PENYU-PENYU
KECIL
Salju terus
turun tanpa henti, angin dingin dengan keras mendobrak rumah tua itu, memaksa
masuk. Sayup-sayup,
terdengar suara tangisan dan nyayian lembut dari sana.
Seorang wanita buruk rupa memeluk anaknya yang
tertidur sembari menyanyikan sebuah lagu. Ia memegang sebuah gelas berisi air yang tadinya panas. Namun
sekarang membeku karna suhu udara. Perlahan tapi pasti, lagu itu semakin
mengecil dan mengecil, mulai melamban lalu berhenti.
Mimpi buruk itu
terjadi di awal tahun 2021,badai Filomena menerjang kota dengan ganas tanpa
henti. Membuat warga kesusahan, rusuh dan kebingungan.
Alana adalah seorang wanita muda yang
membesarkan anaknya sebatang kara. Meski begitu,
semua orang menyukainya. Mulai dari fisik hingga perangainya yang pasti membuat
semua orang jatuh hati padanya.
Ia sungguh senang terlahir sempurna, matanya
yang besar, rambutnya yang berkilau indah, sangat dibanggakannya.Hatinya yang
baik melengkapi semua itu. Semua orang sangat bergantung padanya. Namun saat
badai terjadi, hidupnya hancur. Dengan badai yang terus turun tanpa henti, ia
terpaksa harus berhemat dengan cara keras. Jika ingin dia dan anaknya hidup.
Bahkan semua perhiasannya harus ia relakan. Namun sayang, itu tidak cukup sama
sekali.
Setiap malam ia selalu
dihantui tidak bisa makan, bingung, resah, apa yang harus dimakan besok?
Anaknya harus makan. Sedikit demi sedikit, uang tabungannya menipis, ia takut
setengah mati anak dan dirinya harus hidup di bawah kolong jembatan. Saat
itulah, ia menemukan ide gila.
‘‘Bagaimana dengan rambut ini? Jika
rambutku bisa dijual,aku dan anakku setidaknya bisa makan.’’ Alana
mengambil gunting lalu mulai memotong rambutnya dengan kasar dan asal asalan.
Tiba-tiba, anaknya muncul dibelakangnya tanpa suara. Alana terlonjak kaget.
‘’Lho,ibu?Kenapa rambutnya dipotong
begitu?’’ Anaknya mendekati Alana.
‘’Ha-hah... Tidak ada kok, ibu hanya bosan dengan rambut panjang” Alana
memutar otaknya untuk mencari jawaban.
‘’Tapi kan sayang,bu? Aku suka sekali dengan rambut ibu. Itu selalu
berkilau dan lembut.” Anaknya mengelus sembari memungut rambut Alana
yang sudah terpotong. Alana hanya tersenyum, padahal dari lubuk hatinya ia
sangat sedih harus mengorbankan rambutnya yang sangat dibanggakan. Namun apa
pun harus ia lakukan agar bisa bertahan hidup dan merawat anaknya.
Saat malam tiba dan anaknya sudah terlelap. Alana
mengunci pintu rumahnya lalu keluar dengan pakaian sederhana. Melawan
badai yang sangat dingin. Entah apa yang bisa membuatnya begitu kuat. Padahal
diluar udaranya sangat dingin dan menusuk kulit.
Saat ia sampai ke tempat tujuannya, pria pemilik tempat itu menyambutnya
dengan tidak ramah.
“Apa
yang kamu mau?” dengan nada yang ketus, pria pemilik tempat itu menatapnya
dengan sinis. Alana tidak suka itu. Dengan cepat, ia mengeluarkan kantong yang
berisi rambutnya .
Bukannya menjadi
ramah dan memberikan uang, pria itu malah marah dan mengusir Alana dari
tempatnya dengan memberikan uang yang tidak bisa dibilang cukup.
Dia bilang rambutnya kotor, bau dan
pemotongannya asal asalan. Alana tak bisa apa-apa. Ia marah dan menarik
rambutnya yang tersisa di kepalanya, lalu menendang tumpukkan salju yang didepannya dengan keras. Berteriak
sekeras mungkin untuk meringankan amarahnya. Tertunduk jatuh, meneteskan manik
mata dengan deras lalu meremas salju putih yang membeku itu.
Pernah
terlintas di pikirannya untuk bunuh diri, karna ia sangat tertekan dengan dunia
yang kejam dan tidak adil ini. Semua orang dulu sangat bergantung dan sangat
menyukainya, namun kenapa saat ia
membutuhkan semua orang, teman- temannya, mereka semua berpaling seolah
tidak mengenalnya?
