![]() |
Bambang Kariyawan Ys |
Membangun Karakter Peserta Didik yang Semakin Menghilang
A.
Hilangnya Sebuah Karakter
Simaklah pemberitaan media massa di negeri ini.
Kecenderungan yang muncul selalu berita-berita buruk yang mewarnai pemberitaan
media massa tersebut. Kerusuhan,
ketegangan, tawuran, perang antar kampung menjadi realita sosial yang tidak
bisa dipungkiri telah hadir di tengah masyarakat. Seolah tidak pernah
terselesaikan. Sudah hilangkah julukan kita sebagai bangsa yang ramah?
Dalam lingkup yang lebih kecil, dunia pendidikan
merupakan laboratorium yang seharusnya menghasilkan beragam produk manusia yang
diharapkan sejalan dengan tujuan pendidikan nasional untuk mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Namun apakah tujuan yang mulia itu telah membentuk dalam
diri peserta didik dan pendidikan telah berperan memecahkan
permasalahan-permasalahan yang tengah terjadi di masyarakat?
Kenyataan di lapangan pendidikan menunjukkan kondisi
peserta didik di era pragmatis saat ini, guru harus bergelut dengan harapan
yang tinggi untuk membentuk peserta didik menjadi generasi yang berkarakter.
Padahal kondisi peserta didik sekarang jelas berbeda dengan kondisi beberapa
periode waktu yang lalu. Penghargaan terhadap guru yang memudar, mudahnya
berkata kasar, mudahnya terpicu untuk berkonflik, membentuk kelompok-kelompok
eksklusif, dan bersitegang bila menemukan perbedaan sebagai contoh di antara
berderet perilaku yang sangat mengkhawatirkan kelanjutan dunia pendidikan.
Terlepas dari berbagai polemik tentang tidak jelasnya
arah pendidikan kita dan kondisi perilaku memprihatinkan, penulis berkeyakinan
bahwa masih banyak insan-insan pendidik di negeri ini yang tidak rela bila
dikatakan pendidikan di negeri ini tidak jelas arahnya dan tetap peduli untuk
memecahkan permasalahan yang ada. Masih banyak guru-guru yang selalu punya
keyakinan untuk membangun masa depan bangsa ini. Keyakinan itu akan terwujud
dengan hadirnya kelas yang penuh dengan nuansa persemaian nilai-nilai karakter.
Langkah bijak yang harus segera diambil adalah dengan mencari akar permasalahan
yang menyebabkan hilangnya karakter bangsa di dalam diri peserta didik
sekarang.
B. Mencari Akar
Permasalahan
Perilaku-perilaku
mengkhawatirkan peserta didik saat ini dalam teori budaya dapat dikelompokkan
dalam perilaku-perilaku berupa stereotipe, etnosentrisme, dan primordialisme. Perilaku-perilaku
tersebut dapat dikatakan sebagai sumber konflik dari berbagai permasalahan
sosial di dalam masyarakat. Perilaku
stereotipe (prasangka), etnosentrisme (menilai dengan ukuran budaya sendiri),
dan primordialisme (mengunggulkan daerah asal) sering berdampak dalam proses
pembelajaran yang akan mengganggu kestabilan dan keutuhan berinteraksi siswa
dalam proses belajar. Perilaku-perilaku mengedepankan prasangka, mengunggulkan
budaya dan daerah sendiri dapat dilihat dalam proses pembelajaran berupa
penggunaan bahasa ibu, simbol-simbol budaya, dan berkelompok dengan alasan
pemilihan karena sesama suku atau latar belakang sosial budaya. Kondisi-kondisi tersebut jelas akan sangat
mengganggu interaksi dalam proses belajar mengajar sebagai penanaman
benih-benih konflik. Bila kondisi ini dibiarkan maka akan terbawa terus ke
dalam pembiasaan anak didik di dalam masyarakat.
Perilaku-perilaku
tersebut muncul sebagai konsekuensi dari kebhinnekaan atau keragaman bangsa
Indonesia. Keadaan ini dapat dilihat
dari sosio kultur maupun geografis yang begitu luas dan beragam dalam suku,
agama, ras dan budaya. Syamsul (2005:31) mengungkapkan bahwa keragaman bangsa
Indonesia bukanlah realitas yang baru terbentuk. Keragaman bangsa ini merupakan
realitas sejarah yang sudah berlangsung lama di negeri ini. Keragaman tersebut
diakui atau tidak, akan dapat menimbulkan berbagai persoalan yang sekarang
dihadapi bangsa ini. Seperti korupsi, kolusi, nepotisme, premanisme,
perseteruan politik, kemiskinan, kekerasan, separatisme, perusakan lingkungan
dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu menghargai hak-hak orang lain adalah
bentuk nyata dari kebhinnekaan itu.
