MEMANGKAS PERILAKU STEREOTIPE ANTAR GENDER DALAM KELAS SOSIOLOGI

 


A.    Pendahuluan

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab III tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan, pasal 4 ayat 1 menyebutkan bahwa: Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Pendidikan yang tidak diskriminatif akan sangat bermanfaat bagi perempuan maupun laki-laki, terutama untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan diantara keduanya sehingga dapat mencapai pertumbuhan, perkembangan dan kedamaian abadi dalam kehidupan manusia. Pendidikan bukan hanya dianggap dan dinyatakan sebagai unsur utama pencerdasan bangsa melainkan juga sebagai produk dari konstruksi sosial, dengan demikian pendidikan juga memiliki andil bagi terbentuknya kesetaraan gender di masyarakat.

Beragam kebijakan yang telah dibuat untuk mencapai kesetaraan gender masih menemui beragam kendala. Kendala terbesar terletak pada pemahaman akan persepsi bahwa lelaki itu superior dan perempuan identik dengan inferior. Dengan kata lain masih terdapat persepsi stereotipe (pandangan  cenderung negatif) yang sulit digeser untuk membangun kesetaraan gender. Demikian pula terhadap proses pembelajaran di dalam kelas tidak lepas dari permasalahan gender. Berbagai fenomena di dalam kelas ketika proses belajar siswa laki-laki masih menganggap rendah siswa perempuan. Contoh ejekan stereotipe perempuan itu lemah, lelaki itu yang memimpin, kekuatan identik dengan laki-laki, keengganan kerjasama bila yang memimpin dalam kelompok siswa perempuan, dan beragam fenomena bias gender lainnya.

Fenomena stereotipe antar gender dalam lingkungan pendidikan menjadi kajian menarik bagi para peneliti. Hasil penelitian Oktiva Herry Chandra (2010) dengan judul “Pemerolehan Stereotipe Jender pada Anak Usia Praoperasional – Operasi Formal” menunjukkan bahwa stereotipe yang melekat pada objek tertentu dipelajari dan diperoleh dalam waktu yang relatif lama dan membutuhkan proses yang panjang. Nilai yang berlaku dalam masyarakat dan proses internal yang dialami oleh seseorang akan membentuk pandangan seseorang pada stereotipe tertentu.

Penelitian Monica Eviandaru (2003) berjudul “Hubungan antara Sikap Terhadap Stereotipe Peran Gender dengan Objektifikasi Diri” menunjukkan bahwa hubungan positif yang sangat signifikan antara sikap terhadap stereotipe peran gender dan objektifikasi diri appearance based, serta hubungan yang negatif yang sangat signifikan antara sikap terhadap stereotipe peran gender dan objektifikasi diri competence based.

Di lingkungan SMA salah satu mata pelajaran yang khusus membahas gender di SMA adalah Sosiologi. Tujuan utama pembelajaran Sosiologi  mengajarkan siswa belajar memahami proses interaksi dan hidup berkelompok juga tak terlepas dari interaksi antar gender. Pembahasan khusus yang mengkaji itu adalah materi Diferensiasi Sosial (Kesetaraan) pada kelas XI SMA. Melalui materi ini siswa diharapkan dapat lebih memahami arti kesetaraan dan saling menghargai atas beragam perbedaan termasuk perbedaan antar gender. Untuk menjembatani beragam fenomena permasalahan gender yang ada dan upaya meminimalisir stereotipe antar gender tersebut, maka penulis mencoba melakukan proses pembelajaran dengan  menggunakan teknik ungkap tangkap curahan hati.

 

B.       Proses Belajar antar Gender

Memangkas perilaku stereotipe antar gender dapat dilakukan dengan teknik ungkap tangkap curahan hati. Teknik ini merupakan serangkaian pembelajaran yang mengacu pada pembelajaran aktif dengan teknik dialog mendalam (deep dialogue) dengan langkah-langkah pembelajaran berupa:

1.        Dialog saling mengungkapkan kelebihan gender sendiri dan menilai gender yang lain

Pada pembelajaran dengan dialog saling mengungkapkan kelebihan gender sendiri dan menilai gender yang lain dilaksanakan dengan membagi kelas dalam dua kelompok laki-laki dan perempuan dengan formasi duduk yang saling berhadapan untuk melakukan dialog. Langkah-langkah kegiatan pembelajaran sebagai berikut: (1) Kelompok perempuan menyampaikan pandangan tentang dirinya. Kelompok lelaki mendengarkan tanpa menyela penyampaian yang sedang diberikan. (2) Kelompok lelaki memberikan komentar atas pernyataan yang diberikan oleh kelompok perempuan. (3) Kelompok lelaki menyampaikan pandangan tentang dirinya. (4) Kelompok perempuan memberikan komentar atas pernyataan yang diberikan oleh kelompok lelaki.