Namun pikiran
jahat itu hilang sesaat ia berpikir nasib anaknya. Ia
merasa begitu jahat dan biadab meningalkan anaknya begitu saja.
“ Biarlah aku sengsara, kumohon tapi
jangan anakku, Tuhan.” Ia megurungkan
niatnya.
Alana melangkahkan kaki
mencemaskan anaknya yang terbangun namun dirinya tidak ada disebelahnya,tapi
sebenarnya yang harus ia khawatirkan
saat ini adaalah dirinya sendiri. Seseorang
mengikuti dirinya sejak tadi, tanpa suara, seseorang menusuk matanya dengan
sadis lalu mengambil semua uang nya, lantas berlari pergi. Alana meronta
ronta kesakitan, menutupi matanya yang terluka dan meneteskan air mata,
berteriak kesakitan. Menedang nendang tanpa arah.
Berharap
seseorang akan membantunya, namun ia sadar tak akan ada orang yang mau
menolongnya, karna itu, ia harus berusaha sendirian. Ia menggigit bibirnya
hingga mengeluarkan darah untuk menahan rasa sakit yang luar biasa,meneteskan
air mata yang deras. Denga kuat, ia merobek sebagian pakaiannya.
Menarik
‘sesuatu’ yang menusuk matanya lalu
dengan cepat mengikat dan menutupi matanya dengan robekan kain itu dengan
keras.Kemudian berjalan pulang dengan sempoyongan, sesekali ia menampar dirinya
agar tidak tidur.
….
Akhir-akhir ini
tubuhnya sering sakit, dengan matanya yang tidak mendapat pengobatan lebih
lanjut, Alana sering batuk darah. Anaknya mengkhawatirkannya, sangat
mengkhawatirkannya. Bahkan cerita tentang matanya pun tidak diceritakan pada
anaknya. Namun Alana hanya tersenyum dan berkata.’’jangan khawatir’’
“Ibu!Aku
dengar saljunya akan mulai mereda besok!”Alana melihat anaknya yang sangat
antusias memberi tahunya.
‘’Benarkah?”Mata Alana terbuka
lebar.Anaknya mengangguk riang.
‘’Karna besok adalah hari ulang
tahunku, bisakah kita main diluar besok? Aku sudah seperti tidak pernah
menyentuh salju lagi.”
Alana mengangguk
lantas tertawa dan memeluk anaknya lalu memberikan janji kelingking yang
seharusnya tidak ia lakukan.
Lama kelamaan, penyakitnya makin parah. Malam
itu hujan salju semakin deras, membuat penyakitnya seperti menari nari di dalam
tubuhnya. Rumah tua itu terlihat hampa dan hampir roboh.
Sayup-sayup,
terdengar suara tangisan dan nyayian lembut dari sana. Seorang wanita buruk
rupa memeluk anaknya yang tertidur sembari menyanyikan sebuah lagu. Ia memegang
sebuah gelas berisi air yang tadinya
panas, namun sekarang membeku karna suhu udara. Perlahan tapi pasti, lagu itu
semakin mengecil dan mengecil, mulai melamban .
“Sayangku,tak
akan ada yang menyakitimu,aku akan memberikan mu semua yang kupunya.” Wanita
itu meneteskan air mata, lalu bernyanyi dengan lamban.
“Penyu-
penyu kecil, lihatlah mereka
berjalan
dengan kaki kaki kecil mereka
Berusaha
dengan keras
Lihatlah
mereka pantang menyerah,tak kenal lelah
Berjalan
menuju tujuannya
Tak
dipedulikannya burung burung pelican itu
Tetap
tabah tersenyum menuju cahaya impian
mereka”
Ia bernyanyi berulang kali, satu matanya
mengalirkan manik mata yang deras.
“Ibu
sangat berharap dapat melihatmu tumbuh dan hidup bahagia. Maafkan, Ibu, ya! Ibu tidak sangat jahat, meninggal kan mu
sendirian. Selamat ulang tahun,sayang" mengecup pipi dan kening anaknya lalu
kembali bernyanyi. Lagu itu terus berulang dan mulai melambat, namun tidak
berhenti.Karna ia tahu, bahwa itu adalah lagu terakhir yang bisa ia nyanyikan
untuk anaknya tersayang.
Pekanbaru, 11 Februari 2022
Syamiee, siswa SMP
IT Al Fityah Pekanbaru
Alhamdulillah Bagus cerpennya.semoga bisa lebih banyak lagi karya nya
BalasHapus