Di
sisi lain, Samsu (2008:1) melihat realitas kebhinnekaan tersebut berhadapan
dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali kebudayaan nasional
Indonesia yang dapat menjadi integrating
force (kekuatan ingin bersatu) yang mengikat seluruh keragaman etnis dan
budaya tersebut. Untuk membangun integrating
force tersebut salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan
pendekatan pemahaman atas kebhinnekaan sebagai sarana membangun toleransi atas
keragaman. Pertentangan suku, agama, ras, dan antar golongan yang terjadi di
negeri ini mengajarkan betapa pentingnya pendidikan kebhinnekaan bagi
masyarakat. Pembelajaran kebhinnekaan merupakan suatu rangkaian kepercayaan dan
penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di
dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan
pendidikan dari individu, kelompok maupun negara. Di dalam pengertian ini
terdapat adanya pengakuan yang menilai pentingnya aspek keragaman budaya dalam
membentuk perilaku manusia.
Wacana
pembelajaran kebhinnekaan dalam proses pembelajaran di Indonesia sejalan dengan
kebijakan pemerintah yang tertuang dalam perjalanan kurikulum pendidikan di
Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab III Prinsip Penyelenggaraan
Pendidikan Pasal 4 ayat 1 menyebutkan: “Pendidikan diselenggarakan secara
demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi
hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”.
Pendidikan sebagai hak asasi manusia, termasuk
didalamnya hak peserta didik yang memungkinkan setiap anak mengakses
sebanyak-banyaknya hak-hak mereka sepanjang hidupnya. Pendidikan berperan
penting mewujudkan tujuan pembelajarannya agar peserta didik peka terhadap
masalah yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap
perbaikan segala ketimpangan yang terjadi dan melatih keterampilan untuk
mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa diri
sendiri atau masyarakat sekitar.
Dalam
pelaksanaan pembelajaran di dalam kelas perlu disusun pembelajaran dengan
menggunakan pendekatan pendidikan kebhinnekaan yang lebih terstruktur. Salah
satunya dengan menggunakan pembelajaran dengan sentuhan humanis dan berbhinneka
dalam kelas pelangi.
C. Ada Apa dengan Kelas
Pelangi?
Kelas
pelangi hanya merupakan istilah untuk menyebut sebagai kelas yang mampu
menghimpun beragam perbedaan peserta didik. Sebuah kelas seharusnya memberikan
kenyamanan bagi peserta didik yang hadir di dalamnya. Kenyamanan peserta didik
menghirup aroma keilmuan dan setiap unsur yang menjadi penghias kelas. Prinsip equality/persamaan harus dijunjung
tinggi. Kelas merupakan hak penuh peserta didik sedangkan guru berkewajiban
menyajikan hidangan pilihan menu yang menyenangkan. Perlakuan diskriminasi
harus dihindarkan sejauh mungkin. Nuansa kebhinnekaan dikedepankan dengan
mengakomodir beragam perbedaan gender, suku, agama, dan latar belakang sosial
lainnya. James A. Banks mengungkapkan bahwa pendidikan ibarat people of colour. Artinya pendidikan
mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan.
Setiap tindakan pendidikan termasuk dalam
lingkungan keluarga untuk perkembangan kepribadian peserta didik secara
harmonis dan utuh, memerlukan suatu lingkungan kependidikan yang diselimuti
dengan suasana penuh kebahagiaan, cinta dan pemahaman serta dalam semangat
perdamaian, martabat, toleran, kebebasan, persamaan dan kesetiakawanan dan
didasarkan pada semangat cita-citakan.
Kelas
pelangi akan hadir bila guru kreatif ada di dalamnya. Guru kreatif dalam kelas
pelangi memiliki kesadaran kebhinnekaan di dalamnya. Kesadaran yang dibangun
dengan menyadari setiap peserta didik unik dan memiliki kecerdasan beragam.
Guru kreatif harus jeli memanfaatkan multikecerdasan seperti yang diungkapkan
oleh Gardner untuk memetakan kecerdasan dan kemampuan peserta didik.
Dari
hasil pemetaan tersebut, guru dalam kelas pelangi bisa menentukan strategi
untuk memberikan perlakuan yang tepat pada peserta didik. Walaupun belum mampu
melakukan yang ideal, minimal perlakuan yang diberikan mengakomodir beragam
perbedaan tersebut. Banyak cara bagi seorang guru untuk menghidupkan kelas agar
lebih bernyawa. Salah satu kuncinya adalah mau membaca buku-buku hebat tentang
mengelola kelas yang telah banyak direkomendasikan. Buku-buku tersebut dianggap
sebagai buku ajaib yang dapat menyulap kelas kita sebagai kelas yang hidup.
Mulai dari Quantum Teaching dan Quantum Learning yang sangat fenomenal sampai
dengan karya dalam negeri Hernowo dengan beragam karya-karya pencerahan dalam
mengelola sekolah.
Edgar
Morin (2006) dalam St. Kartono (2009) menganggap bahwa kelas dalam hal ini
kelas pelangi harus menjadi sebuah tempat untuk peserta didik belajar tentang
aturan-aturan debat atau diskusi yang sportif. Sekolah menjadi laboratorium
kehidupan demokratis secara praktis dan konkret. Di sana mesti ditumbuhkan
kesadaran akan kebutuhan-kebutuhan dan prosedur untuk memahami pikiran orang
lain, mendengar, dan menghormati suara minoritas dan suara-suara yang berbeda.