2.        Analisis dan dialog kasus gender melalui media massa

Pada pembelajaran dengan menganalisis dan dialog kasus gender melalui media massa dilakukan dengan kegiatan pembelajaran yang meliputi langkah-langkah sebagai berikut: (1) Kelas dibagi dalam enam kelompok dengan pendistribusian komposisi siswa laki-laki dan perempuan berimbang yang terdiri dari 3 kelompok laki-laki dan 3 kelompok perempuan. (2) Kelompok mengerjakan berbagai kasus gender yang terjadi melalui peliputan media massa. Kasus-kasus stereotipe gender yang diangkat membahas tentang kesetaraan upah laki-laki dan perempuan, pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan. Setiap kelompok memberikan komentar atas kasus yang terjadi. (3) Secara bergiliran setiap kelompok mempresentasikan hasil komentarnya dan kelompok lain memberikan pendapatnya.

3.        Analisis dan dialog kasus gender dalam kehidupan sehari-hari

Pada pembelajaran dengan analisis dan dialog terhadap berbagai kasus gender yang benar-benar terjadi di sekitar siswa dalam kehidupan sehari-hari. Kasus-kasus yang diangkat berupa diskriminasi posisi jabatan dan pembagian kerja yang menyudutkan gender tertentu. Adapun langkah-langkah proses pembelajaran ini sebagai berikut: (1) Kelas dibagi 6 kelompok seperti pada pertemuan kedua namun personil kelompok ditukar agar terjadi proses berinteraksi pada anggota kelompok yang lain. (2) Kelompok diberikan lembaran kerja terhadap berbagai kasus yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. (3) Kelompok mengamati kasus dan menjawabnya dengan lembaran analisis. (4) Secara bergiliran setiap kelompok mempresentasikan hasil komentarnya dan kelompok lain memberikan pendapatnya.

4.        Dialog gender dengan ahli gender

Pada pembelajaran ini untuk lebih memberikan kesan mendalam tentang materi gender yang terdapat pada pokok bahasan Diferensiasi Sosial (Kesetaraan) dengan mengadakan dialog yang menghadirkan ahli gender. Adapun langkah-langkah proses pembelajaran dilaksanakan sebagai berikut: (1) Kelas dibagi dua kelompok (kelompok lelaki dan kelompok perempuan) seperti pada pertemuan pertama. (2) Ahli gender memaparkan materi berkaitan dengan permasalahan gender secara mendalam. (3) Dialog mendalam dipandu guru Sosiologi antara siswa dan ahli gender.

 

C.      Hasil Belajar Stereotipe antar Gender

Hasil pembelajaran dengan menggunakan serangkaian teknik ungkap tangkap curahan hati memberikan gambaran hasil sebagai berikut:

Proses pembagian kelompok antar gender merupakan tahap yang penting karena memadukan latar belakang gender dan aktivitas dalam kegiatan ekstrakurikuler mengingat sebagai media belajar memahami perbedaan. Latar ekstrakurikuler yang dimaksud berupa Pramuka, Sispala, Paskibra, Basket, Bola, Fotografi dan Marching Band. Berdasarkan latar belakang sosial siswa maka diperoleh kelompok diskusi yang diharapkan sesuai dengan tujuan pembelajaran.  Kelompok yang terbentuk dikondisikan untuk proses dialog antar gender dengan menyiapkan bangku kelas yang tepat. Susunan diskenariokan seperti itu agar dua kelompok gender dapat saling berhadapan untuk berdialog secara mendalam dan mengungkapkan secara terbuka dengan dukungan kelompoknya.

Hasil yang diperoleh dengan menggunakan dialog dengan saling mengungkapkan  kelebihan gender sendiri dan menilai gender yang lain diperoleh data secara umum sebagai berikut: (a) Saat mengungkapkan gender sendiri, ada kecenderungan siswa yang bersangkutan menunjukkan segala kelebihannya dengan kesan superior. (b) Siswa yang berbeda gender ada kecenderungan menunjukkan ketidaksetujuan atas pernyataan yang diberikan. Selama proses dialog diperoleh data bahwa indikator kemampuan siswa mendengarkan lawan gender berpendapat sejumlah 12 siswa (43%) berada dalam rentang baik, 13 siswa (46%) cukup, dan 3 siswa (11%) dalam pengamatan kurang. Untuk indikator respon positif terhadap ungkapan lawan gender menunjukkan bahwa sejumlah 8 siswa (29%) berada dalam rentang baik, 14 siswa (50%) cukup, dan 6 siswa (21%) dalam pengamatan kurang.

