
Mimpi masih bisa ditunda.
Kita bisa belajar pada negara-negara dan
provinsi-provinsi lain yang telah menerapkan konsep WFC. Semisal Negara
Perancis, di dalam WFC diterapkan pengembangan kawasan hunian di tepi
air. Pengembangan hunian di tepi air tentunya harus melihat kondisi airnya
tersebut pastinya airnya tidak berbau dan kotor karena jika terbangun hunian di
lokasi tersebut dengan kondisi air yang buruk maka produk huniannya akan sulit
terjual ataupun terhuni. Dalam pengembangan hunian di tepi air dapat di bangun
produk rumah ataupun kondominium. Penerapan kawasan huian di tepi air dapat
dilihat di daerah Port Grimoud - Perancis. Di sepanjang aliran sungainya banyak
terbangun hunian bertingkat.
Demikian pula
provinsi tetangga kita, Sumatera Selatan, perencanaan
kawasan WFC di Kota Palembang sendiri bertujuan untuk revitalisasi dan
preservasi kawasan dan bangunan bersejarah dari peninggalan kolonial serta
bangunan kuno asli masyarakat, Central Business District sebagai urat
nadi pertumbuhan kota, Sungai Musi sebagai WFC pengembangan wisata dan
transportasi air.
Berdasarkan konsep WFC yang ditawarkan oleh masing-masing
kota – kota di Indonesia dan beberapa contoh dari negara-negara maju tersebut menjadi
referensi nyata dan perbandingan untuk WFC di tepian Sungai Siak. Konsep-konsep
tersebut menunjukkan bahwa terdapat pertimbangan-pertimbangan perencanaan
kawasan WFC meliputi tiga aspek yaitu aspek sosial, ekonomi dan lingkungan.
Aspek sosial meliputi usaha mencapai pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dan
peningkatan kualitas hidup serta peningkatan kesejahteraan individu, keluarga, kelompok-kelompok
sosial dan seluruh masyarakat di wilayah itu. Usaha ekonomi meliputi usaha
mempertahankan dan memacu perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang memadai
untuk mempertahankan kesinambungan (sustainable) dan perbaikan
kondisi-kondisi ekonomi yang baik bagi kehidupan dan memungkinkan pertumbuhan
kearah yang lebih baik. Wawasan lingkungan meliputi usaha pencegahan kerusakan
dan pelestarian terhadap kesetimbangan lingkungan. Ketiga aspek ini harus
mendapat perhatian yang sama sesuai dengan peran dan pengaruh masing-masing
pada pengembangan kawasan WFC. Sehingga konsep ini benar-benar memberi dampak
pada masyarakat di daerah pengembangan kawasannya.
Penerapan tiga aspek dalam pembangunan WFC tersebut jelas-jelas
menunjukkan bahwa konsep ini adalah sebuah konsep yang menjunjung tinggi konsep
pembangunan berkelanjutan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan generasi masa
kini tanpa mengorbankan generasi masa depan dalam memenuhi kebutuhannya di masa
mendatang. Karena itu konsep ini perlu dan sangat penting untuk diterapkan dalam
pengembangan wawasan tepian Sungai Siak sebagai upaya untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan kependudukan dan lingkungan secara khusus dan secara
umum berdampak juga bagi kelestarian seluruh bumi ini.
Tidak ada komentar