Belajar memahami sesama haruslah menjadi anasir utama dalam belajar demokrasi.
Menghargai pihak lain adalah kata kunci demokrasi.
Dalam
kelas pelangi anak-anak kita boleh ”berkelahi” adu pikiran. Yang bisa dilakukan
guru adalah menggerakkan hati mereka untuk terbuka dan menghormati keberadaan
pihak lain. Kelas pelangi harus mampu melayani diversity peserta didik. Setiap peserta didik mempunyai hak dan
perlakuan yang sama, tetapi setiap peserta didik juga mendapat perhatian secara
pluralis, artinya yang kurang mampu lebih terperhatikan. Yang tidak kalah
pentingnya adalah membantu peserta didik untuk saling menghargai kekhasan
budaya masing-masing, mempelajari adat berbagai suku, dan menghargai pendapat
atau gagasan orang lain yang berbeda.
D.
Mengajar
dengan Sentuhan Humanis dan Berbhinneka dalam Kelas Pelangi
Kelas
pelangi yang menghimpun beragam latar belakang sosial dan budaya peserta didik
memerlukan kehadiran seorang guru yang berkemampuan mengelola keragaman
tersebut. Guru berkarakter hadir dengan kemampuan mengkristalkan nilai-nilai
karakter bangsa dalam dirinya melalui proses pembiasaan. Seorang guru yang
berkarakter dengan sikap humanisnya dituntut keahliannya mengatur irama kelas
dengan nuansa berbhinneka. Sikap humanis sebagai sikap menghargai dan
menempatkan seorang peserta didik sebagai seorang yang harus beri harga tak
ternilai. Setiap siswa memiliki hak dan perlakuan yang sama serta mendapat
kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan. Perilaku berbhinneka dapat
diasah dengan selalu menghargai beragam warna perbedaan latar belakang peserta
didik. Perbedaan bukan lagi penghalang atau sekat untuk menyatukan
keanekaragaman tapi memperkaya identitas kelas. Guru berwawasan bhinneka akan
selalu belajar memperkaya diri dengan wawasan multikultural kebangsaan
Indonesia.
Pendidikan yang diharapkan mendukung kehadiran
kelas pelangi adalah pendidikan yang mampu membentuk manusia mandiri yang
berpengetahuan dan memiliki etika serta mempunyai keterampilan hidup yang
menjadi karakter bangsa. Melalui pendidikan karakter bangsa Indonesia akan
terbentuk manusia yang tangguh dan berkepribadian, memiliki toleransi yang
tinggi menjunjung nilai kebersamaan, serta bertanggungjawab terhadap tugas, dan
kehidupan sesamanya. Untuk mewujudkan tujuan mulia tersebut kehadiran guru
humanis dengan sentuhan karakter manusiawi dan memandang kebhinnekaan peserta
didiknya sebagai sebuah kekuatan dan keniscayaan.
Proses pembelajaran dalam kelas pelangi dapat
dilakukan dengan memodifikasi model-model pembelajaran kooperatif empati
multikultural. Model ini mengajarkan kerjasama dan belajar berempati dengan
ikut merasakan ragam perbedaan sosial dan budaya peserta didik lainnya.
Pembelajaran
dengan sentuhan humanis dan berbhinneka dalam kelas pelangi ketika dilaksanakan
bukanlah tanpa hambatan namun dengan konsistensi dan kesungguhan hati dalam
pelaksanaannya maka lambat laun karakter peserta didik akan terbentuk dengan
belajar peduli pada lingkungan sekitar. Lebih jauh penulis berkeyakinan bila
pembelajaran dengan sentuhan humanis dan berbhinneka dalam kelas pelangi ini
terus menerus diusahakan dengan berkesinambungan maka generasi ke depan bangsa
ini adalah generasi yang guyub dan berkarakter kuat.
Daftar Pustaka
Adi
W. Gunawan. 2003. Genius Learning
Strategy: Petunjuk Praktis untuk
Menerapkan
Accelerated Learning. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Banks,
James A. 1997. Multicultural Education:
Goal and Dimensions, (Online),
(http://education.washington.edu/cme/view.htm, diakses 22 Februari 2010).
Hermi
Yanzi. 2011. Pendidikan Nasional sebagai
Wahana Pembentukan
Masyarakat yang Berbhinneka,
(Online), (http://staff.unila.ac.id/hermiyanzi/2011/08/10/pendidikan-nasional-sebagai-wahana-pembentukan-masyarakat-yang-berbhineka/), diakses 26 Agustus 2011.
Samsu. 2008. Pendidikan
Multikultural, (Online), (http://samsuiainjambi.blogspot.com/2008/10/pendidikan-multi-kultural-multicultural.html,
diakses 1 Februari 2011).
St.
Kartono. 2009. Sekolah Bukan Pasar:
Catatan Otokritik Seorang Guru. Jakarta:
Kompas.
Syamsul
Ma’arif. 2005. Pendidikan Pluralisme di
Indonesia. Yogyakarta: Logung Pustaka.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
http://id.wikipedia.org/wiki/Humanisme, diakses 25 Agustus 2011
Tidak ada komentar