Hal terpenting dari mempelajari materi “Kesetaraan dalam Gender” adalah siswa mengetahui pentingnya kesamaan peran yang berkeadilan antara laki-laki dan perempuan. Untuk itu kelompok menganalisis berbagai kasus gender melalui media massa. Berdasarkan proses diskusi di dalam kelas dengan berpedoman pada LKS, siswa menanggapi bahwa mempertentangkan gender hanya merugikan dan tidak menguntungkan sama sekali. Dapat dijelaskan bahwa indikator kemampuan mendengarkan lawan gender sejumlah 24 siswa (86%) dalam keadaan baik, 4 siswa (14%) dalam kondisi cukup. Sedangkan untuk indikator respon positif terhadap ungkapan lawan gender menunjukkan bahwa sejumlah 22 siswa (79%) berada dalam rentang baik, dan 6 siswa (21%) cukup.

Dialog yang dilakukan karena dikondisikan dalam kelompok dengan latar belakang yang sama menyebabkan ada keegoan untuk memenangkan kelompoknya. Kondisi ini dapat diminimalisir dengan pembauran gender dalam kelompok belajar serta selalu menggunakan pendekatan dialog secara mendalam dengan terus menerus. Hal ini akan berdampak pada munculnya komunikasi dua arah dan prinsip saling memberikan yang terbaik, menjalin hubungan kesedarejatan dan keberadaan serta empasitas yang tinggi sejalan dengan prinsip pendekatan dialog mendalam (Konstantia, 2014).

Berdasarkan data angket diperoleh jawaban bahwa stereotipe antar gender masih akan selalu ada dalam kondisi apapun. Hal ini disebabkan masing-masing akan selalu mengunggulkan kelompok gendernya. Namun kondisi-kondisi stereotipe dapat diminimalisir dengan berbagai cara seperti saling bicara dengan kepala dingin (dialog). Hal ini didasari bahwa pembelajaran berbasis Deep Dialogue dan Critical Thinking (dialog secara mendalam) akan mengakses paham konstruktivisme dengan menekankan adanya dialog mendalam dan berpikir kritis. Dengan kegiatan berpikir kritis, siswa dapat melakukan pemikiran yang jernih dan kritis, membagi rasa, saling mengasihi sehingga perbedaan pendapat dan pandangan yang ada dapat dipecahkan dan dicerahkan dengan dialog terbuka. Selain itu, dengan dialog mendalam dan berpikir kritis, siswa akan belajar mengenal dunia lain di luar dunia dirinya dan selanjutnya mampu menghargai perbedaan-perbedaan yang ada di tengah-tengah masyarakat (Hizrah, 2014).

Data menunjukkan bahwa lebih dari 75% siswa menyatakan bahwa belajar dengan menggunakan teknik ungkap tangkap  dapat membuat siswa mengerti cara dialog yang baik dan benar, memahami pandangan tentang perbedaan antar gender, dan membuat hasil belajar menjadi meningkat.

 

D.    Penutup

Penggunaan teknik ungkap tangkap curahan hati merupakan salah satu teknik pembelajaran yang bila dilaksanakan dengan memperhatikan proses yang tepat akan dapat memangkas stereotipe antar gender. Perlu menjadikan teknik ungkap tangkap curahan hati dalam pembelajaran ilmu-ilmu sosial untuk memberikan pemahaman dan pembentukan karakter siswa.

 

E.     Rereferensi

Hijrah, I Wayan Darmadi, I Komang Werdhiana. (2014). Peningkatan Hasil Belajar

IPA-Fisika melalui Pendekatan Deep Dialogue dan Critical Thingking pada

Siswa Kelas VII-C SMP Negeri 2 Bimomaru. Jurnal Pendidikan Fisika Tadulako Vol. 1 No. 3.

Konstantia, Cindy Febry. (2014). Pengaruh Pendekatan Deep Dialogue Critical

Thinking Terhadap Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran Ekonomi di SMA

Negeri 6 Tangerang Selatan: Penelitian Quasi Eksperimen. Jakarta: UIN Syarif

Hidayatullah.

Oktiva Herry Chandra. 2010. Pemerolehan Stereotipe Jender pada Anak Usia

Praoperasional – Usia Formal. Semarang: PPs Undip Semarang.

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Tidak ada komentar